Mohon tunggu...
Ajis Rahardian
Ajis Rahardian Mohon Tunggu... -

(bercita-cita sebagai) penulis yang inspiratif

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Galau Karena?

6 September 2012   06:40 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:51 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Entah karena sebab apa atau siapa, saat ini kita sering mendengar banyak kata “galau.” Di twitter, facebook, di tempat umum, atau pun di jalan. Tanpa perlu tahu apa artinya, kita senang menyebutkannya untuk mengungkapkan kondisi hati yang (sebut saja) sedang kasmaran. Padahal kalau kita lihat di KBBI, galau itu artinya: ramai sekali; kacau tidak keruan. Dengan definisi tersebut, guru TK lah yang lebih layak berkata, “Lagi galau, nih.” Iya kan? Ketika di dalam WC sekolahan ada seorang pelajar yang bilang sama temennya, “Duh, galau bener nih,” itu bisa berarti banyak; dia lihat kotoran yang belum disiram ‘ramai sekali’ atau rambutnya memang sedang ‘kacau tidak keruan.’

Kata tersebut sudah begitu akrab di telinga masyarakat urban masa kini. Kalau dilihat-lihat, asal mulanya sebenarnya ga terlalu jauh dari kehidupan sehari-hari: media hiburan. Karena lebih suka menghabiskan banyak waktu kosong di depan televisi, tanpa sadar kita selalu percaya terhadap nilai-nilai yang disampaikan beragam acara hiburan. Misalnya, dari sebuah film Hollywood kita melihat sang aktor yang keren dan super cakep memiliki kebiasaan begadang, ngerokok, dan minum kopi. Lalu kita mengambil kesimpulan sepintas bahwa itu adalah hal keren untuk dilakukan, maka kita akan mengikutinya, dan tak butuh waktu lama kebiasaan itu membawa satu-satunya dampak positif: akrab dengan tukang ojek karena sering begadang bareng.

Banyak hal yang teracuhkan ketika kita melakukan hal rekreatif di depan televisi. Selama para actor dan alur cerita dapat membuat tertawa, itu sudah bagus – dan cukup layak ditiru. Cukup banyak surga dunia yang hanya terjadi di kotak digital bernama televisi.

Soal cinta misalnya. Salah satu adegan yang membuat kita percaya indahnya jatuh cinta misalnya, ketika si cewek turun tangga dan si cowok mau naik dari arah berlawanan. Entah karena ngelamun atau apa si cowok nabrak si cewek yang sedang bawa buku dan setumpuk kertas. Si cowok mau bantu mengambilkan buku yang jatuh tapi ternyata udah keduluan si cewek. Dalam jongkoknya mereka bersitatap cukup lama dengan diiringi musik mellow yang menggugah (kucing untuk kawin lagi). Dan ketika berdiri, mereka saling senyum setengah mules, lalu akhirnya mereka kenalan, tukeran nomer PIN BB, dan bermesraan. Sesimpel itu mereka bertemu dan jatuh cinta – setelah beruntung tidak jatuh dari tangga. Sayangnya itu hanya ada di TV. Pada dunia nyata, yang akan kita temukan adalah kejadian seperti ini: ketika seorang cowok menabrak cewek cantik di tangga tanpa sengaja, si cewek akan berkata, “Punya mata gak sih, mas? Liat-liat dong kalo jalan!” Lalu akhirnya si cowok tak berkata apa-apa kecuali, “Oh iya, sorry.”

Secara umum, masyarakat bawah hingga atas sudah memiliki televisi di rumahnya (ya, kan?). Dari yang masih jomblo sampai yang sudah jompo menikmati betul sarana hiburan dan informasi ini. Namun lihatlah, di balik acaranya yang menarik, latah meniru bermacam adegan di dalamnya seperti anak kecil bukan pilihan yang baik. Balik lagi kejudul tulisan ini. Kenapa gue bisa bilang asalmula trend kata galau adalah dari televisi. Sebenernya vonis gue itu masih abu-abu, belum ada data yang mendukung. Tapi kalau kita lihat, banyaknya kata-frasa-kalimat yang jadi trend teman-teman di sekitar kita berasal dari satu-dua film atau sinetron membuktikan televisi sebagai media penyebar arus utama di kalang muda saat ini. Biar enggak bingung, gue tempel sedikit definisi tentang fenomena ini: Televisi adalah bagian dari “prakondisi dan konstruksi selektif pengetahuan sosial, pembayangan sosial, yang digunakan untuk memersepsi ‘dunia-dunia’,’realitas’ kehidupan orang lain, dan secara imajiner merekonstruksi hidup kita dan mereka menjadi semacam ‘keseluruhan dunia’ (‘world of the whole’) yang masuk akal bagi kita” (Hall dalam Chris Barker, 2005 : 341). Malah jadi bingung ya?

Dalam sebuah makalah psikologi yang mengkaji dampak televisi, ada sedikit nukilan yang mungkin akan memerjelas: Dwyer menjelaskan bahwa sebagai media audio-visual, televise mampu merebut 94% masuknya informasi ke dalam jiwa manusia, yaitu lewat mata dan telinga. Televisi mampu untuk membuat orang pada umumnya mengingat 50% dari apa yang mereka lihat dan dengar di televisi, walaupun hanya sekali ditayangkan. Secara umum orang akan ingat 85% dari apa yang mereka lihat di televisi setelah 3 jam kemudian dan 65% setelah 3 hari kemudian. Is it clear?

Pada dasarnya perilaku kita diawali dengan proses interaksi sosial kita dengan lingkungan. Bagaimana kita bersikap memengaruhi penerimaan lingkungan. Karena sebab itu pula, sebagai haluan non-konservatif kita kerap meniru hal baru untuk ditularkan pada lingkungan. Fenomena ini kita rasakan wajar terjadi dalam kehidupan sehari-hari, dan memang sebaiknya begitu. Yang tidak baik adalah selalu merasa galau, gamang, bingung, dan bimbang tanpa sebab yang jelas. Jadilah muda-mudi yang produktif. Tidak mudah tertarik pada aib orang dan hal-hal tak penting. Jangan kayak gue yang menyelesaikan artikel ini dalam waktu setengah hari. No galau. No cincau. Gong xi fat chau.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun