Mohon tunggu...
A. Dardiri Zubairi
A. Dardiri Zubairi Mohon Tunggu... wiraswasta -

membangun pengetahuan dari pinggir(an) blog pribadi http://rampak-naong.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Tak Usah Ngebom, Mari Dialog Saja Tuan

24 Maret 2011   05:29 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:29 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_96442" align="alignnone" width="640" caption="google.com"][/caption] Tuan yang terhormat

Saya orang kampung. Terlalu rumit bagi saya memahami ledakan bom yang tuan simpan di dalam buku. Sekali lagi buku tuan, yang oleh orang dianggap sebagai jendela pengetahuan. Karena itu dibaca. Tapi di tangan tuan lain. Buku tiba-tiba menjadi menakutkan. Memang, tuan cerdas. Menaruh bom dalam buku kali pertama di Indonesia. Sebelumnya biasanya di tempat ramai.

Soal sasarannya yang bersifat personal, saya juga bingung membacanya. Ada ulil, yapto, dhani, terus satunya siapa tuh pemburu bandar naroktik, saya lupa namanya. Nama-nama itu tidak saling berhubungan. Tapi saya cuma bisa menerka, meski sasaran beda dan tidak saling ada hubungan, pesan teror tuan satu. Apa itu? Nah ini saya tidak bisa menjawabnya. Saya terlalu awam tuan.

Tuan yang terhormat

Saya orang kampung. Saya sulit menangkap motif di balik teror bom buku itu. Motif ideologiskah? Motif politiskah? Saat ini berkembang spekulasi di masyarakat. Ada yang bilang teror bom itu hasil konspirasi antara “kelompok kuat” dan “kelompok keras”, katanya sebuah gerakan revolusi. Tapi ada yang bilang, teror bom buku ini merupakan pengalisahan isu. Entahlah, saya awam tuan.

Yang saya tahu dari guru madrasah saya, apapun motifnya, kekerasan tidak bisa dibenarkan. Sebut saja, teror yang tuan-tuan cipta untuk menghentikan kemungkaran. Tapi kata guru saya, kemungkaran tak bisa dilawan dengan kemungkaran. Bukankah bom yang disembunyikan dalam buku itu memiliki daya rusak yang dahsyat? Bisa merenggut nyawa? Bukankah tindakan merusak itu kemungkaran?

Saya tahu tuan-tuan bukan aktornya. Tuan-tuan hanya melaksanakan perintah. Mungkin tuan-tuan melakukannya atas nama jihad. Itu ternanam kuat dalam kesadaran tuan, karena tuan-tuan telah mengalami ‘pencucian otak’. Tapi yang saya tahu dari guru madrasah saya, jihad yang paling sulit melawan hawa nafsu. Jadi seandainya tuan menolak, itu juga jihad. Karena tuan mampu melawan hawa nafsu dan kehendak untuk merusak. Menaklukkan daya rusak yang ada pada diri sendiri.

Jadi atas nama agama sekali pun, kekerasan itu tidak bisa dibenarkan tuan. Agama itu mengajarkan akhlak. Mengajarkan kebaikan. Terlalu kerdil melelatakkan agama sebagai pemicu kekerasan. Pemicu kehawatiran. Pemicu kecemasan. Agama itu rahmat. Penyebar kebaikan dan kedamaian.

Apalagi tuan, jika melihat kemungkaran kita diminta untuk berdakwah saja, mengajaknya kembali kepada kebaikan. Soal apa yang menjadi sasaran dakwah kita mau baik atau tidak, ini sudah wilayah Allah. Karena yang punya petunjuk Allah, bukan kita.

Nah lebih sial lagi jika agama bersetubuh dengan kepentingan politik untuk merebut kekuasaan. Ini lebih gawat tuan. karena agama hanya topeng. Di balik topeng tersimpan hasrat menggelegak untuk berkuasa. Agama yang sejatinya dijalani dengan ikhlas, harus berlumuran hasrat kekuasaan yang seringkali membenarkan segala cara. Termasuk membenarkan kekerasan.

Saya tahu, tuan-tuan mungkin frustasi melihat bejibunnya masalah bangsa ini. Mungkin muak melihat para elit tidak becus mengurus negeri ini. Mungkin kecewa karena penegakan hukum dan korupsi seperti dua lembaga yang melakukan kawin sirri. Mungkin marah karena nasib rakyat kian terpuruk. Semakin miskin. Dan tak mampu membeli sebutir beras pun untuk dimakan. Tapi tuan-tuan, bukankah melakukan kekerasan menambah situasi semakin buruk?

Soal frustasi, muak, dan kecewa sebenarnya sama dengan saya. Dan rakyat di negeri ini pasti merasakan hal sama. Tetapi lihatlah tuan-tuan, mereka tetap tangguh. Mereka tetap mengais rizki halal. Dalam kekurangan, mereka tetap bekerja. Jangankan mengebom, mengumpat satu kata yang membuat orang tersinggung, sudah tidak sempat. Jadi, sabarlah tuan. Orang sabar tentu akan lebih bijak memberi saran dan kritik pada elit bangsa ini. Tak usah lah melakukan kekerasan.

Terakhir tuan-tuan

Apakah anda pelaku teror, aktor intelektual, sasaran teror, atau penguasa yang makin tidak efektif pemerintahannya, mari berdialog saja sambil selonjoran. Bermusyawarah. Ingat tuan, musyawarah tradisi bangsa kita, sesuatu yang belakangan ini makin tergerus oleh tabiat kita yang merasa benar sendiri. Egois.

Setahu saya, musyawarah juga ajaran agama. Tentu melakukannya dapat pahala. Saya yakin, dengan musyawarah yang setara dan jujur, semua masalah berat di negeri ini bisa di atasi tuan-tuan. Yang penting kesampingkan dulu sikap merasa benar sendiri, egois, dan merasa paling tahu.

Ah...terlalu banyak saya ngomong. Segini saja tuan-tuan. Saya ditunggu istri yang baru dapat kiriman buku. Semoga saja tidak ada bomnya. Salam damai.

matorsakalangkong

sumenep, 24 Maret 2011

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun