Mohon tunggu...
A. Dardiri Zubairi
A. Dardiri Zubairi Mohon Tunggu... wiraswasta -

membangun pengetahuan dari pinggir(an) blog pribadi http://rampak-naong.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Anak Saya Bisa Mengaji Bukan karena PERDA

7 November 2011   16:39 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:57 1045
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Sudah dua orang yang memberi informasi kepada saya bahwa DPRD di kabupaten sumenep saat ini sedang menggodok peraturan daerah (perda) tentang “Bebas Buta Huruf Al Qur’an”. Kebetulan tadi pagi ketika saya mendengarkan radio local, ada wawancara dengan ketua DPRD tentang perda itu. Menurut KH. Imam Hasyim, ketua DPRD Sumenep, perda itu dibuat untuk menjawab makin lemhanya penguasaan baca tulis Al Qur’an di kalangan siswa.

Perda ini menurutnya akan diberlakukan sejak 2012 kepada siswa SD/MI yang akan melanjutkan ke SMP/MTs. setiap siswa yang dinilai sudah memiliki kemampuanbaca tulis Al Qur’an akan memperoleh sertifikat ketika ikut tes masuk SMP/MTs. sementara siswa yang tidak lulus, akan memperoleh bimbingan dari sekolah hingga ia bisa membaca Al Qur’an.

Dari sisi semangatnya, saya menyambut gagasan membangun kecintaan terhadap Al Qur’an. Bagi orang tuamuslim merupakan kewajian untuk memberikan pengajaran baca Al Qur’an sehingga bisa mencintai kitab sucinya. Dari kecintaan terhadap kitab sucinya diharapkan anak menjadikan kitab suci sebagai pedoman hidupnya.

Kenapa Harus Perda?

Cuma masalahnya pada persoalan cara, kenapa harus diperdakan? Di samping karena perda seperti ini masih problematic dalam NKRI yang bukan negara agama, apakah perda semacam ini efektif? Saya melihat munculnya perda ini bentuk kehabisa akal dari elit kita untuk menyelesaikan masalah yang seenarnya masih bisa diselesaikan masyarakat sendiri.

Ada beberapa alasan social-budaya (saya tidak memiliki kemampuan menganalisis masalah dari sudut hukum ketetanegaraan kita) yang hendak saya ajukan bahwa perda bukan jalan keluar untuk menggairahkan kembali kecintaan membaca Al Qur’an di kalangan anak-anak kita.

Pertama, perda hakekatnya adalah bentuk formalisasi. Sesuatu yang awalnya bersifal cultural berubah menjadi structural. Pada awalnya diurus secara sukarela oleh masyarakat sendiri berubah diambil alih negara. Melalui kewenangannya, negara ikut hadir mengatur dan mengontrol sesuatu yang tadinya bersifat cultural itu.

Memang, suppot kebijakan yang bersifat structural bisa menguatkan yang cultural. Tetapi jika tidak hati-hati modal cultural ini akan habis. Proses yang berjalan selanjutnya akan kering karena terjebak dalam formalisasi. Dalam kasus perda ini, misalnya, anak-anak mengaji pasti sedikit atau banyak dipengaruhi oleh niatan untuk memperoleh sertifikat.

Kedua, perda ini jika diterapkan akan kesulitan untuk mengakomudasi bentuk-bentuk pengajaran Al Qur’an yang demikian kaya. Dalam masyarakat saya di Madura ada bentuk pengajaran Al Qur’an yang relative formal seperti TPA, tetapi ada yang tidak formal seperti langgar-langgar yang diasuh oleh kiai kampung secara personal dengan keikhlasanya yang tinggi membimbing anak belajar membaca Al Qur’an. Bahkan ada juga yang cukup diajari oleh ibu-bapaknya di rumah. Bagaimana perda mengakomudasi kekayaan bentuk-bentuk pengajaran Al Qur’an ini?

Ketiga, jika perda ini diterapkan maka di seluruh SMP/MTs harus ada penguji yang ditugasi secara khusus melakukan test baca Al Qur’an. Standar pembacaan memang merujuk kepada ilmu tajwid (disiplin ilmu yang membahas tentang tata cara membaca Al Qur’an). Tetapi yang harus disadari, meski rujukan yang dipake sama, kemampuan tiap orang berbeda dalam kefasihan membaca Al Qur’an.

Nah, bagaimana mengukur tingkat kefasihan guru yang akan memberi test baca Al Qur’an? Apakah pemerintah daerah akan melakukan test missal kepada guru yang akan menjadi penguji baca Al Qur’an? Tetapi jika tidak dilakukan, bukankah nanti satndar yang diterapkan kepada siswa tidak sama, karena kefasihan guru yang member test tidak sama?

Keempat, jika ternyata banyak yang tidak lulus baca Al Qur’an, bagaimana pembimbingan akan dilakukan? Taruh saja misalnya, di sebuah SMP/MTs kuota siswa yang mau diterima 200 siswa. Yang tidak lulus 150 siswa, cukupkah guru agama di sekolah itu yang akan melakukan pembimbingan? Nah ini baru pengandaian di satu sekolah, terus bagaimana jika di semua sekolah yang jumlahnya ratusan di satu kabupaten ternyata juga banyak yang tidak lulus? Mungkin ada yang bilang gampang, tinggal mengangkat guru pembimbing. Kan ada apbd?

Kelima, ada kecenderungan, jika kita tidak mampu menyelesaikan masalah selalu menarik tangan negara. Bahkan kadang para elitnya genit seolah bisa menyelesaikan masalah dengan peraturan. Pada hal jika sudah kadung dijadikan peraturan, konsekuensinya tidak main-main. Tetapi entahlah kok saya meyakini, perda ini tidak akan efektif. Kalau pun jalan, paling satu atau dua tahun. Setelah itu kembali ke keadaan semula. Apalagi tahu sendiri, banyak sekali yang kadang mencari keuntungan di balik celah.

Kembalikan Kepada Masyarakat

Menurut saya, cara terbaik untuk menggairahkan kembali membaca Al Qur’an terutama di kalangan anak-anak, ya kembalikan saja kepada masyarakat sendiri. Bentuknya bukan dengan jalan membuat perda, tapi melakukan gerakan penyadaran secara cultural.

Soal pemerintah daerah mau memfasilitasi gerakan cultural ini tidak masalah, misalnya, mengundang para tokoh agama, organisasi keagamaan, kepala sekolah, komite sekolah, organisasi pemuda dan lainnya, mencanangkan gerakan bebas buta huruf Al Qur’an. Setiap elemen dalam masyarakat memiliki kewajiban untuk melakukan kampanye penyadaran terhadap komunitasnya tentang perlunya anak-anak bisa membaca dan menulis Al Qur’an.

Atau yang paling mudah, bikin kesepakatan antar kepala sekolah di Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) bagi sekolah di bawah naungan diknas dan KKM (kelompok kerja Madrasah) di bawah naungan depag untuk menjadikan baca Al Qur’an sebagai persyaratan masuk ke SMP/MTs. Saya pikir cara-cara cultural melalui jalan musyawarah akan lebih elegan ketimbang melalui penerapan perda yang pembahasannya menghabiskan uang banyak dan penerapannya tidak semudah yang dibayangkan.

Terakhir, saya hanya akan mengatakan bahwa anak saya saat ini baru kelas 2 MI. Alhamdulillah, ia sudah lancar membaca Al qur’an. Di samping ia diajari umminya di rumah, setiap malam ia rajin mengaji sama seorang ibu ikhlas di kampung saya. Saya yakin banyak anak-anak yang bisa membaca Al qur’an dengan baik, dan mereka bisa membaca Al Qur’an bukan karena perda. Wallahu A’lam.

Matorsakalangkong

Sumenep, 7 november 2011

gambar : diunduh dari google

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun