Masih terbersit dalam ingatan gegap gempita dan gemuruh perjuangan menyongsong kemerdekaan Indonesia, dimana hasil perjuangan panjang tersebut terjadi saat dibacakannya teks proklamsi oleh perwakilan bangsa, Soekarno Hatta. Momentum yang menandai diakuinya Indonesia sebagai negara bangsa dalam percaturan bangsa-bangsa dunia tentunya bukan merupakan kado istimewa dari para penjajah, bukan pula takdir dari Tuhan Yang Maha Pengasih karena Dia merasa “kasihan” melihat ketertindasan yang dialami oleh Indonesia selama berabad-abad.
Pondasi pergerakan yang telah dibangun sejak era 1908 menjadi langkah awal berlangsungnya praktek-praktek perjuangan melawan represifitas dan arogansi penguasa kolonial. Kejenuhan akan penindasan membuat para pemuda bangkit dan menjadi pelopor gerakan rakyat. Bukan menjadi persoalan manakala pemuda tampil di garda depan, justru inilah yang menjadi tanggung jawab moral pemuda sebagai generator perubahan. Tak berlebihan rasanya jika Pramoedya Ananta Toer lebih mempercayakan masa depan bangsa Indonesia di generasi muda, daripada angkatan tua yang mapan dan sudah “lelah” dengan militansi-militansi kepemudaan.
Hasil perjuangan bukanlah merupakan akhir dari naskah perjuangan, namun hasil tersebut menjadi awal bagi episode baru sejarah Indonesia. Sejarah bukanlah megaproyek yang hanya diciptakan oleh segelintir raja atau ksatria yang haus akan kekuasan, namun sejarah adalah goresan-goresan yang dibuat oleh tangan-tangan perjuangan massa rakyat melalui spirit pergerakan, dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Terlepas dari “masa depan” sejarah (legitimasi sejarah oleh rezim penguasa), goresan yang telah tercatat tersebut akan menjadi referensi bagi generasi baru Indonesia pada babakan baru zaman.
Kemerdekaan bukanlah sebuah kondisi bebas nilai yang diciptakan untuk memperoleh kebebasan sebebas-bebas tindakan individu dan atau negara tanpa memperhatikan dimensi tanggung jawab moral. Entitas moralitas inilah yang kemudian akan membentuk sisi kemanusiaan individu dalam setiap laku hidupnya dalam menjalankan tugasnya sebagai manusia yang berbangsa dan bernegara. Perkembangan zaman yang menuntut dilakukannya percepatan-percepatan nampaknya juga harus diimbangi dengan moralitas sebagai basis pemikiran untuk kemudian termanifestasi dalam tindakan.
Meski penindasan terus bermetamorfosis, namun hal tersebut tak menyurutkan hati kita untuk terus setia di garis perjuangan massa rakyat. Dinamika pergerakan yang mewarnai jagad perjuangan Indonesia akan terus dicatat oleh tinta emas sejarah. Dan kita pun harus yakin, suatu saat (entah kapan), sejarah yang telah kita gores pada lembaran-lembaran buku harian, akan dijadikan referensi bagi pergerakan baru di masa depan, kepak sayap garuda tak akan berhenti untuk menghiasi irama pergerakan para pemuda. Dan akhirnya, coretan singkat ini saya akhiri dengan kalimat “Tugas pergerakan adalah menyusun penjelasan sistematis tentang revolusi sebagai tindakan melangsungkan pembebasan untuk kelas tertindas, oleh kelas tertindas, dan dalam konteks ketertindasan masing-masing.”
Jayalah Bangsaku dan Hidup Rakyat!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H