Mohon tunggu...
Rustam Bostan
Rustam Bostan Mohon Tunggu... -

Bekerja sebagai Staf Desa. ini alamat we-blog saya http://www.ipasang.penahijau.net/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pantai Losari

25 Januari 2015   21:42 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:23 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

PANTAI LOSARI

Aku adalah sepi

Sengajaku menepi

Lenyapku tak bertempat

Mata mereka tak sanggup melihat keberadaanku

Aku bukanlah goib

Kini dan nanti mereka selalu menanggapmu tak ada

Kita adalah sepi yang serupa

Kita ada karena pengakuan

Malam hanya tampak dingin, sesak ratusan orang membuat panas suasana, suara riuh kendaraan yang sedang dikerumuni macet tak sebanding dengan kegelisahan penjual obat yang sudah menjelaskan dari aceh sampai papua keampuhan obat yang dijualnya, terdengar pula dia menyebut India, negara yang sekarang lebih maju dari Indonesia dari segi transportasi.

Malam minggu ini, sudah menjadi malam yang disakral bagi dua sejoli, malam minggu adalah hari raya bagi para pengamen yang meski nada gitar yang dimainkan tidak berkombinasi dengan lagu yang dinyanyikan, malam minggu adalah malam pembawa reski bagi pedagang kaki lima dan penjual obat, tadi.

Sebuah tempat wisata yang terkenal di makassar, ya siapa lagi yang tidak kenal dengan pantai losari yang tampak indah, baik dikala pagi, petang dan malam. Namun ketika kita bertanya apakah semua orang makassar pernah ke sana, wallahu alam bissawab.

Pantai losari adalah tempat wisata yang setiap hari dan malamnya selalu ramai, tempat wisata mendeskripsikan keunikan tersendiri daripada tempat wisata lain yang ada di kota makassar dan sekitarnya.

“mas berhenti mas” tegur tukang parkir di jalan masuk pantai losari.

Perlahan aku mengeluarkan uang kertas senilai dua ribu rupiah, dengan perlahan tukang parkir itu menggulung kertas tanda masuk kemudian dia menyimpan di plat motorku, kemudian tanpa angsur aku menuju tempat parkir, belok kiri, sampailah di tempat parkir yang masih agak luas, tapi sepi. Bersama teman perlahan turun dari motor dan mengambil gulungan yang ada di plat motor tadi.

“tau tidak, kenapa tukang parkir menggulung karcis parkir ini dan menyimpannya di plat?” tanyaku kepada teman

“tidak, kenapa memang kah?” jawabnya singkat dan balik bertanya. Ya begitulah kita, kita tidak mereka-reka dulu, bukankah memberikan jawaban yang belum tepat lebih baik daripada menjawab tidak.

Gulungan karcispun itupun aku buka

“lihat ini, tanda masuk di sini hanya seribu rupiah saja, na kita disuruh bayar dua ribu, ini menurut peraturan kota makassar, ini ada peraturannya” keluhku

“biarmi tawwa kak ka seribuji” tanyanya dengan senyum yang mencoba meluluhkan keluh di kepalaku

“tapi, meskipun seribu, kan itu tidak halal” jawabku kesal

“pergimaki paeng mintaki kak” senyum itu kembali merayu

“masalahnya kan begini, satu motor seribu, na di sini ada ratusan motor, kali setiap malam. Bagaimana kalau uangnya untuk dia makan bersama keluarganya? Bukankah itu uang haram, apa bedanya dengan Koruptor yang diungkap oleh KPK. Itukan sama saja” saya mencoba menjelaskan agar bisa dipahami

“iye juga” jawabnya masih singkat tiada senyum

“kamu ini sama dengan temanku yang pernah kutemani ke sini, waktu itu kejadiannya sama, disuruhka bayar dua ribu terus kubukami gulungan karcisnya lalu kubilngmi “ka seribuji ini daeng” tapi dia bilang iye memang, tapi seribu lagi uang keamanan, nanti hilangki helmta. Aku tersentak, meski tampak keluh di hati, selalu ada alasan untuk keburukan”

Nah persamaannya kamu dengan teman, kan dia yang bayar, dia bilang begini, “biarmi janganmi dipermasalahkan ka sayaji yang bayar” lihatmi, betapa senangnya kita meneloransi keburukan.

Kamipun berjalan pelan, karena aku orangnya suka ragu-ragu, maka aku kembali “ke motorka dulu, biar ku bawa saja helmku” tanyaku

“janganmaki, amanji itu” tanyanya kembali

“ka sepiki di tempat parkir tadi” singkatku yang menuju motor dan mengamgambil helm yang telah sku simpan rapi di samping bagasi.

Temanku ikut kembali, kami memilih duduk tak jauh dari tempat parkir, mata kita sama-sama tertuju ke bangunan yang direkonstruksi kembali, di dekatnya ada ruko berlantai dua, es teler 77. Dari dulu sampai sekarang gedung itu masih ramai dikunjungi. Jalan sangat padat, para pengendara motor masing-masing saling mendahului, bunyi klakson dari mobil meriuh, melukis langit di losari malam ini “Tolong, Macet”............................seperti itu mungkin.

Hanya beberapa menit duduk, tempat parkir motorku yang tadinya sepi kini sudah banyak motor yang jua parkir di sana. “ini baru aman” aku kembali membawa helm dan menyimpannya di tempat yang sama.

Kami kembali berjalan menikmati nyanyian pantai yang sedih, sampah mengapung sebagai perahu kecil yang tak berawak, tak berjangkar dan tak berlayar, hanya pasrah oleh gelombang, oleh angin dan oleh manusia.

Tak jauh dari tempat kami duduk, pas di depan mesjid aku berhenti, mata ini tertuju ke Mesjid di atas laut ini, orang biasanya menyebutnya Mesjid terapung yang artinya Mesjid yang mengapung karena dibangun di atas pantai.

Rasa heran menerpaku kembali, Mesjid ini sungguh kokoh dan jemaahnya sangat banyak, mulai dari tukang parkir, pedagang kaki lima dan pengunjung, namun Isya malam ini telah kehilangan kesuciannya, berawal dari imam yang lupa menyebutkan ayat kedua dari surah Ath-Thariq dan begitu lincah menyambung dari ayat pertama dan meloncat ke ayat ke tiga sampai selesai, namun keherananku adalah dipekarangan mesjid, depan, samping kiri dan kanan, puluhan pasangan sejoli yang telah mengadu rindu, pegangan tangan sampai duduknya sangat berimpit. Apakah Isya ini masih suci? Entahlah

Tak sampai di situ, kami berjalan menuju tempat yang ramai, puluhan mahasiswa berphose di depan camera sampai Shelfie dengan tongkat ajaib, atau yang biasa disebut tongkat narsis.

Masih di depan mesjid, sebelah utara, ada bungkahan bunga-bunga yang sangat indah, aku tak mengenali persis itu jenis bunga apa, tapi bunga itu nampak tak mahal, namun yang membut hatiku gelisah adalah kawat duri yang dipasang di pagar mini bunga itu, pagarnya pendek, hanya sepinggang.

aku tidak membeci kawat duri. Mengapa pagar yang hanya sepinggang dipasangi kawat duri, jika jawabannya adalah untuk melindungi bunganya dari jangkauan pengunjung maka cukuplah pagarnya yang jadi pelindung tetapi jika kawat durinya untuk melindungi pagarnya dari pengunjung agar tidak diduduki maka ini adalah pelecahan kesadaran.

Bukankah ini tempat umum? Ini adalah pelecehan kesadaran bagi mereka yang menganggap pagar yang ada itu bukan tempat yang harus diduduki, di sepanjang pantai losari telah disediakan tempat duduk yang jaraknya berdekatan. sebagai orang yang sadar, aku merasa telah dilecehkan, adakah ini termasuk dilecehkan? Adakah UU hak asasi manusia perihal ini, mana mungkin kita semua adalah orang bijak, kesalah itu untuk dimaafkan bukan untuk diperbaiki. Berbuatlah maka kamu akan dimaafkan.

“tambah ramaiki dih” sapa yang menyentakku

“oh iye, tambah macetki lagi” balasku dengan menyungging senyum

Kami mencari tempat duduk yang telah disediankan, kulihat, telponnya dering meski hening tapi menambah pecah malam, aku pun membuka hp, aplikasi bbmnya, dengan refleks aku merubah status di bbm “pagar-pagar yang mengelilingi bunga dipasang kawat duri, ini tandanya pagarnya tidak bisa diduduki, sungguh kejam. Pelecehan kesadaran” kurang lebih 140 karakter, status pendek, para teman bbm yang memiliki akses internet otomatis tersambung dan sebuah pesan bbm masuk, dari teman “manusia memang kurang mengerti, sudah tau pagar diduduki,,,,,hahaha” begitu bbm dari teman yang lincah merespon status yang kutulis.

“tapi bukankan ini kejam buat manusia yang masih sadar bahwa pagar itu bukan tempat duduk” dengan cepatpun jejari membalas pesannya.

“ya ya yaahh..... 1 % dari sekian % manusia yang sdar...”balasnya kemudian

aku tidak mengerti jelas apa maksudnya.

“iya.. kan kasihan bagi yang sadar toh... ya ini kejam dan tidak memperlakukan kita seara manusiawi” balasku lagi

Sesaat, sudah tidak ada balasan, Mungkin telah lebur oleh malam

“ayo’mi paeng pulang deh, kak”ujar teman kembali

“oh, jam berapami kah?” tanyaku dengan memperhatikan pelangi di matanya

“hampirmi jam 9 kak” tanyanya

“ayomi paeng” aku berdiri dari tempat duduk, kami berjalan menuju tempat parkir dan pulang.

Disaat mata tak lagi berguna untuk memandang

Akan ada masa di mana ada tak lagi berada

Hukum di buat untuk disalahgunakan

Atau untuk berlindung dari keburukan yang dilakukan

Losari, 24 Januari 2015

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun