Mohon tunggu...
Gatra Maulana
Gatra Maulana Mohon Tunggu... lainnya -

warga semesta yang sekedar ikut etika setempat

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Potret Realitas Hari Demi Hari

10 April 2015   07:56 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:18 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_377754" align="aligncenter" width="500" caption="www.flickr.com"][/caption]

Sudah seberapa sering ? mempermainkan hidup dengan segala dugaan-dugaan atau mengkonsumsi sudut pandang demi memuaskan ego, agar orang lain terjatuh dan berlutut dalam pelukan sang pecundang. sejumlah orang masih meronta-ronta kesakitan dalam dadanya, tatkala kebohongan sudah menjadi barang lumrah, mejadi konsumsi kelezetan setiap hari. tapi lihatlah sebuah kejujuran yang tetap berlaku sebagai mata uang dunia tak banyak orang dapat menggenggamnya. entah pertanyaan apa lagi yang mestinya tertuang dalam kamus nurani, tetap beginikah hidup mejauhkan diri hanya karena kejujuran yang manakutkan bukanlah satu-satunya jalan kemenangan ?

Ketakutan, kecemasan, kekhawatiran bahkan tak ada lagi jalan keluar dari godaan-godaan iblis kerap menguji keimanan seseorang. tidak...iblis tidak membunuh ia hanya menguji, membisik, tak mencekik, jika kau sampai terusik tak ada guna menyalahkan hal-hal yang gaib. mestinya hati tak terus di tutup hanya karena segelintir keindahan atau kenikmatan yang sebetulnya hal demikian hanyalah tipuan barang belaka. terlalu lama memeluk kemewahan hanya menjadi sosok manusia yang kehilangan eksistensinya dan keselamatan diri lebih di kedepankan daripada menengok saudara-saudara sebangsa dan senegara yang masih mengharap bantuan, semestinya keselamatan tidak menjadi parsial melainkan universal agar lolos dari kepungan para manusia-manusia laknat yang sudah semakin merajalela.

Masa depan bangsa adalah kegaiban yang masih sulit diraba, tetapi melihat sejarah bangsa yang begitu kompleks menjadi catatan akurat yang manakala hari ini masih berhamburan para penghianat, para bedebah, para koruptor manusia bertopeng senjata kemunafikan sedang penguasa merupakan panglima tertinggi hak dari segala hak kekuasaan. tetapi kembali kepada penguasa itu sendiri, apakah ia mau berani mendobrak teka-teki rahasia yang masih tersembunyi didasar lembah kegelapan atau apakah ia akan membiarkan ketakutan dalam dadanya yang amat mendalam hanya karena sisi kanan-kirinya orang paling penting di negeri ini ? sehingga jika demikian terjadi ia tak punya resistensi sebagai manusia yang sudah menjadi sorotan utama Tuhan.

Tak ada yang lebih mengkhawtirkan ketika calon-calon generasi bangsa, bukan penerus tapi pelurus. yang pada sampai hari ini penyakit apatis terus menjalar berkembang biak, merobek, merusak, sebagian tubuh bangsa. media yang tak kalah naif dan premisif terus mengobrak-abrik kepala-kepala awam yang menjadikan nalar-nalar bangsa semakin hari semakin dangkal, akibat tontonan sandiwara yang mengajarkan bagaimana membentuk kenyamanan dalam lubang buaya.

Potret realita hari ini merupakan wacana dramatis yang belum menemui jalan keluar, yakni, potret sepotong tubuh-tubuh tanpa kepala, robot berdaging yang menetap pada pembenaran-pembenaran serta keluh-kesah dan olok-olok di media sosial yang didalamnya tertanam bibit kebencian lalu menuai beragam intrik  dan pada akhirnya dunia maya sudah menjadi barang halal yang bisa dinikmati oleh semua orang tanpa memperdulikan nasib masa depan bangsa. ya memang sangat ironis, bangsa yang di juluki sebagai negara agraris, negara maritim, jamrud khatulistiwa dan lain-lain. semestinya tak menjadi alasan bangsa ini harus berjalan dengan beban ketakutan yang menggunung. hanya karna opini, persepsi yang terlontar dari mulut asing. rupanya nampak jelas, bahwa mental politik hari ini seperti dabing, hanya di depan kamera bisa membeli sanjungan, di belakang kamera tak ubahnya seperti ayam yang kepayahan di tengah gurun.

Mengharapkan Tuhan akan turun dari langit, turut membantu polemik-polemik bangsa atau bahkan turut mengubah wajah indonesia jadi sejahtera, hanyalah menjadi puing harapan yang sudah usang, jika kesadaran, harapan, serta doa-doa hari ini hanya di jadikan sebuah kemasan alat tumpul tanpa pernah doa-harapan tersebut di sertai dengan tugas pelaksanaan (nyata)dari setiap diri individu yang sebetulnya sudah menjadi kewajiban bangsa untuk bergerak dan melawan kekejian yang sudah mengakar di bumi pertiwi.

Kebergantungan hidup terhadap penguasa tak ubahnya seperti jalan dingin menuju neraka, pun jika mau berontak tak melulu menunggu dan mengemis, tetapi ada action dalam pertanggungjawaban dalam hak kewajiban penguasa harus menyuapi dan mengeloni rakyat setiap hari. optimisme rakyat sering kali berakhir dengan tragis, optimisme tersebut merupakan hasil daripada janji-janji sedap penguasa yang telah di bentuk dari olahan statistik pemilu dan kuasa media, yang di dalamnya terkandung banyak kemungkaran dan kemunafikan. yang tengah melanda jutaan rakyat menjadi tak punya pegangan hidup, mana yang benar dan salah, baik dan buruk dan mulia dan hina. pada akhirnya rakyat terjerembab dalam jurang ketidakpastian hidup di dunia yang amat sementara ini. waspadalaahhh.

-------------------------

sumber ilustrasi
10-04-2015

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun