Mohon tunggu...
Gatra Maulana
Gatra Maulana Mohon Tunggu... lainnya -

warga semesta yang sekedar ikut etika setempat

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Tentang Jeritan Rakyat dan Kejahatan Politik

1 April 2015   22:53 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:40 3342
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14279021731456252301

Saat waktu kerap mengikat kencang tubuh kita, saat keringat tak henti mengucuri bumi, terkadang saat-saat itulah beban hidup terasa menggunung. Lalu kita bertanya-tanya kebingungan, mencari-cari, dimanakah tempat pulang dan rebahan yang paling menenangkan ?

---------------------------------

Kahidupan hari ini yang semakin kompleks, penuh dengan chaos, serta kejahatan-kejahatan yang tiada henti meresahkan dan membuat semakin lama semakin dunia kian memanas. Namun, jika memang demikan adanya, bukanlah menjadi suatu alasan untuk tidak berupaya dan berdoa agar senantiasa diberi kemudahan dan kelapangan jiwa dalam menghadapi hidup yang amat sumpek ini.

Pada moment-moment iklim perpolitikan hari ini, yang sangat begitu krusial, yang semakin hari membuat kegaduhan disana-sini, kerap menjadi tontonan menarik dan menjijikan jauh dari kata lucu. sehingga rakyat dibuat kebingungan mencari intisari dari problematika yang sedang terjadi di Indonesia. sebetulnya apa sedang mereka ributkan, apa yang sebetulnya mereka inginkan ? tak pernah ada ujungnya, dan tak pernah ada tepinya, mereka terus mencari dan merusak bumi pertiwi. upaya mereka dalam mencari kekuasaan sangatlah keji jauh dari kata mulia, memerangi dan memusuhi sesama kawan hingga dampaknya kian melebar dan tetap yang menjadi sasaran adalah rakyat indonesia.

"Wahaiii, wakil rakyat, pejabat, para elit, dan penguasa. janji-janji manismu telah kami rekam, retorika-retorika dahsyatmu telah kami abadikan, bahkan jejak-langkahmu adalah darah yang megalir sapai pada penjuru nusantara,  dan bumi indonesia sebagai saksi bisu atas apa yang kalian ucapkan di atas mimbar"

Tak ada yang lebih menyakitkan ketika harus memandang rakyat kecil nan miskin, yang jauh sekali dari kata sejahtera. Bahkan lebih mirisnya lagi, ketika ada orang yang merasa dirinya kaya, yang merasa dirinya tercukupi (menengah keatas), begitu sangat apatis terhadap orang di bawah (akar rumput), mereka (orang kaya), sudah enggan mengulurkan tanganya kananya hanya karena tangan mereka (orang kaya) takut terkotori. Entahlahh, seperti ada dinding kuat yang memisahkan antara orang miskin dan orang kaya.

Padahal mereka (orang kaya) lupa, bahwa dirinya pada hakikat sebenanya, ketika terlahir ke bumi, mereka adalah asal-muasal orang paling miskin didunia, mereka tak membawa apa-apa, hanya merengek, menangis, ngemis berharap dapat air susu dari ibunya. dan mereka (orang kaya) hari ini telah membunuh moralnya sendiri hanya demi keselamatan di dunia.

Memang terasa menjijikan sekali, ketika "mahasiswa" hari ini lebih mengedepankan gengsingnya, identitasnya, pakainya, mobilnya, pernak-pernik tetek-tetek bengek segala macem hanya karena mereka merasa terlalu pintar dan suci untuk membantu nasib rakyat kecil. Tergambar jelas sudah, bahwa mahasiswa hari ini adalah santapan produk lezat untuk dibentuk menjadi mesin sebagai penguntung kaum-kaum rakus kapitalis. dan mereka (kapitalis) tak ada kata istirahat dalam meluluhlantahkan bumi, kegelisahan serta kebimbangan tak akan berujung menuju jalan keluar, sikap peremerintah yang semakin pongah, begitu berat menengok kebawah melihat tanah bumi yang makin lama makin terkikis karna ulah sebagian manusia serakah.

sampai kapan membiarkan rakyat kecil kehilangan mata pencaharinya, sampai kapan rakyat kecil merintih kesakitan akibat para manusia debah, rakyat membrontak dan membrontak demi mempertahankan secuil harta miliknya dan ia rela terhantam aparat bangsat yang hatinya sekeras batu hanya karna uang dan uang, dan moral mereka sudah terkubur dalam-dalam di tanah penuh lalat dan ular.

"Waaahaaiii penguasa yang sedang duduk di istana, dengarlah, lihatlah dengan mata hatimu, bahwa : kau yang dulu meronta-ronta, mengemis-ngemis suara kami, dan sekarang kau seperti hantu datang dan pergi seenaknya. suaramu yang santun nan lembut, dan gayamu yang merakyat, yang rela keplosok-plosok pasar penuh lumpur dan debu, membuat kami percaya, bahwa kaulah sebenar-benarnya pemimpin harapan kami, yang dapat mensejahterakan bangsa ini. Namun sekarang, kami tak mendengar lagi suara lembutmu, yang kami dengar hanyalah kebisingan harga BBM yang nyaris mencekik leher kami, yang kami dengar adalah harga dolar yang sudah membakar rupiah kami. Kau kemanakan janjimu dulu, kau kemanakan hatimu. kami menunggu-dan-menunggu, berharap kau mampu menyelesaikan tugasmu sebagai tugas pelaksanaan dan titisan amanah Tuhan"

--------------SALAM KOMPASIANA---------

----------------------

sumber photo
01/04/2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun