[caption id="attachment_366621" align="aligncenter" width="560" caption="-- foto dari grup facebook --"][/caption]
Masih belum juga tertampar wajah saya, dan tidak akan menampar wajah sendiri hanya kerena melihat banyak pendukung jokowi yang kian merosot atau kecewa dengan sikap Presiden Jokowiyang kurang tegas sebagai pemimpin negara. Katakanlah hari ini para jokowers banyak yang berpaling, yang dulu memuji kini jadi memaki, yang dulu salam dua jari kini salam gigit jari, bahkan mungkin sangking keselnya sampai gigit jari beneran. Haduhhh kasiann sekali mereka....
belum sampai usia jabatan genap 100 hari, iklim politik kembali menampakan wajah aslinya, begitu krusial, saling dendam dan saling serang. membuat seorang jokowi mengalami gejala berbagai macam benturan. sulit di bayangkan kalo seandainya saya sedang dalam posisi menjadi presiden lalu kemudian hadapkan oleh keadaan seperti ini, pastilah sungguh pusing, makan tak enak, tidurpun tak nyenyak, setiap hari otak terus bekerja, memikirkan nasib rakyat, memikirkan para bawahanya, memikirkan anak istrinya, bahkan yang lebih berat memikirkan bagaimana keputusan yang diambil agar tidak merugikan orang lain, apa lagi kalo sudah menyangkut persoalan bu mega, haduuuh rasanya.......
[caption id="attachment_366627" align="aligncenter" width="333" caption="foto dari grup facebook"]
Tenang bung, tak usah khwatir, saya bukan seorang pengecut, ketika negara dalam keguncangan saya tidak akan lari, saya tetap berdiri disini, tanggung jawab sebagai warga NKRI merupakan kewajiban untuk melawan segala kejahatan yang kian membabi. Meski akhir-akhir ini para muka tebal alias koruptor sedang menyusun konspirasi dalam rangka memperlemah KPK, karna barangkali mereka sudah terlalu malu atas apa yang telah di perbuat KPK, jadi mungkin saat inilah mereka membuat kolabolator cerdik satu-persatu para petinggi KPK di babat. tetapi dalam perkara ini biarkanlah saya tetap konsisten pada pernyataan awal, yaitu : apapun keadaanya, saya sebagai rakyat biasa, yang tak pernah tersorot kamera, tak pernah mengibar bendera dengan bersuara lantang, baik negara sedang mengalami kerterpurukan atau kenyaanan, saya tetap mendukung seorang presiden dalam mewujudkan visi misinya.
Memang betul, dimana-dimana kalo kejahatan itu pastilah menang dulu, pastilah ia merasakan kepuasan dulu. Segala cara di halalkan untuk memporoleh sebuah kemenangan, maen curang, maen hantam dari belakang, kemunafikan kini sudah di anggap biasa, bahwa sangking gilanya terhadap kekuasaan mereka bisa menyeledup kedasar bawa tanah, agar tidak diketehui siapa biang keladinya. Kurang dewa apa mereka sebenarnya ??
Media yang kini sudah menjadi kekuasaan di indonesia, tidak menutup kemungkinan, bahwa mediapun menjadi peran utama dalam berbagai perkara politik. Media apa saja, sekarang sudah tidak lagi netral, tak ada lagi berjiwa profesional, semua omong kosong "kata obyektif". demi uang ia rela menjadi sang provokator sejati, ia rela menjual integritasnya demi kepentingan. Sungguh dari dulu ampe sekarang public tidak punya pegangan, mana yang salah dan banar, mana yang baik dan buruk, juga mana yang hina dan mulia. Semuanya digiring habis demi mencapai kepentingan.
Saya kira, dengan kedaan iklim politik hari ini yang sedang menimpa negara indonesia. barangkali, dapat di jadikan sebuah pelajaran/hikmah, karena kalo dalam suatu negara adem ayem saja tidak ada problem-problem dalam perihal politik, atau berbagai macam polemik dan polemik, kemungkinan bisa terjadi apa-apa dalam istana, kemungkinan juga akan ada propaganda hebat yang diracik agar rakyat bungkam dan diam. Dalam keadaan seperti ini mestinya kita bersyukur, bahwa dengan seiring waktu berjalan, kita bisa mengetahui siapa saja wajah-wajah munafik sebanarnya, siapa saja orang-orang jahat sebenarnya, siapa saja orang-orang yang berniat mencari kekuasaan. dalam keadaan seperti ini juga, artinya masyarakat tidak bungkam, semua bersuara, mengkritisi, mencarikan solusi, semua bisa turun tangan. Tetapi dalam perkara ini pula, mestinya kita sebagai masyarakat biasa  yang kadang tidak tahu penyebab utamanya, tak perlu menghakimi, tak perlu mencaci, memprovokasi, bahkan menghina pemimpin negara. Karna seorang pemimpinpun beliau manusia biasa, jauh dari kata sempurna, tidak lepas dari kekeliruan, kesalahan, bahkan ada seorang pemimpin ia rela melepaskan jabatanya agar tidak terjadi perang persaudaraan.
Ah sudahhlah segitu saja..
Salam kompasiana...
-------------------------------
30/01/2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H