Mohon tunggu...
A. Dardiri Zubairi
A. Dardiri Zubairi Mohon Tunggu... wiraswasta -

membangun pengetahuan dari pinggir(an) blog pribadi http://rampak-naong.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Air dan Gentong Peradaban

23 Oktober 2010   02:08 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:11 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Dahulu, kemasan melindungi apa yang di jual.

Sekarang, kemasan menjual apa yang dilindungi”

(wall FB penerbit jala sutera)

Saya masih ingat, waktu saya masih kecil di desa saya, di kabupaten Sumenep Madura, hampir setiap rumah menaruh gentong. Gentong ditaruh di samping atau depan rumah, biasanya dekat jalan yang menjadi lalu-lalang orang. Gentong itu diisi air yang sengaja disediakan bagi siapapun yang kehausan. Orang yang kebetulan lewat –dikenal atau tidak—jika haus bebas meminumnya. Alat yang digunakan untuk meminum—semacam gelasnya— terbuat dari batok kelapa. Batok itu ditaruh di atas tutup gentong. Atau ditaruh di kaitan yang memang sudah disiapkan.

Waktu kecil saya sering memanfaatkannya. Habis bermain jauh –apalagi habis main sepakbola—pasti diserang rasa haus. Praktis. Jika ada orangnya cukup minta ijin. Jika tidak, meminumnya juga tidak apa-apa. Halal. Karena gentong yang berisi air itu memang disediakan untuk umum.

Itulah cara masyarakat dahulu memartabatkan air dan memartabatkan sesama. Kelihatannya sangat sepele; hanya dengan sebuah gentong. Tetapi makna besarnya terletak pada kesediannya untuk berbagi. Apalagi air waktu itu sangat melimpah, karena mereka tahu bagaimana cara menggunakan air dengan bijak. Air adalah anugerah Tuhan untuk semua.

Saat ini, gentong peradaban itu sudah musnah. Kapitalisme sudah mengajari penduduk desa pelit untuk berbagi. Apalagi serangan pemodal air kemasan merasuk hingga pelosok desa yang sangat terpencil sekalipun.

Di desa saya, pemodal lokal tak kalah rakusnya. Di hamparan sawah yang luas banyak terdapat sumur bor milik pribadi yang menjual air kepada para petani kecil penggarap sawah. Saya tak habis pikir, begitu susahnya kepemilikan sumur bor itu dipunyai bersama. Dikelola bersama dan untuk kepentingan bersama.

Sungguh sadis. Pemodal saat ini menjual air tidak saja untuk kebutuhan sawah. Di beberapa desa yang relatif sulit air, keperluan mandi, nyuci, masak juga harus beli. Sepertinya, pemodal desa “satu hati” dengan korporasi yang menjual produk air kemasan.

Wajar(?), jika gentong peradaban kini tinggal kenangan. Kiblat pengelolaan air sekarang adalah Aqua.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun