[caption id="attachment_122596" align="aligncenter" width="580" caption="diunduh dari google"][/caption] Saya pernah mendengar bahwa ibadah yang paling disukai Allah SWT adalah puasa.Keistimewaan puasa terletak pada rahasianya. Hanya Allah dan orang yang berpuasalah yang tahu tentang puasanya.
Lihatlah ibadah lainnya. Shalat, misalnya, dengan mudah orang bisa melihatnya. Zakat? Paling tidak orang yang menerima zakat tahu. Apalagi haji, dalam masyarakat Indonesia ada tradisi menaruh gelar H di depan namanya.
Sementara puasa kerahasiaannya tidak bisa ditembus orang. Bibir kering tidak bisa menjadi penanda bahwa ia puasa. Badan lemas tidak serta-merta menunjuk bahwa orang itu puasa. Bahkan orang yang berbuka ketika bedug maghrib tiba tidak serta merta menjelaskan bahwa orang itu puasa. Sekali lagi, puasa adalah rahasia Allah dan orang yang menjalankannya.
Riya’, Sang Kayu Bakar Itu
Setiap kita melakukan ibadah kita berhadapandengan kayu bakar yang siap menghanguskan ibadah kita. Itulah riya’. Suatu sikap pamer diri dan selalu ingin dipuji orang.
Setiap kali mau beribadah hal pertama yang selalu dikalkulasi, apakah orang lain akan memujinya. Orang lain menjadi referensi dalam setiap ibadah yang akan dilakukannya.
“Wah..kalau si anu itu alim, zakat saja tak pernah lupa setiap tahunnya.”
“Wah… si anu itu teguh lho dalam ibadahnya.”
Pujian-pujian seperti itu selalu ia harapkan. Ketika pujian itu terdengar maka ia seperti tidak berjejak di tanah. Hanyut membubung ke angkasa terbawa sikap riya’. Kadang-kadang dalam hati menyelinap satu penegasan, bahwa ia seolah-olah paling suci di hadapan Allah.
Ikhlas, Roh Ibadah
Ikhlas adalah roh dari setiap ibadah yang kita lakukan. Tanpa keikhlasan, melalui harapan dan permohonan akan memperoleh ridla-Nya, ibadah kita tidak memiliki makna apa-apa. Allah sendiri tidak butuh sama ibadah kita. Kebesaran Allah tidak sedikit pun luntur hanya karena kita beribadah/tidak beribadah.
Yang butuh sama Allah adalah kita. Atas dasar itu setiap ibadah yang kita lakukan ditujukan untuk memperoleh ridla-Nya. Semata-mata ditujukan kepada-Nya. Bukan karena ingin memperoleh pengakuan atau pun sekedar pujian dari orang lain. Itulah ikhlas.
Orang yang dengan kokoh menambatkan ibadahnya dalam keikhlasan tak mempan dipuji. Pujian malah dianggap sebagai tantangan atau dalam derajat tertentu akan diyakini sebagai musibah. Layaknya musibah yang bisa mencelakakan, maka ia harus dijauhi. Jika tidak, pujian itu akan menyemai sifat-sifat lain dalam dirinya seperti ‘ujub (bangga terhadap diri sendiri) dan sombong.
Jika sikap ‘ujub dan sombong sudah meluluhlantakkan kesadarannya, ia dengan pongah akan meyakini bahwa seluruh yang ia lalukan dan ia capai, bukan karena ridla Allah, tetapi berkat dirinya sendiri. Ia seolah merasa besar dihadapan Kebesaran-Nya. Dalam konteks inilah, keikhlasan makin menemukan maknanya.
Puasa, sebagai ibadah paling rahasia, bisa menjadi jalan bagi kita untuk menguburkan sikap riya’, ‘ujub, dan sombong serta belajar ikhlas dan tak putus-putus mengharap ridla-Nya. Puasa yang dijangkarkan pada keikhlasan itu, Insyaallah akan bermanfaat bagi kita, dalam makna ritual maupun secara sosialnya.
Selamat berpuasa. Mohon maaf lahir bathin.
Matorsakalangkong
Sumenep, 31 juli 2011
bisa juga dibaca di sini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H