Sore hari itu hujan lebat.
Perempuan itu membuka pintu kedai kopi dengan mata kosong, kemudian duduk ditempat yang sama, disamping jendela yang persis berada dipinggir jalan, bersama kopi yang biasa ia seduh, dan seperti biasa, hatinya patah untuk kesekian kalinya….
……….
Hari ini hujan lebat.
Dan hati saya ikut basah.
………………………………………….
Dia akan duduk disana, berjam-jam lamanya. Sampai kopinya habis. Sampai hujannya reda.
Kemudian hujan berpindah ke pipinya. Mata coklatnya akan berlinang, namun bibirnya tetap bungkam.
……………….
Apakah kali ini akan berhasil.
Apakah ceritanya akan berbeda.
……………………
Kemudian perempuan itu mengeluarkan pematik dari jaketnya yang tebal, dan membakar bungkusan tembakau yang sedari tadi sibuk ia putar diantara jemarinya. Kepulan asap keluar perlahan-lahan dari bibirnya yang sedari tadi membungkam.
Hingga tanpa ia sadari, asbak diatas mejanya sudah penuh dengan batangan tembakau yang habis terbakar. Tapi hatinya masih patah, maka ia menyalakan pematik untuk kesekian kalinya lagi.
…………………
Saya sudah membakarnya berkali-kali, namun perasaan ini masih belum habis. Saya sudah membuang asapnya berkali-kali, namun wajahmu masih ada disana.
………………….
Kemudian hujan turun lagi, namun berupa rintik-rintik. Perempuan itu memasukkan pematik ke jaketnya kembali. Kemudian ia mengangkat tangannya dan memanggil pelayan yang tidak jauh dari tempatnya duduk. Ia meletakkan sejumlah uang, kemudian berdiri dan menutup kepalanya dengan tutup kepala jaket yang ia kenakan. Lalu ia pergi di tengah hujan, semakin jauh, dan kemudian tak terlihat lagi punggungnya.
Di mejanya tertinggal sebuah kertas kecil yang sudah kusut…
“Suatu saat kamu akan menyadari. Tidak ada yang bisa mencintaimu seperti saya melakukannya.”
Bandung, awal bulan Juli di tahun 2016.
Semoga menjadi awal kembali untuk saya.
-Puput Emilifia-