Banyak yang percaya bahwa negeri kita adalah negeri yang kaya dan lebih dari mampu untuk membuat rakyatnya sejahtera. Begitu kayanya hingga pepatah sampai memberikan metafor "tongkat kayu dan batu pun jadi tanaman". Namun sayangnya keyakinan itu tak seperti harapan. Bukti paling nyata adalah nasib petani sebagai penduduk terbesar negeri ini, masih dirundung duka berkepanjangan.
Masa keemasan sebagai negara berswasembada pangan kini terpuruk menjadi negara pengimpor hampir semua produk pertanian. Kasus perajin tahu-tempe pun terancam klopas, menjadi contoh nyata bahwa petani dalam negeri tidak mampu memenuhi kebutuhan mereka. Akibatnya, harga kedelai impor melambung, sementara tahu dan tempe merupakan menu keseharian masyarakat kita.
Banyak para ahli menyebut penyebabnya adalah kebijakan pemerintah yang keliru. Selama 20 tahun terakhir, pemerintah mengadopsi kebijakan pangan ala neoliberal. Pasar bebas di bawah tekanan IMF dan Bank Dunia itu melahirkan kebijakan penghapusan/ pengurangan subsidi. Produk pertanian impor pun leluasa masuk ke pasar domestik dan menghancurkan sektor pertanian. Ribuan petani kehilangan mata pencaharian.
Hasilnya, defisit neraca perdagangan komoditas pertanian terus memburuk setiap tahunnya. Menurut data Bappenas, defisit 2006 dari 28,03 juta dolar AS naik 200 kali lipat menjadi 5,509 miliar dolar AS pada 2011. Kita seolah-olah tidak menemukan jawaban, mengapa negeri agraris ini bisa defisit sedemikian dahsyat? Apakah kuantitas produk pertanian tidak memenuhi permintaan? Atau kualitasnya tidak bisa bersaing? Kini komoditas impor bukan hanya beras: kedelai, jagung, bawang merah, cabai, dan buah juga menguasai pasar lokal.
Bappenas juga menyebut sebanyak 60 persen penduduk tinggal di pedesaan, dan 70 persen diantaranya hidup dari pertanian. Separuh hanya memiliki lahan sempit, dan sebagian besar sebagai buruh tani/ perkebunan. Jumlah petani gurem meningkat dalam 10 tahun dari 10,8 juta menjadi 13,7 juta orang. Situasi ekonomi yang memburuk itu memaksa petani memacu produksi dengan pupuk kimia dan pestisida.
Kondisi ini semakin sulit dengan kebijakan pemerintah yang tak lagi pro ekonomi rakyat. Demi investasi, areal pertanian makin menyempit. Lahan-lahan pertanian digusur industri properti. Fakta-fakta itu tidak membuat pemerintah tergerak untuk memperbaiki keadaan.
Maka dari itu kita mendesak pemerintah untuk memikirkan kondisi para petani yang kehidupannya semakin terancam. Program ketahanan pangan yang dilakukan pemerintah, mestinya menyentuh hingga ke rumah tangga. Kita harus menjaga lahan sawah irigasi, meningkatkan mutu produksi dan terus melakukan perluasan areal pertanian.
Jika pemerintah bersikeras mementingkan industrialisasi dan menafikan sektor pertanian sebagai basis pembangunan ekonomi, dipastikan kita bakal makin terpuruk. Ibaratnya, seperti pepatah diatas "tikus mati di lumbung padi". Sungguh ironi bila rakyat kelaparan di negeri yang kaya raya seperti Indonesia ini.