Mohon tunggu...
A. Dardiri Zubairi
A. Dardiri Zubairi Mohon Tunggu... wiraswasta -

membangun pengetahuan dari pinggir(an) blog pribadi http://rampak-naong.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Perempuan Tawanan ‘Kulit Putih’…

22 April 2012   08:35 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:17 225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Adel...ayo pake bedak dulu …,” ujar istri sama anak kami yang hendak berangkat sekolah

Gak usah mi…”

Ya sudah…berangkat sana. Gak pake bedak juga gak apa-apa…,” saya memprovokasi anak agar segera berangkat. Ibunya cemberut melihat anak kami tak tertarik merias wajah.Ia pamit sebelum wajahnya dihiasi bedak.

Provokasi saya sebenarnya refleksi terhadap fakta yang berseleweran di sekitar saya. Perempuan begitu memanjakan diri dengan segenap simbol kecantikan. Sebagai perempuan Madura, saya tahu kulit mereka indah dalam balutan hitam manis penandanya. Khas perempuan yang dibesarkan dalam iklim kemarau yang menyita siklus tahunan di pulau panas ini.

Tapi saya sungguh merasa terusik. Tiba-tiba perempuanmerana terhadap warna. Dengan kosmetik, mereka sulap wajah hitam manis menjadi “putih”. Putih dalam tanda petik, karena putih di sini tidak genuine. Tetapi putih sebagai hasil konstruksi “industri kecantikan” yang telah membuat perempuanseperti dalam tawanan. Tawanan ‘kulit putih’.

Saya kadang melihatnya dengan penuh empatik. Kulit wajah mereka seperti mau terkelupas, persis seperti kupasan bawang putih. Putih kemerahan, pertanda kosmetik berbahan kimia tinggi sedang bekerja.Menghapus paksa wajah hitam manisnya. Ah…perih sekali mataku.

Ini baru bedak pemutih. Belum lagi segenap simbol kecantikan lain yang dengan gencar dijajakan melalui iklan di media. Sejak gincu, cat kuku, pembersih kaki, pembersih wajah, penghilang jerawat, penghilang noda hitam, pengharum ketek, dan… apa lagi ya?

Sepertinya perempuan saat ini menjadi tawanan kecantikan yang dijajakan oleh industry kecantikan. Pranata yang menjadi kaki industri itu juga dibangun, melalui aneka macam pemilihan ratu sejagat. Sementara yang tidak bisa ikut dibangun mimpi cantiknya, melalui siaran live yang memaksa perempuan untuk terus melakukan identifikasi dan imitasi terhadap citra hasil konstruksi industri itu.

Provokasi saya terhadap anak agar tak perlu galau jika tidak menggunakan bedak, hanya siasat kecil melawan konstruksi kecantikan model industri itu. Emang, apa salahnya kalau hanya memakai bedak? Tak ada yang salah. Toh yang digunakan juga bukan bedak pemutih. Cuma dalam benak saya, hal kecil seperti bedak bisa menjadi pintu masuk bagi keinginan mengakomulasi simbol-simbol kecantikan lain.

Secara tidak langsung saya sebenarnya ingin mengajari anak saya kritis. Bedak dan simbol kecantikan lain tidak boleh menawanmu. Itu saja.

Matorsakalangkong

Sumenep, 22 april 2012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun