Mohon tunggu...
A. Dardiri Zubairi
A. Dardiri Zubairi Mohon Tunggu... wiraswasta -

membangun pengetahuan dari pinggir(an) blog pribadi http://rampak-naong.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Ji Tasbani, Plesetan Haji ala Orang Madura

5 Oktober 2011   14:20 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:18 1168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_135250" align="aligncenter" width="558" caption="diunduh dari google"][/caption] Orang Madura memaknai haji laksana perang. Di samping membutuhkan beaya besar, haji juga membutuhkan ketahanan fisik dan kekuatan mental-spiritual sekaligus. Yang terakhir yang utama. Di sinilah letak harapan dan impian menjadi haji mabrur dipertaruhkan.

Ibarat pulang dari peperangan, ketika pulang naik haji harus menang. Makanya sampai urusan nama menjadi penting. Banyak orang Madura yang merubah nama asli dengan nama baru untuk dijadikan tonggak memulai lembaran baru dalam kehidupan paska haji. Misalnya, nama asal Misdin dirubah menjadi Nuruddin (nur agama). Haji diharapkan mentransformasikan kehidupan yang lebih baik dalam hubungannya dengan Allah, sesama, dan alam.

Bagaimana orang sepulang naik haji ternyata prilakunya tetap buruk? Inilah yang tak diharapkan oleh siapapun yang naik haji. Tetapi orang Madura punya plesetan unik terhadap orang yang sepulang haji, prilakunya ternyata tidak berubah, malah terkadang bertambah buruk. Orang Madura menyebutnya “Ji Tasbani” , akronim dari attas ajji, bebe banni (atasnya haji, bawahnya bukan).

Plesetan ini muncul dari tradisi dalam masyarakat Madura, bahwa setelah menunaikan haji dipastikan orang itu memakai songkok putih. Ini symbol bahwa orang itu sudah menunaikan haji. Songkok ini dipakai dalam keseharian, dan dalam aktivitas apapun.

Nah, orang yang yang menggunakan songkok putih, tetapi prilakunya buruk dicap hanya haji atasnya (songkoknya). Ia terperangkap dalam haji simbolik, karena tak mampu menghajikan bathin, pikiran, kesadaran, sekaligus anggota badannya, karena sepulang haji tetap dalam kubangan keburukan.

Dalam praktiknya, Ji Tasbani dilekatkan terhadap orang yang misalnya masih suka berzina, main judi, mabuk, menjadi rentener, atau selalu bermasalah dengan tetangga dan orang lain. Kira-kira kepulangannya sehabis naik haji, jangankan memberikan manfaat kepada orang lain, terhadap diri sendiri saja tak mampu mendidiknya.

Memang dalam masyarakat Madura, orang yang sudah naik haji naik status sosialnya. Tetapi status social tidak naik dengan sendirinya. Ia membutuhkan pengakuan. Pengakuan yang tulus dari masyarakat akan muncul ketika orang yang sudah naik haji mampu mentransformasikan diri menjadi lebih religious dan memberi manfaat bagi sesama. Tetapi yang tidak mampu menampilkan prilaku seperti itu, akan dicap menjadi Ji Tasbani, satu predikat yang hanya berhenti pada symbol, sebatas songkoknya yang putih.

Meski Ji Tasbani mungkin tidak efektif menjadi alat control bagi orang yang sudah naik haji, tetapi tetap memberi efek yang tidak mengenakkan. Setidaknya, Ji Tasbani menjadi cermin bahwa orang yang sudah menyandang gelar haji bukan soal mudah. Saya jadi ingat teman yang sudah naik haji. Dia bilang, “kalau kamu mau naik haji, kamu sudah harus haji sejak dari rumah.” Ungkapan filosofis yang saya rasa tidak main-main. Semoga saudara-saudara kita yang saat ini sedang menunaikan haji, sekembali ke tanah air tidak menjadi Ji Tasbani. Amien.

poting terkait, Orang Madura Naik Haji

Matorsakalangkong

Sumenep, 5 oktober 2001

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun