"Alhamdulillah anakku bisa diterima di SMP favorit lho, padahal pernah tinggal kelas dua kali", ungkap bangga seorang ibu.Â
"Berbeda dengan anakku kasihan dia tidak lolos, padahal dia selalu ranking satu di kelasnya, cuma dia ketika masuk sekolah di SD terlalu muda,"sesal ibu yang lain.
Ilustrasi di atas sedikit menggambarkankan hiruk pikuk PPDB atau penerimaan siswa baru tahun 2020 yang menyisakan banyak cerita dan derita bagi sebagian peserta didik.
Meskipun banyak pula yang gembira karena memperoleh kemukjizatan umur yang menjadi dewa penolong untuk bisa masuk pada sekolah negeri.Â
Berbicara PPDB 2020 tidak bisa dipisahkan dari regulasi yang diluncurkan oleh pemerintah melalui Permendikbud nomor 44 tahun 2019 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru yang salah satunya mengatur umur menjadi penentuan seleksi penerimaan peserta didik baru.Â
Meskipun  menjadi hal lumrah setiap kebijakan publik pasti akan menimbulkan pro dan kontra, puas dan tidak puas. Di mana pada tahun ini ada empat jalur seleksi, yaitu zonasi, prestasi, afirmasi (untuk golongan kurang mampu), dan pindah orangtua.
Ada dua catatan yang perlu digarisbawahi tebal-tebal. Pertama masalah zonasi.
Dengan penerimaan peserta didik yang berdasarkan tempat tinggal ini, seorang peserta didik terbatasi memilih sekolah di luar zonasinya dan berisiko tidak akan mendapat kesempatan masuk sekolah negeri, seandainya di wilayah zonasinya ia tidak diterima di kawasan zonasi tempat peserta didik berada.Â
Kecuali apabila ia mempunyai prestasi tertentu atau melalui jalur afirmasi yang memfasilitasi bagi peserta didik yang tidak mampu.Â
Ini artinya anak yang ada di zona tersebut sudah terkunci, meskipun dalam pilihannya ada pilihan sekolah di luar zona, tetapi itu kemungkinan kecil untuk bisa masuk di luar zona yang notabene sudah pasti dipenuhi oleh anak dari zona luar tersebut.Â
Sehingga peserta didik harus mempunyai strategi untuk bisa diterima di zona tersebut dengan mempertimbangkan pilihan satu, dua, tiga, bahkan pilihan empat yang ada di luar zona.
Hilangkan Dikotomi
Kebijakan itu bila dicermati lebih mendalam urgensinya adalah untuk pemerataan layanan pendidikan yang maksimal di semua sekolah kepada semua masyarakat.Â
Kasta yang mendikotomi sekolah favorit dan tidak favorit atau sekolah kelas satu dan kelas dua perlahan ingin dihilangkan. Secara implisit anak berhak sekolah di mana saja tanpa ada tembok yang menghalangi untuk masuk sekolah favorit atau tidak favorit, dan guru atau tenaga pendidik berkewajiban mendidik siapa saja bukan hanya anak-anak pilihan atau berprestasi.Â
Pada hakikatnya para tenaga pendidik sudah memiliki kompetensi profesional yang sudah seharusnya siap untuk mengantar peserta didik untuk pintar secara akademik maupun berkembang non-akademik dan berakhlakul karimah, dengan tanpa harus memilah dan memilih peserta didik tertentu. Â
Dengan sistem zonasi mungkin sementara menjadi solusi yang harus kita dukung dan juga harus kita kritisi untuk mengevaluasi menjadi lebih sempurna pelaksanaannya.
Kedua adalah masalah umur. Tahun ini umur menjadi penentu seleksi penerimaan peserta didik, artinya semakin tua usia peserta didik semakin besar kans untuk berhak mendapat kursi di sekolah yang menjadi idamannya.
Sedangkan yang umurnya lebih muda harus rela gigit jari dan "dipaksa" menerima takdir dari kebijakan Permendikbud no 44 tahun 2019 tersebut.Â
Sudah menjadi impian bagi masyarakat kita untuk bisa menyekolahkan anaknya di sekolah negeri dengan berbagai pertimbangan, dari segi biaya maupun jarak tempuh ke sekolah.Â
Sehingga ada sedikit kebanggaan bisa diterima di sekolah negeri apalagi favorit meski ini sangat subyektif dan tidak bisa digeneralisir semua masyarakat seperti itu. Paling tidak ekspektasi untuk masuk ke sekolah negeri tidak bisa dibilang kecil.
Oleh karena itu PPDB tahun juga menjadi tantangan baru bagi sekolah yang selama ini masuk dalam kategori dalam masyarakat sebagai sekolah unggulan, paling tidak akan memperoleh input yang sama dengan sekolah-sekolah lainnya.
Nah, di sinilah saatnya semua sekolah untuk ber "fastabiqul khairat" (berlomba-lomba dalam kebaikan) dalam konteks berpacu mengembangkan pendidikan yang kompetitif dan positif
Rapor hanya sebuah catatan
Di sisi lain menurut hemat penulis peniadaan Ujian Nasional untuk tahun ini bukanlah menjadi alasan yang tepat untuk tidak mempertimbangkan capaian prestasi peserta didik dalam seleksi penerimaan peserta didik baru terutama di Sekolah Menengah Pertama (SMP).Â
Masih ada instrumen yang bisa untuk dijadikan pertimbangan mengukur keberhasilan peserta didik melalui buku rapor.Â
Kebanggaan orangtua ketika mengetahui prestasi akademik anaknya yang direpresentasikan melalui buku rapor yang diperoleh selama masa study tiba-tiba sirna seketika ketika mengetahui bahwa tahun ini nilai tidak menjadi prioritas bahkan ada yang  tidak diperhitungkan sama sekali.Â
Keseriusan para peserta didik yang mempersiapkan dirinya untuk meraih nilai atau prestasi dengan berbagai upaya melalui ketekunan belajar setiap hari, bahkan kadang menambah ikut bimbingan belajar, serasa tidak ada artinya apa-apa ketika dihadapkan pada kontek PPDB tahun ini.Â
Memang benar belajar adalah untuk mendapat ilmu, bukan untuk hanya bisa masuk di sekolah favorit, akan tetapi kecerdasan dan capaian prestasi anak yang diindikasikan dengan nilai rapor yang bagus dinafikan begitu saja oleh aturan PPDB tahun ini.Â
Seandainya ada pendapat untuk apa sekolah pintar-pintar kalau tidak ada penghargaan bisa masuk sekolah lanjutan yang berkualitas atau favorit, tidak bisa disalahkan seratus persen.Â
Dan itu sah-sah saja karena pada esensinya selain tujuan utama pendidikan adalah memperoleh ilmu tetapi mencari prestasi akademik maupun non akademik yang bisa dibanggakan tidak bisa dipisahkan begitu saja.
Transparansi
Hal yang perlu dibanggakan dan perlu diapresiasi adalah semakin tahun pemerintah senantiasa memperbaiki sistem penerimaan peserta didik baru terutama pelayanan online atau daring yang sekarang sudah mulai diterapkan di daerah-daerah.Â
Paling tidak dengan sistem seperti ini masyarakat akan semakin bisa terlayani dengan cepat dan mudah memperoleh akses informasi berkaitan dengan penerimaan peserta didik.Â
Lebih-lebih sistem ini secara tidak langsung dapat memproteksi para guru atau sekolah yang menjadi pelaksana teknis di lapangan dari intervensi berbagai pihak yang ingin memaksakan syahwat titip kursi yang sering menjadi masalah klasik setiap PPDB.
Di sini masyarakat harusnya mulai sadar bahwa cara-cara yang tidak terpuji seperti itu pasti akan mudah untuk deteksi dengan pemantauan pendaftaran online. Di sinilah penulis melihat keseriusan pemerintah untuk menerapkan PPDB yang transparan dan akuntabel patut diacungi jempol.
Di akhir tulisan ini perlu kita garis bawahi sebagai kontemplasi terhadap ritual tahunan PPDB, semoga tidak melemahkan semangat masyarakat (peserta didik) untuk terus serius dan giat belajar karena adanya penghilangan prestasi nilai akademik dalam seleksinya yang apabila tidak kita benahi bukan tidak mungkin masyarakat akan apatis untuk apa sekolah pintar-pintar toh itu tidak jaminan.Â
Ini sangat berbahaya kalau sudah menjadi stigma di masyarakat dan pada akhirnya akan menjadi tsunami kebodohan yang luar biasa di beberapa tahun kemudian pada generasi kita.
Lalu benarkah nilai rapor hanya menjadi sebuah catatan belaka yang tidak bermakna? Wallahu a'lam. (pakdul)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H