Harga seorang istri. Jangan hubungkan dengan mahar yang pernah Anda bayar. Tidak. Bukan itu maksud saya. Kalau hanya soal mahar, di masyarakat desa saya, banyak perempuan yang hanya meminta 100 ribu sama pasangannya.
Harga seorang istri terkait dengan cara suami menghargainya. Memartabatkannya. Soal ini berarti soal komitmen. Soal mindset. Soal cara pandang. Ketika bicara ini, bertumpuk dosa suami –atau setidaknya saya—terhadap istri.
Suami adalah pemimpin keluarga. Setidaknya inilah cara pandang yang umumnya dianut masyarakat kita. Gelar mulia. Kebudayaan kita sudah memberi amanah luhur di pundak suami, sebagai pemimpin kehidupan keluarga.
Pemimpin tentu pekerjaan mulia. Dibutuhkan kematangan spiritual dalam menjalankannya. Dibutuhkan kesediaan untuk terus belajar melakukannya. Lebih-lebih dari orang-orang yang dipimpinnya. Belajar terus. Belajar terus.
Karena kepemimpinan tidak begitu saja datang ketika akad nikah selesai diucapkan. Bukan given. Kematangan spiritual, emosi, dan psikologis tidak begitu saja turun layaknya ilham, selesai kita deg-degan mengucapkan “qabiltu….” Tidak.
Sayang, pemimpin yang begitu mulia disandang oleh suami, seringkali dijalankan secara korup. Dhalim. Kira-kira persis dugaan Lord Action ketika menyebut “the power tends to corrupt”. Inilah bahayanya, ketika makna pemimpin dipahami suami sebagai keharusan untuk dominan, powerfull, dan tak terbantahkan di hadapan istri. “Gue pemimpinnya, semua apa kata gue…”
Karena komitmen, mindset, dan cara pandangnya sudah seperti itu, segala pendapat lain istri, segala suara lain istri selalu dianggap sebagai ancaman. Bahkan tidak segan-segan suami melakukan kekerasan. Entah menghardik, mengeluarkan kata kasar, menendang, memukul, menampar hanya untuk menegakkan dominasinya.
Data berikut ini mungkin menjadi bukti, bagaimana suami menegakkan “kepemimpinan” dalam keluarga. Data yang dirilis Komnas Perempuan menyebutkan bahwa 60 persen perempuan mengalami kekerasan dalam rumah tangga (baca ini). Saya meyakini, suami yang melakukan kekerasan bukan hanya dari kalangan tidak terdidik. Jangan-jangan yang banyak justru dilakukan suami yang sudah berderet-deret gelarnya.
Begitukah suami menghargai istri? bisakah memartabatkan istri dengan cara-cara yang tidak nyaman dan aman? Tidak bisa. Penghargaan dan pemartabatan istri tak mungkin tegak dengan jalan kekerasan. Itu akan membuat luka kawan…luka kemanusiaan yang menyembuhkannya kadang menggadaikan umur kita pun tak cukup.
Sudahlah. Mari kita hargai istri dengan menempatkan mereka dalam posisi yang benar-benar memartabatkannya. Ini sekali lagi bukan semata-mata uang kawan. Cukup merangkulnya ketika menjalankan kepemimpinanmu, ajak bicara dari hati kehati, ucapkan kata yang santun, bagi peran dalam rumah tangga, stop bicara dengan tangan, dan pujilah jika pantas dipuji.
Satu lagi yang tak kalah penting, mintalah saran bagaimana kepemimpinanmu bekerja. Biar kita sebagai suami, tidak selalu merasa benar sendiri. Kadang kepemimpinan yang kita emban, selalu mendorong kita sombong, dhalim, dan tak peka sama yang dipimpin.
Memartabatkan istri setara dengan memartabatkan kehidupan. lebih-lebih kehidupan keluarga. Karena dari sinilah nafas kehidupan di luar, entah di masyarakat bahkan Negara, sedang dimulai.
Matorsakalangkong
Sumenep, 15 april 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H