Hilangnya Budaya Bisu
Oleh: Nila Agustina, S.Pd
SM-3T UNNES 2012
Siang hari yang menyengat turut membuat SMPN 3 Wae Rii cukup gerah. Suara murid-murid terdengar dari ruang kelas yang berjejer. Tampak seorang perempuan berjalan menyusuri teras. Jilbab hitam menutupi rambutnya, dengan baju batik warna hijau putih terlihat serasi, dan kacamata yang menghiasi parasnya. Tangan kanannya memegang beberapa buku. Langkah kakinya menuntun dia menuju ruang yang berada di ujung sekolah itu. Sesaat dia masuk ruangan itu, semua yang berada di ruangan itu seraya mengucapkan,
“Selamat siang Ibu … ” ,
“Selamat siang juga enu…nana… Ada yang tidak masuk ko’?”
“Toe manga Ibu… (tidak ada ibu)”
“Bagus… Sekarang kita mulai pembelajarannya, kemarin kalian telah belajar tentang Relasi dan Fungsi, nah… sekarang saya akan membagi kalian menjadi beberapa kelompok “
Perempuan itu seorang guru muda yang ingin mendedikasikan sebagian waktunya untuk murid-muridnya yang baginya kurang beruntung. Nama guru muda itu Nila Agustina. Guru muda yang berasal dari pulau seberang. Seorang perempuan yang karena panggilan jiwanya memilih untuk mengabdikan dirinya di pulau yang jauh dari keramaian. Dia tinggalkan kenikmatan hidup di kota dan keluarga di kampung demi membayar hutang anak bangsa kepada ibu pertiwi. Mewujudkan janji kemerdekaan, bahwa janji mencerdaskan semua anak bangsa. Menurutnya, itu adalah hak dan dia adalah salah satu yang harus memenuhi hak-hak tersebut. Dalam sebuah renungan dia mengatakan,
“Percayalah kita diciptakan untuk mati, berikan abdimu untuk saudara-saudara di penjuru tanah air! Mereka pun punya harapan sahabat…”
Niat itu sudah terlalu bulat sehingga tidak bisa ubah lagi, keyakinan itu sudah terlalu kuat sampai-sampai badai yang datang dari setiap omongan orang disekitarnya tak mampu merobohkan. Dan kini ia benar-benar melakukan apa yang dijanjikannya. Sekarang dia mengajar di SMPN 3 Wae Ri’i.
***
Sejak kedatangan sang guru muda, suasana sekolah tampak lebih bersemangat. Gagasan-gagasan cerdas selalu muncul. Kreativitas seorang jiwa muda dan naluri seorang guru begitu melekat pada dirinya. Tak salah jika seringkali dia mencoba membuat kelompok dan mengajak muridnya berdiskusi. Tampaknya Bu Nila ingin menjadikan muridnya bukan sebagai robot yang diatur sesuai keinginan gurunya, tapi dia mencoba untuk mendorong dan mengarahkan apa yang dibutuhkan muridnya. Seperti hari ini, sambil menuliskan permasalahan yang harus dikerjakan oleh muridnya di papan tulis, Bu Nila menjelaskan apa yang harus dilakukan muridnya,
“Cari dan amati kejadian-kejadian di lingkungan sekitarmu. Tulislah hal-hal yang termasuk Fungsi sebanyak dua buah, lalu sajikan dalam diagram panah, diagram kartesius dan himpunan pasangan berurutan.“
Dia pun tak ragu memberikan kesempatan murid-muridnya keluar kelas untuk mencari inspirasi. Tempat belajar tidak hanya dikelas saja, media belajar itu tak hanya buku dan papan tulis saja. Semua yang ada dilingkungan bisa dijadikan sarana pembelajaran. Tiga puluh menit yang diberikan sang guru muda digunakan anak-anak untuk mengamati, mendiskusikan apa yang mereka lihat. Suatu hal yang jarang mereka rasakan sebelumnya. Mereka seakan merasa burung yang keluar dari sangkarnya merasakan kebebasan untuk mengamati apa yang ada disekitarnya. Barang tentu akan muncul pertanyaan-pertanyaan yang belum sempat terbersit sebelumnya. Murid pun mengamati apa yang ada di lingkungan sekolah, saling bertukar pikiran satu sama lainnya.
Seusai mengamati lingkungan sekitar murid-murid berdiskusi. Ada sesuatu hal yang tampak berbeda dari wajah mereka, mungkin rasa cemas ataupun penasaran tentang isi dari kertas yang dibawa oleh perwakilan kelompoknya. Satu kelompok pertama memulai diskusi di kelas yang apa adanya itu. Semua duduk di kursi yang telah disiapkan di depan kelas. Presentasipun dimulai, Flora Efrasiana yang menjabat sebagai ketua kelas membuka presentasi dengan memperkenalkan anggota kelompoknya, diantaranya Yuliana Banul, Marianus Jebarus, Polikarpus Nggoang, dan Sebastianus Jehamur. Sebastianus Jehamur adalah siswa paling pintar di kelas VIII A mencoba berbicara sebagai pemateri :
“ Teman-teman saya akan membacakan hasil diskusi dari kelompok kami yang sudah saya tuliskan di papan tulis, kami membuat relasi tentang nama siswa dan bunga yang disukai, diantaranya Sovi suka bunga Mawar dan Anggrek, Simuk suka bunga Matahari, Sani suka bunga Melati dan Sinar suka bunga Mawar. Dan inilah diagram panah, diagram kartesius dan himpunan pasangan berurutan yang telah kami buat teman-teman……”
Selesai membacakan hasil diskusi, Flora menawarkan kepada kelompok yang lain untuk bertanya. Beberapa detik, ada siswa yang mengacungkan tangan :
“Perkenalkan, nama saya Yonastasia Benge dari kelompok lima. Saya ingin bertanya kepada kelompok dua, kenapa Sovi suka mawar dan anggrek ?“
Lalu kelompok yang di depan menjawab:
“Karena bunga Mawar dan Angrek sama indah”
Pertanyaan dan jawaban anak-anak itu diluar dugaan dan unik.
“Kenapa seperti ini, kenapa anak-anak belum berpikir sesuai yang diajarkan ?” sang guru mulai menggugat dalam pikirnya.
“Salah siapa ini?”
“Murid?, guru?, kurikulum?”
“ah, tidak. Tak usahlah menyalahkan apapun. Ini adalah tantangan. Ini tugasku disini”
“Mungkin, anak-anak disini berfikir sesuai dengan apa yang mereka lihat, mereka dengar dan mereka rasakan.”
“saya tidak bisa menyalahkan jawaban unik mereka”.
“Yang harus saya perbaiki adalah menyampaikan materi yang sesuai dengan kegiatan mereka sehari-hari tanpa mengurangi esensi dari konsep Matematika itu sendiri,” sang guru mulai menganalisis apa yang dialaminya hari itu.
Pikirannya kembali tertuju pada murid-muridnya, saat Flora Efrasiana mencoba menawarkan kembali kepada kelompok lain untuk mengajukan pertanyaan. Dari sebelah ujung selatan kelas ada siswa yang mengacungkan tangan dan berkata,
“Perkenalkan nama saya Ferdinandus Tulung, saya dari kelompok tujuh, saya ingin bertanya apakah relasi dari diagram panah yang disajikan ?”
“Relasinya adalah Bunga yang disukai” jawab kelompok yang sedang presentasi
Sambil geleng-geleng kepala sang guru merasa heran, jawaban dari pertanyaan siswa itu sudah ada di papan tulis dan sempat dibahas oleh kelompok yang sedang maju bahwa relasinya adalah bunga yang disukai tapi kenapa masih ditanyakan. Pertanyaan tentang “Apakah relasi dari Diagram Panah tersebut ?” adalah pertanyaan yang sering kali dilontarkan oleh beberapa siswa kepada kelompok yang sedang presentasi. Pertanyaan yang bagi sebagian besar murid belahan Indonesia lainnya adalah pertanyaan yang biasa, bahkan tak perlu ditanyakan.
“Yah, inilah siswaku, siswa dari Indonesia Timur.”
“aku akan selalu menyayangi kalian, akan selalu sabar agar kalian bisa mengejar mimpi-mimpi kalian”
***
“Tuhan, terima kasih Engkau telah memberi kesempatan kepadaku untuk mampir di tempat ini di sepenggal usiaku” Ujarnya dalam hati.
Pengalaman hari itu membuat Nila menyadari bahwa sebenarnya murid-muridnya mempunyai kemampuan dan keberanian untuk berdialektika, tetapi budaya belajar yang tertanam selama ini membuat mereka bertahan dengan Budaya Bisu. Budaya yang membiasakan mereka untuk duduk dan diam saat guru menerangkan, bergerak saat guru membacakan atau menuliskan materi. Menurut pernyataan dari beberapa siswa, mereka takut untuk menjawab soal di papan tulis, mereka takut untuk berbicara atau menyampaikan pendapat karena mereka takut dipukul oleh guru karena jawaban yang mereka sampaikan salah. Mereka takut bertanya karena takut dibilang susah mengerti.
“saya yakin tidak ada manusia yang bodoh, semuanya pintar”
“Keberhasilan saya bukan terletak pada seberapa besar materi yang telah mereka pahami selama pembelajaran tetapi terletak pada seberapa banyak keberanian dari tiap peserta didik untuk mengeluarkan pendapat mereka.” Batinnya.
Dan tiba-tiba ada suara yang menghentikan jiwanya yang merenung.
“Bu Nila, mari pulang sudah !” sapa Kepala sekolah.
“Oh iya pak” sahutnya
Suasana sore yang teduh dengan sinar matahari yang mulai memerah mengiringi putaran roda sepeda motor sang guru muda. Hatinya berbunga-bunga seperti mekarnya bunga yang dia jumpai sepanjang jalan. Lelahnya mengajar tampak sirna oleh senyum-senyum murid hari ini.
Ditulis di kota dingin Ruteng, Manggarai, Nusa Tenggara Timur
9 September 2013, Pukul 16.00 WITA
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H