[caption id="attachment_362252" align="aligncenter" width="434" caption="ekbis.sindonews.com"][/caption]
Presiden Jokowi dalam kunjungannya ke Subang mengaku geram, Indonesia yang sangat kaya raya dan luas lahan sawahnya masih suka mengimpor beras dari negara lain. Dalam 3 tahun ke depan, lanjut Jokowi, Indonesia harus swasembada beras (Kompas, 27 Desember 2014).
Geramnya Jokowi ternyata berbanding lurus dengan nasib petani yang malang. Seolah musibah rutin, setiap musim tanam, petani disulitkan oleh kelangkaan pupuk. Di daerah saya, di Kecamatan Gapura Sumenep Madura, para petani baru seminggu ini menanam benih padi. Hiruk-pikuk kekecewaan petani sudah mulai terdengar soal kelangkaan pupuk subsidi seperti yang dialami Pak Zali, H. Basith, dan Hartono untuk sekedar menyebut tetangga saya. Nasib malang petani yang secara riil saya lihat sehari-hari begitu kontras dengan impian swasembada beras sebagaimana diangankan Pak Presiden.
Ya, pupuk seolah menjadi teror musiman bagi petani. Setiap kali musim tanam, kelangkaan pupuk ibarat mimpi buruk yang menginterupsi tidur nyenyak para petani. Sialnya, meski terjadi setiap kali musim tanam, masalah ini seolah tidak bisa diurai. Lagi-lagi yang menanggung akibatnya justru petani, pihak yang seharusnya dikuatkan jika impian swasembada beras hendak diwujudkan.
Soal pupuk sebenarnya bukan sekedar langka, tapi juga ruwet. Ruwetnya pupuk terjadi dalam distribusinya. Sejak pemerintahan SBY, penyaluran pupuk langsung ke kelompok tani (poktan). Alur distribusinya seperti ini: distributor menyalurkan ke kios yang berada di kecamatan-kecamatan, dari kios didistribusikan ke poktan yang berada di areanya.
Sekedar gambaran, di Kabupaten Sumenep terdapat 7 distributor/CV, 170 kios dan 3.404 poktan (Radar Madura, 29 Desember). Di Kecamatan Gapura, daerah saya tinggal, ada 3 kios yang melayani petani di 17 desa. Di luar kios resmi ini sebenarnya tidak boleh menjual pupuk. Sayang, Kenyataannya pupuk dengan mudah dapat ditemukan di toko-toko yang tidak resmi. Hal ini tidak hanya terjadi di kecamatan saya, di hampir semua kecamatan juga sama.
Distribusi pupuk dari kios langsung ke kelompok tani niatnya baik. Tetapi di lapangan malah menjadikan petani tambah ruwet. Jika datang ke kios, pupuk sering kali tidak tersedia. Kalaupun ada, jumlahnya tidak sesuai dengan kebutuhan. Justru pupuk dijual bebas di toko-toko yang tidak ditunjuk sebagai kios. Nah di sinilah harga mulai dipermainkan.
Harga Eceran Tertinggi (HEC) pupuk bersubsidi jenis urea di kios biasanya Rp 90 ribu/sak. Di toko-toko tidak resmi jenis pupuk ini dibanderol 150/sak. Tentu hal ini tamparan buat petani. Ongkos produksi akan semakin tinggi justru di tengah kebutuhan sehari-hari yang kian merangkak naik akibat efek domino kenaikan harga BBM.
Saya tidak berani bersepekulasi, apakah “kelangkaan” pupuk bersubsidi sengaja didesain oleh distributor, kios, dan kios-kios tidak resmi? Apakah kelangkaan ini melibatkan jaringan mafia yang lebih massif? Lalu, di mana Disperta (Dinas Pertanian) dalam kasus ini? Ke mana juga para wakil rakyat di DPRD?
Mengharapkan Disperta untuk mengawasi distribusi penyaluran pupuk dalam pandangan saya sulit. Karena Disperta berdiri di dua kaki, sebagai regulator dan wasit sekaligus. Regulator yang saya maksud misalnya, penunjukan CV sebagai distributor difasilitasi oleh Disperta sementara Disperta diminta untuk mengawasi rekanannya. Posisi “abu-abu” seperti inilah yang seringkali dimanfaatkan sebagai celah untuk bermain mata.
Seharusnya DPRD mengambil peran secara lebih aktif untuk mengawasi distribusi pupuk bersubsidi. Sayang, DPRD sepertinya masih menikmati masa-masa kegembiraan dan “kekagetan budaya” akibat terpilih (lagi). Kebanyakan masih belum on fire terhadap tugasnya.
H. Basith, tetangga saya memiliki usul agar penyaluran pupuk dikembalikan seperti sebelum dibentuk poktan. Kios yang menjual pupuk tak perlu ditunjuk dan dibatasi seperti sekarang, tetapi biarkan toko-toko yang mau menjadi penyalur pupuk diijinkan menjualnya juga. Cara seperti ini akan memudahkan petani memperoleh pupuk, di samping harga pasti bersaing.
Selama ini menurut pengakuannya, distribusi pupuk ke poktan selalu tidak memenuhi kebutuhan. Jumlah yang disalurkan lebih sedikit ketimbang yang dibutuhkan. Bahkan kadang-kadang tidak ada sama sekali. Kalau yang disalurkan jumlahnya sedikit, biasanya diambil oleh pengurus poktannya. Anggota poktan umumnya gigit jari.
Kalau tetap penyalurannya melalui poktan, mungkin yang harus dibenahi pada mekanisme pengawasannya. Pengawasan tidak bisa diserahkan kepada Disperta karena berdiri di dua kaki sebagaimana penjelasan di atas. Dalam soal ini, Menteri Pertanian harus memeras otak untuk mencari solusinya.
Soal distribusi pupuk yang ruwet dan bermasalah sebenarnya sudah dipetakan oleh Menteri Pertanian, Amran Sulaiman. Menurut Pak Amran dari hasil kunjungannya ke 14 provinsi dan 50 kabupaten di seluruh Indonesia menemukan lima hambatan yang bisa menghambat swasembada pangan, salah satunya soal distribusi pupuk (Kompas, 27 Desember 2014).
Nah, Pak Menteri sudah tahu masalahnya. Sekarang dibutuhkan cara-cara luar biasa untuk menyelesaikannya. Termasuk menyelesaikan geramnya Presiden Jokowi dan malangnya para petani. Selamat bekerja Pak Amran.
Matorsakalangkong
Pulau Garam | 30 Desember 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H