[caption id="attachment_102307" align="aligncenter" width="448" caption="Hadariadi (dok. pribadi)"][/caption] Hadariadi, 42 tahun, adalah sosok kaum muda pekerja sosial tanpa pamrih. Seorang sarjana pendidikan yang tidak mengabdikan diri di ruang belajar formal, tapi mengajari banyak orang melalui kepeduliannya yang total terhadap kesehatan warga miskin. Sejak tahun 2000 hingga tahun 2011 ini sudah 1.000 lebih warga miskin pengguna jamkesmas (jaminan kesehatan masyarakat) yang didampinginya. Sebenarnya saya sudah lama ingin menulis tokoh muda yang kepeduliannya terhadap warga miskin begitu total ini. Setiap kali saya menelponnya kebetulan ia sibuk mendampingi warga miskin yang harus di rujuk ke Rumah Sakit Dr Soetomo, Surabaya, karena penyakitnya tergolong berat. Pada hal jarak Surabaya-Sumenep tidaklah dekat, sekitar 175 km atau kira-kira 4-5 jam jika ditempuh dengan bis. Tahukah Anda, mas Hada (begitu dia dipanggil teman-temannya) ketika mendampingi warga miskin ke RS Surabaya, lebih sering menggunakan uang sendiri. Kalau pun ditanggung pasien, ia hanya menerima seongkosan naik bis/travel. Jika lebih dia akan menolaknya. Itu pun jika ia kepepet tidak punya uang. Selama masih punya uang sendiri, ia pantang menerima pemberian pasien. Apalagi meminta. "Saya niatnya membantu. Dan pasien yang saya dampingi orang yang tidak mampu. Masa saya mau menerima/meminta uang dari mereka?", kata mas hada ketika berkunjung ke rumah saya. Pada hal di Surabaya dia bisa 1 minggu, bahkan kadang lebih, karena untuk memperoleh kamar bagi pasien miskin harus mengantri. Biasanya di Surabaya, di samping ia menanggung uang makan sendiri, ia juga menyewa kos harian. Sehari antara 20-30 ribu. Jika satu minggu, tinggal dikalikan saja berapa uang yang harus ia keluarkan. Setelah beres kamar dan dokter yang menangani, dia baru pulang ke Sumenep. Tetapi ketika dibutuhkan pasien, karena misalnya ada sesuatu yang butuh pertolongannya, dia berangkat lagi ke Surabaya. Begitulah, mas Hada harus bolak-balik Sumenep-Surabaya dengan uang sendiri. Meski berlatar dari kehidupan ekonomi biasa, hal itu tidak menjadi hambatan untuk melakukan kerja-kerja kemanusiaan. Sampai detik ini, tokoh muda ini masih ngontrak di sebuah rumah sederhana berukuran 5x9 m. Istrinya seorang PNS yang baru tahun 2009 diangkat setelah puluhan tahun menjadi guru kontrak di sebuah Madrasah Ibtidaiyah Negeri. Dikarunia dua anak, yang pertama seorang perempuan yang saat ini masih kuliah di IPB, Bogor, sementara anak kedua laki-laki masih duduk di bangku SD di kabupaten Sumenep. Keluarganya, terutama sang istri, sangat mendukung apa yang dilakukan suaminya.
[caption id="attachment_102309" align="aligncenter" width="336" caption="ibu ainurrahimah, istri mas hadariadi, yang mendukung penuh kegiatan suaminya"][/caption] Awal Pendampingan Itu... Awal mula mendampingi pengguna jamkesmas tahun 2000. Ia tidak tahan melihat warga miskin yang sering dipelakukan secara diskriminatif di Rumah Sakit Daerah (RSD). Hal-hal yang dialami warga miskin pengguna jamkesmas umumnya tidak memahami prosedur mengurus jamkesmas, tidak lengkap persyaratan admisnistrasinya, dipingpong ke sana-ke mari ketika mengurus, lambat ditangani, dibentak perawat, hingga dipungli oleh 'mafia RSD' yang melibatkan 'pendamping profit', perawat, hingga dokter. Pungli ini biasanya dialami oleh pasien yang harus dioperasi. Melihat pengguna jamkesmas banyak yang tidak dimanusiakan di RSD, ia tergerak untuk mendampingi. Ia turun langsung ke RSD. Membantu pasien sejak mengurus administrasi di loket, memperoleh kamar, memastikan bahwa pasien memperoleh perawatan maksimal, mengambil obat di apotik untuk pasien, hingga mengawal pasien ketika check out dari rumah sakit. Dalam prakteknya, ia tidak segan-segan bersitegang dengan perawat, dokter, direktur rumah sakit, bahkan kepaka dinas kesehatan jika ada pasien warga miskin diperlakukan secara diskriminatif. Lambat laun, ia menjadi tumpuan warga miskin pengguna jamkesmas. Setiap hari selalu saja ada yang mengontak untuk minta bantuannya. Melalui telpon atau bahkan datang ke rumahnya. Tak jarang siang-malam ia datang ke rumah sakit dengan motor bututnya, semata-mata untuk memastikan bahwa RSD menunaikan kewajibannya melayani hak warga miskin tanpa diskiminasi. Bahkan sering juga, sebagaimana saya singgung di atas, ia mendampingi hingga ke Rumah Sakit di Surabaya. Biasanya pasien yang didampingi ke Surabaya yang mengidap penyakit berat seperti tomur atau kanker yang tidak bisa dilayani di RSD. Dari 1.000 lebih pasien yang ia dampingi, lebih banyak pasien yang di RSD. Kira-kira, menurutnya, hanya 30 orang yang sudah ia dampingi ke rumah sakit Surabaya
.
[caption id="attachment_102323" align="aligncenter" width="448" caption="bayi yang pernah didampingi mas hada ke RS Surabaya. penyakitnya tomur air. foto sebelum dioperasi (dok pribadi)"]
[caption id="attachment_102330" align="aligncenter" width="448" caption="foto setelah dioperasi"]
Matorasakalangkong
Sumenep, 21 april 2011
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H