Mohon tunggu...
Abdul Wakhid
Abdul Wakhid Mohon Tunggu... Guru - Alhamdulillah

Penulis lepas tinggal di Boja Kendal Jawa Tengah

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Rontoknya Rasa Malu

18 April 2015   20:11 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:56 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kata Simbah “Saiki Akeh Wong Ora Duwe Isin” (Sekarang banyak orang yang tidak punya rasa malu), apa benar ?

Kalau ungkapan di atas benar, sungguh sangat memprihatinkan perihal tergerusnnya budaya malu di kalangan masyarakat Indonesia, yang (dulu) terkenal dengan sopan santun dan masyarakat yang beradab.

Sudah banyak sekali orang tanpa malu-malu sekarang berbuat yang tidak pantas. Nilai-nailai kepantasan yang dijiwai oleh budaya timur dan nilai religius yang kental tergerus olehbudaya kebebasan tanpa batas. Seolah-olah kata ‘tabu’ terpinggirkan dalam kamus masyarakat kita.

Lihatlah sejak mereka di sekolah siswa sekarang sudah tidak sungkan lagi mereka belajar korupsi berjamaahalias saling contek. Bila ditegur oleh guru mereka menjawab ‘ wong saling membantu kok tidak boleh”. Parahnya lagi katanya yang jujur ajur alias nilainya jelek, Fenomena ini sudah jamak terjadi, yaitusatu ruang sepakat untuk saling memberi jawaban pada teman-temannya.

Ditingkat pejabat publik suap menyuap dan gratifikasi dianggap lumrah dalam segala lini. Bahkan sering kita lihatsudah ditetapkan jadi tersangka karena korupsi, masih pede tampil di depan kamera dan senyum-senyum bak selebritis. Pungli dianggap sebagai rezeki tambahan.

Dalam bidang politik, Masih segar diingatan kita pasca pilpres kemarin para legislator yang diamanahi rakyat masih suka ‘bolo-bolonan’ di parlemen. Kemudian kita suguhi lagi tontonan gratis kisruh parpol, para pemimpin mereka berebut kekuasaan bak anak kecil tidak ada yang mau mengalah bahkan cara premanismepun mereka halalkan. Yang terkini di DKI Jakarta saling hujat dengan kata-kata kasar antara para dewan terhormat dan sang gubernur .Sebetulnya rakyat sudah ‘jeleh’ melihat tingkah polah mereka. Ora pantes..!!!

Contoh lain, orang berbuat maksiat secara vulgar diumbar dimana-mana. Kejahatan (baca: kemaksiatan) yang mereka lakukan dianggap trend saat ini, orang bilangwis jamane, na’udzubillahi mindzalik. Orang bangga minum oplosan ditempat umum dari anak-anak sampai orang dewasa, bahkan sampai berani mati. Berbuat asusila diupload dimedia sosial, bahkan menjual diripun (prostitusi) secara online, yang pada zaman dulu praktek semacam itu dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Lebih miris lagi anak-anak SMA sehabis ujian meluapkan kegembiraannya dengan bercumbu dengan pacarnyadengan menyewa hotel. Bahkan yang aneh ada anak yang tidak malu lagi dianggap sebagai anak durhaka, menjebloskan orang tuanya ke penjara.

Demo memaksakan kehendak, anarkis, mengganggu ketertiban umum,ironisnya kadang dilakukan oleh para intelektual muda calon pemimpin bangsa, tidak malu dikatakan “wong intelek kok brutal

Kepekaan mati

Aku rapopo atau itu bukan urusanku. Berbahaya bila masing –masing orang sudah hilang kepekaan, tidak peduli lagi keadaan sekitar. Juga kontrol sosial yang lemah. Orang lain mau berbuat apa terserah asal bukan saya. Ingat..! ada ‘amar ma’ruf nahi munkar’ yang menurut ajarannya adalah menjadi tanggung jawab masing-masing individu sesuai dengan ranahnya masing-masing. Kalau kita benar-benar masih mengaku sebagai orang beradab. Oleh karena itu, Penguatan keimanan dan merasa terawasi oleh Allah menjadi benteng yang kokoh untuk kembalimencetak tebal rasa malu dalam hati nurani kita masing-masing.

Membumikan kembali budaya malu pada masyarakat kita tidak bisa lepas dari peran masing-masing komponen masyarakat dan pemerintah. Sebelum bertambah akut dan negeri kita benar-benar menjadi negara yang bebas, orang bebas berbuat apa saja. (apa tidak menakutkan?)

Keluarga adalah garda depan, kemudian sekolah dan masyarakat, termasuk media massa, serta pemerintah melalui regulasinya yang dapat melindungi warganya. Dengan harapan agar bencana (moral) yang diakibatkan rontoknya rasa malu dapat diminimalisir. Karena ini dampaknyasangat berbahaya dan tidak bisa dianggap sepele.

Sekali lagi kita akan benar-benar hancur bila budaya malu sudah tidak ada, dalam konteks ini malu berbuat maksiat, malu curang, malu korup, malu asusila dan malu berbuat yang tidak pantas dilakukan.

Akhirnya, ayo segera kita berubah dan berbuat dan kembali pada jati diri kita orang Indonesia yang santun dan beradab .ingat“Al haya’u minal iman” (malu adalah sebagian dari iman).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun