Oleh : Jejep Falahul Alam Setiap tanggal 7 Juni Kabupaten Majalengka merayakan hari kelahiranya. Kini usianya sudah menginjak ke-523 M atau lebih dari 5 abad ini. Tentunya semua pihak berharap melalui momentum yang bersejarah ini Kab. Majalengka harus lebih baik lagi dari tahun sebelumnya. Terutama dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Di hari jadi yang berlangsung beberapa hari yang lalu ini, banyak pertanyaan dari masyarakat yang mempertanyakan julukan Kabupaten Majalengka. Kota kecap kah? Kota Ibadah? Kota Pensiun? Atau Kota Angin yang selama ini melekat di masyarakat. Kemunculan julukan kota kecap dugaan kuatnya, karena mungkin dulu Majalengka menjadi salah satu sentra produksi dan pemasok kecap yang terbesar di tanah air. Namun seiring dengan berjalan waktu diiringi beragam persoalan yang membelitnya, perusahan kecap di Majalengka tergerus zaman karena kalah bersaing. Mungkin atas dasar itulah, julukan kota kecap mencuat di masyarakat. [caption id="attachment_259494" align="alignnone" width="563" caption="Peta Kabupaten Majalengka Provinsi Jawa Barat "][/caption] Setelah era kota kecap habis, Pemerintah Kabupaten Majalengka sekitar tahun 1991-an, memproklamirkan diri sebagai Kota Ibadah (Iman, Bersih, Aman, Damai, dan Hijau). Untuk membumikan kota tersebut, hampir semua tempat strategis, bahkan atap rumah warga waktu bertuliskan Majalengka Ibadah. Alasannya mungkin, mengingat singkatan dari ibadah menjadi secercah harapan bagi pemerintah untuk mewujudkan harapan tersebut. Tetapi panggilan Kota Ibadah pun mulai tenggelam secara perlahan-lahan, dan mengalami pergesaran nama menjadi kota penisun. Konon katanya, di Majalengka banyak ditemukan pensiunan generasi kolot dari berbagai penjuru daerah, yang bermukim hingga akhir hayatnya tiba. Latarbelakang itulah yang menyebabkan Majalengka dijuluki kota pensiun. Tapi kebenaran itu, terbilang sesat dan masih patut dipertanyakan. Karena tidak ada korelasi dan pembuktian mengenai masalah tersebut. Logikanya, semua daerah pasti memiliki pejabat yang pensiun. Termasuk Cirebon, Kuningan, Indramayu dsb, apakah layak disebut Kota Pensiun? Jawabannya pasti menolak. Maka dari itu, orang yang menghembuskan julukan kota pensiun, diduga kuat memiliki tendesius yang berlebihan agar membentuk imej buruk bagi Kab. Majalengka. Selanjutnya, kini yang lebih populer di benak masyarakat dan ramai di setiap pemberitaan media massa, Majalengka disebut Kota Angin. Tak ada hujan, tak ada kemarau, hembusan angin di Majalengka selalu kencang dan memiliki khas tersendiri. Apakah kondisi ini karena pengaruh letak geografisnya yang berada di kaki Gunung Ciremai, sehingga hembusan anginya begitu kencang. Sehingga, satu-satunya di wilayah III Cirebon, tepatnya di Kec. Jatiwangi Kab. Majalengka dibangun kantor Badan Meterologi Klimotologi dan Geofisika (BMKG). Keberadaannya tiada lain untuk memantau suhu dan cuaca di wilayah Ciayumajakuning terutama masalah peranginan. Tapi klaim Majalengka sebagai kota angin pun masih perlu dibuktikan secara ilmiah. Agar hal ini tidak menimbulkan perdebatan di kemudian hari. Terlepas dari semua itu, apalah artinya julukan sebuah daerah, tapi pada faktanya julukan meleset dari realitas yang ada. Padahal umumnya, julukan daerah itu merupakan identitas, yang ada benang merahnya pada masa lalu. Kedepan apakah Majalengka bisa menyusul kemajuan daerah lainnya? Jawabanya bisa. Karena Majalengka yang dulu bukan yang sekarang. Banyak potensi yang masih belum tergali saat ini baik dari ujung utara, selatan, barat maupun timur Majalengka. Di antaranya akan dibangunnya Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB). Bila ini terwujud, sudah barang tentu bakal mendongkrak kemajuan suatu daerah di berbagai bidang kehidupan. Angan-angan itu setidaknya menjadi kenyataan, ketika Pemerintah Provinsi Jawa Barat bakal menjadikan Kadipaten-Majalengka sebagai pusat perkembangan ekonomi Jabar bagian timur. Dengan demikian, modernitas macam apa kiranya yang akan mengepung Majalengka dalam beberapa tahun ke depan? Kota Ibadah. Kota Pendidikan. Kota Dagang. Kota Internasional. Atau jangan-jangan Majalengka bukanlah sebuah Kota? Semua itu akan mengalami perubahan, sangat bergantung pada, kepala daerah, jaringan birokrasi dan kerjasama semua komponen masyarakat yang ada. Bila pemerintah dalam melaksanakan amanahnya hanya sekedar melampiaskan nafsu kepentingan pribadi dan kelompoknya, maka harapan Majalengka menjadi kota metropolitan hanya sekedar dongeng sebelum tidur (kamuplase belaka). Begitu juga ketika warga masyarakatnya yang hanya menjadi obyek, bukan subyek pembangunan. Ini hanya melahirkan penderitaan dengan wajah baru. Maka dari itu, mari kita eratkan tangan. Bangun Majalengka secara gotong royong. Tidak mungkin roda pemerintah ini berjalan tanpa keterlibatan dan kerjasama semua pihak. Ibarat membersihkan setumpuk halaman yang kotor, dengan satu lidi saja tidak cukup, tanpa disatukan dan diikat dengan lidi lainnya. Begitupula dengan kehidupan saat ini tidak mungkin seorang bupati berjalan sendiri tanpa ada gerbong dibelakang yang mengikutinya. Semoga memasuki milad Majalengka ini dan mendekati kepada pergantian kepemimpinan daerah (Pilkada Majalengka), dapat melahirkan sesosok pemimpin yang dapat membawa perubahan Majalengka yang lebih baik. Amin. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H