Pagi itu (Senin, 28 Juli 2008), hari pertama saya melaksanakan tugas untuk bagi-bagi ilmu di sebuah Sekolah Menengah Pertama di kotaku. Hari pertama tentunya di luangkan sedikit untuk sekedar perkenalan dengan rekan-rekan Bapak/Ibu guru, staf beserta siswa/i. Setelah perkenalan itu, saya lalu dibawa untuk sekedar berkeliling komplek sekolah, dan mengamati ruangan kelas, sekedar mengamati secara dekat guru mengajarkan mata pelajaran (dalam konteks ini, saya tentunya hanya melihat ruangan kelas dimana mata pelajaran yang akan saya ajarkan, berikut guru mata pelajarannya). Kebetulan, pada hari itu, kelas yang saya masuki bukanlah kelas favorit di sekolah itu, yang di atas kertas, boleh dikatakan kelas ‘paling buncit’ di antara kelas-kelas tingkatannya. Nah, kebetulan pula, waktu itu adalah waktu pengumpulan Pekerjaan Rumah (PR) oleh guru, dimana PR nya itu menuliskan tangga nada Mayor 1# - 3# dan 1b - 2 b. Saya lalu mulai bergairah mendengarnya (Karena ini memang bidang saya, musik). Tetapi, saya mulai heran. Kok semua sebagian besar siswa wajahnya kurang bergairah? Ada apa? Tibalah saat pengumpulan PR satu-persatu siswa, langsung oleh guru. Saya lalu mengamati, ternyata sebagian besar Siswa tidak mengerjakan PR, sebagian lagi tidak percaya diri dengan apa yang dikerjakannya, sebagian lagi tersenyum percaya diri dengan hasil contekannya (entah itu diambil dari internet atau nyontek dari temannya di kelas lain) dan sebagian kecil ‘berusaha’ tenang dengan hasil kerjanya. Saya lalu melihat sanksi yang diberikan oleh gurunya pada siswa yang tidak mengerjakan PR. Sebuah sanksi yang menurut kurang layak untuk sebuah mata pelajaran seindah Seni Budaya Kelas VIII. Setelah masa ‘penghakiman’ selesai, tiba saatnya sang guru melanjutkan mata pelajaran. Pada saat itu, bahan yang di ajarkan masih mengenai tangga nada. Sepanjang waktu normal mata pelajaran, saya memperhatikan dengan seksama, siswa/i seperti terbeban dengan apa yang di ajarkan. Terlebih karena gurunya yang ’super galak’, membuat suasana seperti kurang nyaman bagi siswa, terlebih saya yang pada saat itu hanya duduk manis sebagai pengamat.
Setelah mata pelajaran selesai, guru itu lalu memberikan tugas kembali pada siswa dibarengi dengan decakan-decakan tanda kurang senang dari sebagian besar siswa di kelas itu. Setelah memberikan bahan tugas minggu depan, guru lalu memperkenalkan saya pada siswa kelas itu. Saya di perkenalkan dengan kapasitas sebagai Bapak Guru baru yang akan mengajarkan mata pelajaran tersebut. Mendengar itu, saya amati wajah para sisawa dan ekspresinya. Ada yang penasaran, ada yang tertawa kegirangan (Apalagi Siswi, mengingat saya adalah seorang guru muda. Hehehe), dan tak sedikit pula yang tersenyum sinis dan berwajah masam. Saya lalu memberi salam, lalu kamipun beranjak keluar ruangan meninggalkan kelas yang akan mengikuti pelajaran berikutnya.
Dari semua kejadian-kejadian ganjil diatas, saya lalu mengambil kesimpulan bahwa (Kemungkinan):
1.Siswa merasa tertekan saat pembelajaran diakibatkan oleh metode pengajaran guru
2.Siswa memang memiliki daya tangkap rendah terhadap mata pelajaran, ‘bodoh’ dan sebagainya
3.Siswa tidak suka dengan mata pelajaran Seni Budaya/Musik
4.Siswa jenuh dengan bahan yang diajarkan (Karena mungkin dari bangku SD mereka sudah menghadapinya dan dengan cara demikian juga, entahlah)
5.Siswa menganggap mata pelajaran Seni Musik itu tidak terlalu berpengaruh terhadap dirinya
Sebagai seorang pemilik prinsip “Sedia Payung Sebelum Hujan”, saya pun langsung menyiapkan berbagai macam strategi untuk mengatasinya.
1.Untuk mengatasi rasa tertekan yang di alami siswa, mengapa kita tidak coba dengan gaya mengajar yang lebih santai dengan tetap menjaga ketertiban di kelas. Semisal, membuat sedikit gurauan di sela-sela pembelajaran.
2.Tidak ada yang bodoh, hanya malas!! Mengapa tidak di coba memberikan perhatian khusus di sela-sela penyampaian bahan ajar terhadap ‘golongan’ siswa seperti ini? Karena jelas, mereka ini adalah orang yang mudah ertekan dan trauma menerima sebuah perlakuan atas ketidakmampuannya. Bisa di coba, sebelum dan sesudah pembelajaran, di dalam dan di luar kelas, tetap member perhatian pada mereka.
3.Benci. Anak muda menyebut kata itu, akronim dari Benar-benar Cintta (Hehehe). Ya, pastinya segala sesuatu yang dibenci itu bisa berbalik menjadi sangat disukai (itu hokum alam). Khusus untuk mata pelajaran Seni Musik ini, kita mungkin bisa melakukan metode baru dalam mengajar dengan sesekai memainkan instrument musik untuk memainkan bahan yang di ajarkan (Nada-nada, lagu, dan sebagainya). Karena dengan memainkan nada-demi nada, siswa mungkin akan merasakan aura berbeda dalam kelas yang notabene selama ini terasa sangat vakum oleh teriakan dan hentakan di papan tulis. Percayalah, Nada indah ini akan merubah segalanya karena suara petikan gitar, dentingan tuts memang jauh lebih merdu dibandingkan teriakan, senggakan suara kita atau pun hentakan penghapus kayu ke papan tulis (Hehehe).
4.Setiap manusia pasti memiliki tingkat kejenuhan. Terlebih untuk suatu hal yang tidak terlalu disukainya. Dalam pembelajaran seni music ini, mungkin saya punya formulanya. Contoh: Dalam hal pembelajaran notasi, kita mengambil lagu-lagu pop yang up to date, yang popular di teliga mereka, yang sering mereka main-mainkan di sela-sela aktivitas mereka sebagai pengganti lagu-lagu Nasional sebagai bahan pembelajaran dalam membaca notasi. Silahkan anda bandingkan, respon seorang siswa SMP kala di tugaskan untuk mempelajari notasi dari lagu “Pelan-pelan saja” (Kotak) dengan respon seorang siswa kaa di tugaskan untuk mempelajari notasi dari lagu “Dari Sabang sampai Merauke” (Liberty Manik). Ke lagu manakah animo mereka lebih tertarik? Tanpa mengesampingkan Nasionalisme, saya jami mereka akan memilih lagu Kotak. Mengapa? Ya jelas saja mereka lebih memilih lagu Kotak. Selain karena sedang di gandrungi oleh anak muda seusianya dan menjadi top hits di sejumlah program music radio dan televise, mereka sudah jenuh dengan berbagai lagu-lagu nasional sejak mereka duduk di bangku Sekolah Dasar (Itu-ituuuuu aja. Hahaha). Hendaknya kita lebih memikirkan tujuannya, yaitu: Siswa fasih dalam membaca notasi. Unk masalam Nasionalisme dan kecintaan terhadap lagu-lagu perjuangan bangsa itu tugas guru PKN (Hahaha).
5.Jika siswa mungkin menganggap Seni Musik itu tidak begitu penting, hal yang harus kita lakukan adalah dengan melakukan ‘provokasi’ terhadap siswa. Nah, dalam penyelesaian kasus ini, sangat di butuhkan kemampuan khusus seorang guru yang jarang di miliki orang lain. Semisal di tepat saya mengajar ini, instrument violin sangat jarang di gunakan atau bahkan mungkin saja tidak pernah di saksikan secara langsung oleh para peserta didik. Dengan keadaan yang demikian, otomatis siswa, baik yang menganggap Seni Musik itu ‘tidak penting’, pasti penasaran dengan instrument yang saya sebutkan tadi. Kenapa kita tidak cobamemainkan instrument itu sebagai alat peraga di dalam kelas? Perhatian siswa pun otomatis akan teralihkan. Terutama anak seusia mereka sangat merindukan hal-hal ‘unik’ di dalam proses pembelajaran. Mungkin, lewat cara seperti itu, sedikit semi sedikit mereka lalu akan menyadari betapa penting dan betapa indahnya musik itu.
Intinya, guru jangan membuat pelajaran Seni Musik itu, beserta teori-teorinya (yang memang memusingkan), menjadi seperti pelajaran Matematika yang menurut kebanyakan Siswa adalah momok menakutkan. (Mohon maaf buat para pecinta Eksakta, bukannya saya ‘merendahkan mata pelajaran ilmu pasti ini), karena dalam kasus yang saya hadapi dan dalam kelas yang saya hadapi, kebanyakan siswa nya memang kurang suka terhadap Pelaaran Eksakta. Kenapa kita sebagai pendidik tidak membuat mata pelajaran ini ibarat sebuah permainan menyenangkan buat para siswa. Biarkan mereka menikmatinya seperti mereka menikmati permainan baru yang menyenangkan. Jangan sampai salah seorang dari mereka menyeletuk, mendahului kita: “Bu, itu bukan Matematika. Itu hanya bebunyian indah”. Kalau hal itu sudah terjadi, apa hendak dikata? Jika memang ada Siswa yang berani mengatakan kalimat itu, kita sebagai seorang pendidik Seni Musik sepatutnya malu. Karena dalam kenyataannya memang musik itu adalah sesuatu yang agung, indah tiada tara. Musik itu selalu ada kapan, dan dimanapun, dalam suasana apapun. Musik itu adalah bahasa yang bisa menyampaikan apa saja.
Ini saya tulis berdasarkan sebuah pengalaman yang menyita ironi. Dimana sebuah moment indah 2 x 45 menit disambut dengan hati menjerit, dimana serangkaian nada indah di tanggapi dengan perasaan gundah, dimana suara dentingan tuts di sambut dengan perasaan kalut. Mari, kataan semuanya denga Musik.
Salam hangat untuk mantan Anak didikku dimana pun berada. Musik lah yang akan mempersatukan kita kembali, suatu saat..
……………………………………………………………………………………………………………
5 Jam kemudian:
"Hut ni jo hamuna, ai akka aha do tahe hu pandok?? Ai pagodanghu hu inum tuak i bah.. Mohon maaf majo molo adong na hurang ateh. Hahaha..”
Salam Musikal..
^♥^
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H