Padang, (Kompasiana) – Pakar Perubahan Sosial, Dr, Elfitra, M. Si, mengatakan masyarakat Minangkabau gamang kembali ke nagari karena selama puluhan tahun masa Orde Baru terjadi perubahan-perubahan sosial dan budaya serta pemvakuman sistem tradisional Minangkabau.
“Pemerintahan desa dari sabang sampai mereuke pada masa Orde Baru mengadopsi sistem daerah di Pulau Jawa yang diterapkan. Pemerintahan Orde Baru menciptakan sistem sentralistik untuk mengurangi pemberontakan-pemberontakan seperti yang terjadi pada Orde Lama,” katanya di Padang, (2/3).
Ia menambahkan, pemerintah membentuk departemen-departemen di daerah yang berpusat di Jakarta. Birokrasi yang dibentuk akan memperkuat pemerintahan pusat di daerah-daerah, tambahnya.
“Pada masa Orde Baru terjadi beberapa perubahan di Sumatera Barat. Dahulu masyarakat Minangkabau mengenal sistem kekerabatan yang sangat luas yang menghuni satu rumah gadang, tetapi sekarang satu rumah kecil didiami oleh ayah, ibu, dan anak,” katanya.
Ia mengatakan, dahulu lapau sebagai media sosialisasi antara tua dan yang muda, tempat pemberian materi adat dan agama. Semenjak ada televisi, dialog antara orang di dalam lapau tidak terjadi lagi. “Televisi menjadi sentral informasi di lapau tersebut,” lanjutnya.
Ia menambahkan, dan juga terjebak dengan penyeragaman yang baru. Misalnya dengan adanya peraturan-peraturan daerah, padahal setiap nagari mempunyai iklim yang berbeda, katanya.
“Silahkan bentuk Perda sebagai acuan, tetapi berikan kelonggaran-kelonggaran kepada nagari dalam membuat sistem yang sesuai dengan masyarakatnya,” tambahnya.
“Pada era reformasi, masyarakat menolak sistem desa yang diterapkan di Minangkabau. Tetapi selama puluhan tahun Orde Baru merubah sistem kebudayaan dan sosial sehingga konteks masyarakat Minakabau mengalami perubahan. Ketika konsep Minangkabau itu diterapkan maka banyak persoalan-persoalan,” katanya.
Ia mengatakan, semasa Orde baru konsep ideal itu mulai berubah. Pada masa orde baru, desa juga membuat aturan-aturan di suatu nagari yang berlaku setiap suku-suku, lanjutnya.
“Saat sekarang muncul permasalahan-permasalahan baru. Banyak gelar datuk diperuntukan kepada para calon pilkada yang berada jauh dari kampung halaman. Gelar datuk bukan simbolis tetapi jabatan fungsional. Lembaga-lembaga berwenang dalam adat harus arif dalam menyikapi pemberian gelar datuk,” katanya.
Ia mengatakan, saat sekarang laki-laki yang pintar lazim mencari isteri jauh dari kampungnya. Orang yang berpotensial ini tidak bisa diharapkan sepenuhnya. Hal ini bermasalah terhadap kaderisasi kepemimpin di nagari Minangkabau, ungkapnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H