Ratusan guru di Riau pada Senin 30 Juli 2012 lalu melaksanakan Uji Kompetensi Guru (UKG) yang dilaksanakan secara serempak melalui sistem online di seluruh Indonesia. Sayangnya, kerusakan data base pada sistem yang ada di Jakarta akhirnya di tunda. Banyak yang kecewa, tapi tak sedikit pula yang malah senang karena sebelum UKG, para guru tersebut banyak yang khawatir tidak lulus uji kompetensi.
Meski pemerintah dan organisasi seperti PGRI berkali-kali menyatakan bahwa UKG tidak mempengaruhi jabatan seorang guru, namun tetap saja banyak para guru yang merasa khawatir dan bahkan alergi terhadap proses uji kompetensi tersebut.
Ya memang, seharusnya guru tak perlu alergi uji kompetensi. Sebab pada era kapitalisme sekarang kualitas guru memang sudah menjadi keharusan. Kredibilitas dan keagungan profesi, tidak lagi tercermin dalam sikap yang mengutamakan dedikasi pelayanan dan integritas pengabdian seseorang terhadap masyarakatnya.
Selama ini, guru sangat sensitif, bahkan begitu emosional jika soal pengabdian ini terusik. Bahkan bisa melakukan aksi massa melibatkan ribuan orang untuk berdemo, layaknya buruh menuntut upah. Kita menjadi sulit bagaimana memosisikan profesi guru. Perlakuan masyarakat terhadap guru kini diukur dari produktivitas ekonomis profesi ini. Menguatnya fenomena demo guru yang berkutat pada kesejahteraan, melahirkan dampak negatif: guru menjadi cibiran keterbelakangan etika dan moralitas.
Tentu saja aksi-aksi menuntut perbaikan kesejahteraan bukan hal yang tabu. Tapi jangan lupa, guru-guru yang sudah sejahtera tetap berdemo karena ketakutan kehilangan tunjangan profesi sebulan gaji. Ketika pemerintah menerapkan "uji kompetensi guru", maka kata "uji kompetensi" seolah-olah membuat alergi.
Banyak pengamat pendidikan yang prihatin atas kemarakan demostrasi guru menuntut kesejahteraan, bukan menuntut peningkatan kualitas profesi. Buktinya, menjelang uji kompetensi, bersama sejumlah organisasi, guru menggalang aksi dengan beragam argumen sebagai pembenar untuk menentang.
Padahal sepatutnya disadari, tuntutan profesional membutuhkan kerja keras untuk menyiapkan rencana pengajaran dan strategi belajar-mengajar yang kreatif-inovatif bagi para siswa. Sudah saatnya guru mengikis idiom pengabdian, bila hal tersebut malah membuat kualitas guru tidak meningkat.
Kita harus menyadari bahwa profesi guru tidak akan kehilangan kemuliaannya hanya karena penerapan "uji kompetensi" yang diterapkan pemerintah. Kita harus menyadari bahwa kompetensi guru dalam mengajar sudah menjadi tuntutan yang tak bisa dihindari. Sayangnya, setiap ikhtiar untuk meningkatkan kualitas guru, sepertinya selalu dihalangi dan memunculkan masalah.
Kita sepakat bahwa ruh profesi guru adalah pengabdian untuk mencetak generasi muda. Pengabdian menjadi tantangan terberat ketika seseorang memutuskan untuk menggeluti profesi guru. Bukankah guru memiliki tanggung jawab dalam membangun karakter, menjadi panutan, digugu dan ditiru oleh anak-anak masa depan bangsa? Jadi sekali, jangan alergi dengan uji kompetensi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H