Saya mau mengawali tulisan ini dengan mengutip sebuah buku berjudul Doorstoot Nar Djokja. Buku ini di antaranya bercerita tentang serangan Operasi Kraai yang dilakukan di bawah komando Jenderal Spoor. Pada 19 Desember 1948 tepatnya, serangan ini dilakukan dengan tujuan menduduki wilayah strategis Republik Indonesia di pulau Jawa.
Catatan Batalyon 5 Resimen V KNIL menyebutkan, “Dari jauh kelihatan Kota Solo sedang dibakar. Di antara kepulan asap, tampak beberapa pesawat terbang kami mulai menukik, sambil menyiramkan peluru. Pasukan kami segera dipisahkan. Kompi IV akan menuju Solo lewat jalan utama, sedangkan Kompi II bergerak sedikit ke arah Selatan, melalui jalan lama. Di belakang Kompi IV, menyusul Kompi III dan Kompi I, untuk ikut menyerbu dengan tugas utama menduduki sejumlah sasaran strategis.”
“Pasukan kami kemudian menemukan Solo yang sudah berubah menjadi sebuah kota mati. Sepi, senyap, sedangkan api masih terus-menerus menghanguskan sejumlah bangunan. Sekitar pukul 16.00 sore, sampailah pasukan kami ke tujuan utama, Aloen-aloen Lor, tanah lapang di depan Keraton Soerakarta.”
“… Oleh karena kami sadar, melihat pengalaman selama dalam perjalanan dari Salatiga, pasukan Republik di Solo sangat nekat. Mereka terdiri dari anak-anak muda yang bersemangat tinggi. Dengan begitu pihak intelijen kami selalu mengingatkan, …mereka pasti segera menyerang kembali.”
Catatan harian Mgr. Soegijapranoto SJ, yang saat itu tinggal di kompleks Gereja Bintaran, Djokjakarta melukiskan suasana yang dia alami, “…sekitar pukul 10.00 pagi Belanda mulai mendatangkan tiga pesawat pembom. Sesudah berputar beberapa kali di atas kota, mereka kemudian menjatuhkan bom, terus-menerus berjatuhan, susul-menyusul meledak, tanpa reda. Di mana-mana terdengar deru mesin pesawat terbang, bunyi tembakan senapan, rentetan ledakan senapan mesin berikut dentuman meriam. Sejumlah pengungsi mulai menyelamatkan diri, dengan berduyun-duyun mereka masuk ke Pasturan Bintaran….”
Dari catatan di atas kita dapat melihat bahwa sesungguhnya pada 17 Agustus 1945 Republik ini belum merdeka seutuhnya. Selanjutnya mari kita lihat, apa hingga hari ini kita benar sudah merdeka dalam artian yang sesunggunya.
Beberapa hari kemarin, di tengah-tengah obrolan dengan teman yang bercerita mahalnya biaya pembuatan SIM, rendahnya kualitas pelayanan masyarakat di beberapa instansi pemerintah. Salah seorang teman nyeletuk, “Ah, namanya juga orang Indonesia.” Senyum simpul pada hari itu saya ingat kembali di hari ini, 17 Agustus. Memunculkan pertanyaan: apakah kita sudah benar-benar merdeka? Setidaknya teman saya yang lalu itu sudah punya jawaban dengan menyebut ‘Orang Indonesia!’ Dan itu bisa berarti sebagai pengertian umum sekaligus pengakuan kehidupan kita sebagai satu rumpun berbangsa. Meski dengan nada yang pesimis.
Namun ada yang lebih parah daripada rasa pesimisme itu. Belum lama ini saya berkenalan dengan seorang teman. Ketika saya menyinggung isu agama, reaksinya di luar dugaan. Laksana seorang Romo dia menjelaskan dan mengklasifikasi beragam aliran agama Islam di Indonesia, mengkafirkan satu kelompok dan menafikan yang lainnya. Yang terakhir, istilah Pemerintah Zalim yang dia jelaskan dengan kebencian. Menurutnya, siapapun yang menganut sistem Demokrasi ciptaan orang kafir maka ia menjadi kafir. Ini kan bisa jadi sama, dengan kalimat: “Karena rendang masakan Padang, maka yang bisa masak rendang adalah orang Padang.” Bila kita mau tahu diri, mau tahu bangsa sendiri, kita bisa lihat ke belakang. Bagaimana Republik ini berdiri di atas beragam idealisme yang dipersatukan oleh Founding Fathers kita.
Saya bisa memahami kehadiran beberapa ideologi radikal ini lahir sebagai sebuah singularitas atas hegemoni sistem global. Singularitas itu muncul dengan tata nilai tersendiri di luar jalur budaya mainstream saat ini. Ia mendesak untuk exist sebagai ideologi yang menurutnya ideal, meski hanya utopia. Tetapi percayalah, doktrin, dogma, apapun itu, sungguh tak akan bermanfaat sama sekali selama didasari oleh kebencian. Dan hal-hal inilah yang akan terus mewarnai kemerdekaan kita. Satu spasi gelap di tengah indahnya toleransi ke-bhineka-an kita. Berita-berita di televisi tentang wilayah timur yang rawan konflik tak serta-merta mampu menghapus “fakta bahwa negeri ini bukan Negara Islam walaupun berpenduduk muslim terbanyak di dunia” (salah satu bit Bang @pandji).
Keberadaan kelompok-kelompok radikal yang mampu mengancam kesatuan kita dalam keberagaman ini dapat saya ilustrasikan dengan seekor mamalia: kucing. Ya, belakangan ini seekor kucing kecil dalam ruma saya terlihat mulai tumbuh dewasa. Mulai mengikuti kebiasaan emaknya. Kucing kecil ini gak bisa lihat telapak kaki manusia nganggur. Tiap saya sedang selonjoran nonton teve, kucing kecil itu mengusap-usapkan kepalanya ke kaki saya. Lama-kelamaan saya jadi risih. Masalahnya, sampai saya sudah hampir terlelap dalam mimpi, kucing putih bercorak kuning ini masih mengelus jempol kaki saya dengan kumisnya. Kebiasaan buruknya itu membuat saya kembali bangun. Kucing kecil itu, beserta akalnya, hanya bisa meniru induknya: kalau lapar, bermanja-manjalah di kaki manusia. Dia dan induknya adalah juga anggota rumah kami. Bukan karena dulu ibu dari induknya juga lahir di rumah kami. Melainkan karena saya melihat hal lain ketika Ibu atau adik-adik saya menyisakan lauk ikan untuk kedua kucing itu. Meski menyebalkan, mereka juga mahluk yang juga berhak dapat jatah hidup layak dari Tuhan kan? Toleransi ini menunjukkan saya nilai kecil dari indahnya berbagi.
Bicara tentang ‘berbagi’. Nilai dasar kegiatan ini membawa kita tumbuh besar. Dari yang tadinya tidak bisa baca, jadi bisa ngoceh Bahasa Inggris. Dari sebelumnya cuma kenal sandal Swallow, sampai bisa keseleo karena menggunakan high heels yang terlalu tinggi. Dan proses ini pulalah yang membawa bangsa kita menjadi bangsa yang besar sekarang ini. Bagaimana ketika tahun 1945 hanya lima persen penduduk Indonesia yang mampu baca-tulis, kini menjadi Negara yang perekonomiannya mampu menghiraukan krisis keuangan dunia pada 2008 lalu. Dalam skala global, istilah berbagi tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan budaya-budaya manusia yang membentuk peradaban dunia. Lihatlah, ketika film Iron Man 3 harus dibuat dalam dua versi: versi internasional dan versi Cina. Bagaimana Hollywood sebagai raksasa industri hiburan memberikan begitu banyak nilai. Sebagaimana sejak kecil, kita telah menerima banyak pesan moral setelah membaca satu cerita dongeng. Tapi bukan hanya itu. Di sisi lain, dominasi film-film produksi Amerika itu sendiri adalah bentuk lain dari invasi budaya western yang diinisiasikan dalam alur cerita beserta tokoh-tokohnya. Dan itu cool, man!
Setelah sebelumnya bangsa ini dikuasai dan dikungkung oleh sebuah sitem bernama kolonialisme, demokrasi hadir sebagai sebentuk produk sistem global yang ideal. Sistem yang menawarkan terjaminnya nilai universal seperti hak asasi dan tanggung jawab subjektif. Pemilu pertama di Indonesia menjadi satu proses demokrasi yang membuat rakyat bangga atas perannya dalam kesatuan bangsa yang merdeka.
Saya ingin sejenak menarik benang waktu: Setelah banyak orang mempertahankan tekadnya dan rela mati demi kemerdekaan negeri ini. Setelah berlangsungnya sebuah rezim yang mampu berkuasa berkat skema penggulingan pemerintahan secara keji. Setelah tiga generasi tumbuh di bawah otoritas penguasa yang senang membangun ‘badannya’ (amanat lagu Indonesia Raya: “bangunlah jiwanya, bangunlah badannya”). Negeri ini hidup dalam keselarasan yang dibangun di atas nilai dasar sistem global: simbiosis mutualisme. Bupati yang bisa terus menjabat karena berdiri di atas partai yang kuat, tukang becak yang mencoblos sepasang foto dalam bilik suara karena telah diberi amplop yang membuat dapur rumahnya tetap mengepul dalam beberapa hari, dan para karyawan lembaga survei yang lebih giat bekerja, adalah beberapa contohnya.
Itulah bagian kecil dari indanya demokrasi. Pemahaman yang tidak utuh tentang demokrasi terwujud oleh beberapa pemegang kuasa yang menerima sistem ini layaknya menerima hadiah ladang padi yang siap dipanen. Hingga mengaburkan batas private dan publik. Di mana uang tips yang tempat asalnya ada di kafe, restoran, dan hotel, kini menjadi stigma umum di beberapa ruang pelayanan publik. Globalisasi memberikan kita banyak hal, nilai, makna. Seperti yang dapat kita lihat sekarang ini, konstruksi sosial dapat diperbaiki dan disesuaikan oleh peran media massa sebagai agen demokrasi.
Menarik untuk mencuplik sedikit pengertian globalisasi dari seorang filsuf Perancis, Jean Baudrillard. Menurutnya, nilai universal seperti HAM dan demokrasi yang harusnya selalu berkaitan dengan kebebasan dan tanggung jawab permanen subjek, tidak dapat ditemukan dalam pasar dan sistem informasi (sebagai bentuk sistem global). Karena dalam sistem global tersebut segala sesuatu ditentukan oleh rasionalitas sistem pasar maupun informasi. Globalisasi yang pada awalnya berpretensi membebaskan manusia, justru menjadi semacam belenggu. Dalam cengkraman sistem pasar dan teknologi, nilai-nilai kemanusiaan seperti kesederajatan, kejujuran, pengorbanan, tidak lagi diperhitungkan. Memang, dalam masyarakat global nilai-nilai universal itu tetap ada. Namun, bagi Baudrillard, nilai-nilai tersebut sering dipakai sebagai alibi, menjadi milik sebuah badan hukum (juridicial), dan berubah menjadi sebentuk superstruktur: singkatnya, nilai-nilai universal tersebut menjadi semacam iklan.
Sotoy sekali dia, ya? Kalau mau melihat aspek lainnya, kalian bisa lebih panjang lebar menjelaskan kekurangan negeri ini. Tetapi inilah perjalanan kemerdekaan kita, demokrasi kita. Mengalun pelan di bawah kemajuan pendidikan rakyat sebagai pelopor utama kemajuan bangsa. Ketika dahulu Kota Hiroshima dan Nagasaki diluluh-lantakkan bom atom, apa yang dikatan oleh Perdana Menteri Jepang saat itu? Bukan berapa jumlah tentara atau penduduk sipil yang menjadi korban. Bukan berapa total kerugian materi yang diderita. Tapi dia bertanya, “Berapa jumlah guru yang masih bisa diselamatkan?” Dan hari ini Jepang menjadi salah satu penghasil PDB terbesar di dunia dan Negara dengan pertumbuhan ekonomi tercepat di Asia. Kuncinya: pendidikan. Yang terakhir, saya hanya berharap untuk dapat terus belajar. Belajar melihat proses kemerdekaan bangsa ini, dan belajar memerdekakan diri sendiri. Salah satunya dengan membuat tulisan ini. Sebagai penutup, saya mengutip salah satu Cerpen karya Putu Wijaya:
“Nah!” teriak orang tua itu lebih dahsyat lagi. “Kamu ini Merdeka karena kamu masih bisa bilang tidak. Tidak ada orang yang tidak merdeka bisa bilang tidak. Jadi, tetaplah Merdeka. Sekali Merdeka tetap Merdeka, Anakku. Jangan berhenti. Jangan pernah berhenti Merdeka, Anakku. Jangan bablas. Tetaplah Merdeka!”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H