Mohon tunggu...
A. Dardiri Zubairi
A. Dardiri Zubairi Mohon Tunggu... wiraswasta -

membangun pengetahuan dari pinggir(an) blog pribadi http://rampak-naong.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Renungan Pagi: Racikan Kopi dan Imagi Kebangsaan

27 Januari 2011   03:38 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:09 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_85924" align="aligncenter" width="640" caption="kangfuad.wordpress.com"][/caption] Selamat pagi . Mari kita salaman. Sepertinya kita perlu ngopi bersama sambil belajar memerdekakan diri dengan senyuman. Menyapa dengan wajah riang. Menyambut keragaman dan perbedaan dengan lapang. Sudah penuh sasak dada ini mendengar gerutu, caci maki, keluhan, dan bahasa yang kosong tanpa makna. Berseleweran menguliti rasa kemanusiaan. Perih rasanya. Ya... saya hanya ingin sejenak diam dalam kesenyapan, kesunyian, dan kesederhanaan. Sambil berharap menetaskan mutiara dalam ucap, tindakan, gesture, perasaan, kesadaran, dan cara pikir yang memungkinkan saya memahami makna menjadi manusia. Lengkap dengan kemanusiannya.

Selamat pagi. Mari kita salaman. Sepertinya kita perlu ngopi bersama sambil berdiskusi tentang perlunya memerdekakan diri dari kerakusan. Belajar mengeja makna berbagi tak henti-henti. Karena di situlah letak kebahagiaan berada sebagai sesama manusia yang hidup dalam satu bangsa. Indonesia namanya. Sudah penuh sesak dada ini melihat perceraian kemanusian kita lakukan setiap hari. Saling injak, saling sikat, saling tusuk, saling tendang, saling bantai tanpa menyisakan penyesalan. Saya tidak tahu tiba-tiba masing-masing diri kita menjadi raksasa yang melihat orang lain begitu kecilnya dan layak menjadi mangsa. Ya..kita begitu rakusnya. Ingin menguasai semua tanpa berpikir bahwa ada hak orang lain. Kerakusan itu menelusup ke dalam pori-pori kita. Semua yang ada dalam diri kita sudah dikuasainya. Mulut, telinga, hidung, mata, tangan, kaki, paha, bahkan (maaf) alat vital telah menjelma menjadi mesin kerakusan yang menggiling kesadaran pemiliknya.

Selamat pagi. Mari kita salaman. Sepertinya kita perlu ngopi bersama. Berbicara dari hati ke hati tentang perlunya kembali meracik imagi kebangsaan. Imagi kebangsaan yang tentu saja dekat dengan bau keringat si kecil. Yang membahagiannya bahwa bangsa ini juga punya mereka. Bukan hanya punya kita. Apalagi segelintir elit yang meraja.

Selamat pagi. Mari kita salaman. Sepertinya kita butuh meracik kopi bersama dan meracik imagi kebangsaan yang mulai memunah. Cukup meminum. Tak perlu menyenggol kopi sebelah. Dan mari kita mulai bicara dari hati ke hati. Dengan senyuman. Dengan ketulusan. Tak perlu teriak. Tak perlu ngotot. Tak perlu marah. Cukup dengan suara lirih tapi mengetarkan. Karena kita bicara tentang masalah di tingkat akar.

Selamat pagi semua. Mari mulai meracik kopi dan imagi kebangsaan yang mulai memunah.

matorsakalangkong

sumenep, 27 januari 2011

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun