Dulu, ketika saya duduk di bangku Madrasah Ibtidaiyah (MI), saya senang sekali jika mendengar guru bercerita. Salah satu cerita yang saya ingat tentang seorang pemilik warung yang pura-pura tuli ketika seorang perempuan kentut dengan suara menggelegar, saat membeli sesuatu di warungnya. Tak ingin perempuan itu malu, maka si pemilik warung pura-pura tidak mendengar.
“ Mau membeli apa? ,” teriaknya kepada perempuan itu.
“Mau beli,” ulang perempuan yang sudah merasa tidak nyaman akibat kentutunya yang keras itu.
“Mau beli apa, Maaf saya tuli,” teriaknya lagi berkali-kali
Setelah yakin bahwa pemilik toko itu tuli, perempuan itu pun lega. Ia merasa nyaman dan bisa menguasai keadaan kembali lantaran Ia yakin suara kentutnya yang keras itu tidak didengar oleh pemilik warung.
Cerita guru dahulu, kembali muncul tiba-tiba ketika secara tidak sengaja saya menemukan link-nya di sini. Rupanya cerita guru dahulu bukan sekedar dongeng. Pemilik toko itu ternyata seorang Ulama besar, namanya Hatim Al-Asham yang wafat di Baghdad, Irak tahun 852 M atau 237 H. Kata ‘al-asham’, yang dinisbatkan kepadanya ternyata bermakna tuli, sebagaimana diriwayatkan Imam Ghazali dalam kitab Nashaihul Ibad.
Cerita guru saya sedikit berbeda versinya dengan link di atas (silahkan dibaca). Mungkin beliau sengaja merubah biar saya dan teman-teman dulu lebih mudah menangkap pesannya. Tetapi ada sesuatu yang tidak diceritakan oleh guru saya dulu, ternyata Hatim pura-pura tuli selama 15 tahun hanya untuk menjaga kehormatan si perempuan tadi. Pendengaran Hatim kembali (di)normal(kan) setelah perempuan itu meninggal dunia.
Bagi saya, cerita di atas terus terang begitu membathin. Menjaga kehormatan perempuan yang hanya kentut di depannya, Ulama besar ini rela menebusnya dengan pura-pura tuli selama 15 tahun. Tentu guru saya tidak menyuruh melakukan hal sama. Tetapi yang selalu dipesankan oleh beliau yang sekarang sudah meninggal (Allahu Yarham), kami diminta untuk menjaga perasaan dan kehormatan orang lain. Kami diminta untuk tidak mempermalukan orang lain.
Cerita yang sangat inspiratif di atas menemukan kontekstualisasinya dengan kehidupan kita sekarang, di saat semua orang begitu gampang membuka mulut tanpa lebih dulu diendapkan dalam kejernihan berpikir. Semua seperti saling berebut untuk memalukan dan menjatuhkan orang lain, apalagi yang berbeda.
Ungkapan “Mulutmu Harimaumu” yang sering kita dengar sebenarnya bukan sekedar “alarm” agar orang menjaga mulut, tetapi ungkapan di atas juga menegaskan bahwa mulut sekarang banyak yang jadi harimau. Tidak saja kepada orang lain, tetapi akhirnya menimpa kita sendiri.
Mari jaga kehormatan orang lain, mulai sekarang.
Matorsakalangkong
Pulau Garam | 5 November 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H