Mohon tunggu...
Jefri Hidayat
Jefri Hidayat Mohon Tunggu... Freelancer - Saya bermukim di Padang, Sumbar. Hobi menulis.

domisili di Sumbar, lajang, 30 tahun. Twitter @jefrineger

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Apakah KPK Masih Layak Dipercaya?

11 Januari 2014   19:20 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:55 894
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memang salah satu harapan masyarakat Indonesia dalam memberantas pencoleng uang Negara. Lantaran lembaga Polri dan Kejaksaan sudah tidak bisa lagi dipercaya dalam penegakan hokum di Indonesia. Sampai hari ini, KPK menjadi symbol perlawanan terhadap pemberantasan korupsi.

Ditangan KPK lah para koruptor merasakan sakitnya mencuri duit Negara. KPK tidak melihat latar belakang para terduga itu. Anggota DPR sudah serentengan di bui KPK. Mentri pun tak berdaya. Apalagi, Bupati atau Gubernur. Bahkan, Ketua MK pun tak luput dari serangan KPK. Termasuk dua ketua partai besar Indonesia.

Namun, belakangan ini saya melihat KPK bertugas menurut arus desakan opini public. Hal itu tergambar dari beberapa kasus. Ketika masyarakat mendesak penuntasan Bailout Century, KPK bergerak cepat dan menahan Budi Mulya, November lalu.

Ketua KPK menurut saya seorang pribadi yang tidak bisa ditantang. Pada saat pewarta menanyakan bahwa KPK takut menetapkan Ratu Atut sebagai tersangka. Abraham Samad pun membuktikan tantangan tersebut. Tak berselang lama KPK menyematkan label tersangka kepada Ratu Atut dan menahan Gubernur Banten tersebut. Entah memang cukup alat bukti, entah atas dorongan public dan gembar-gembor media masa. Saya pun tak tahu. Tapi kita patut memberikan apresiasi kepada KPK.

Sebelumnya KPK menggantung nasib Andi Malaranggeng dan Anas Urbaningrum berbulan-bulan. KPK saat itu beralasan mencari bukti-bukti soal keterlibatan tersangka dugaan suap Hambalang dan Gratifikasi. Menurut saya yang awam hokum. Kenapa status tersangka disematkan terlebih dahulu, baru kemudian mencari alat bukti.

Secara tidak sadar KPK telah menzalimi para tersangka tersebut. Beban mental dan serangan media masa diterima mereka setiap hari. Jika KPK memang belum cukup alat bukti untuk menjerat mereka ke balik jeruji. Kenapa KPK memaksakan kehendak. Mungkin KPK mendapat dukungan luas dari masyarakat, sehingga KPK bersikap semena-mena.

Melihat sepak terjang KPK selama kita patut percaya bahwa KPK memang sebuah andalan untuk mengungkap berbagai kasus korupsi. Tapi kadang-kadang kita yang diluar timbul keraguan dari aneka kasus yang disidik KPK.

Kasus suap daging impor contohnya. Prof Romli menyebut dalam kasus yang menejrat Presiden PKS, KPK agak tergesa-gesa menangkap LHI. Romli mengungkapkan dalam ILC di TV One, jika bicara hokum, status tersangka belum pantas disematkan kepada LHI. Sebab, uang sogokan yang menjadi dasar KPK untuk menangkap belum sampai ditangan LHI. Namun, KPK tak bergeming. LHI divonis belasan tahun penjara.

Dasar itulah yang membuat kita mulai berfikir apakah KPK masih berjalan di koridor hokum. Atau sudah bergeser ke ranah politik. Bicara hokum, kata orang pintar harus mempunyai alat bukti. Bukan sekedar dorongan opini public.

Dalam kasus Anas Urbaningrum—dikutip dari Viva news ; 4 jam AU di KPK tanpa diperiksa. Lantaran AU tidak didampingi pengacara. Tiba-tiba KPK menahan bekas Ketum Demokrat. Saya bertanya apa dasar KPK menahan AU?oh..mungkin juga KPK telah mempunyai dasar hokum sebelumnya.

Namun, jika memang KPK telah lama mempunyai dasar, kenapa status AU digantung segitu lama. Kenapa KPK tidak sedari dulu menahan AU. Lagi-lagi menurut saya atas dorongan opini public. Atau Abaraham Samad ingin membuktikan ‘sesumbar’ sehari sebelum Anas ditahan-- bertepatan dengan mangkirnya Anas dari pemeriksaan yang telah dijadwalkan KPK.

Kita semakin curiga ketika mantan wakil direktur keuangan, Yulianis membantah keterangan Abraham Samad yang menyebut. “tidak benar Yulianis menyebut Ibas dalam BAP.” Yulianis menerangkan di Oke. Zone Pertama, saya pernah berbicara kepada penyidik saat kasus wisma atlet, Pak Novel Baswedan, Pak Arif Adyarsa, Pak Sigit, Pak Taufik, tapi saya tidak ingat apakah hal tersebut masuk dalam BAP wisma atlet

Kedua, saat persidangan, saya menyebut semua orang yang berhubungan dengan kasus M Nazaruddin, bukan hanya Ibas, tapi banyak orang. Tapi apa yang saya sampaikan di persidangan adalah suatu fakta tanpa rekayasa, tanpa titipan, kesaksian saya adalah kesaksian seorang warga negara biasa, tanpa kepentingan apapun. Tidak sepeserpun negara atau siapapun membayar saya.

Di negeri ini benar dan salah itu hanya setipis kulit ari. public juga berpendapat sama dengan orang yang sedang menggiring opini. opini dibangun oleh media masa dan cetak. Sedangkan media umumnya dimiliki oleh politisi. Sehingga opini yang digiring tergantung siapa yang pesan. Meminjan istilah Prof Sahetapy bahwa hokum dan politik tidak bisa dipisahkan. Sebab, di senayan lah produk hokum dibuat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun