Mohon tunggu...
enha saja
enha saja Mohon Tunggu... -

BIASA JUGA DISAPA DENGAN USTADZ ENHA, SELAIN SEBAGAI MOTIVATOR KELUARGA BELIAU JUGASEORANG PRAKTISI PENDIDIKAN DALAM BIDANG MOTIVASI DAN SPIRITUAL DENGAN SPESIFIKASI KEAHLIAN PENDAMPINGAN KELUARGA DAN PARENTING

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kharisma di Tubuh NU

6 Agustus 2015   10:21 Diperbarui: 6 Agustus 2015   12:39 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Betapa krusialnya menetapkan sebuah hukum yaaa? Ya karena itu, hanya Nahdhatul 'Ulama yang concern pada persoalan ini, maka dalam agenda Muktamar selalu disertakan komisi khusus yang membahas persoalan-persoalan agama. Nah, untuk membahas apalagi menetapkan hukum atas suatu perkara jelas bukan hal mudah, dibutuhkan bukan hanya keilmuan yang mumpuni tapi juga keahlian istiqrâi sehingga tidak terjebak pada nash yang terhidang (tekstual) tapi maksud-maksud yang dikandung dibalik teks (kontekstual). Karena itu metodologi penetapan hukum menjadi penting dan mendesak diputuskan.

Tapi tak semua bisa menerima gagasan ini, kekisruhan pendapat segera terjadi. Sebagian dipicu oleh "ketakutan" sebagian peserta menyebut diri sebagai mustanbith atau mujtahid padahal masih berada di level muqallid, sebagian peserta lain "ketakutan" NU akan kebablasan dalam menetapkan suatu hukum.

Kericuhan dalam perspektif NU itu adalah Ikhtilaf dalam hal pendapat, biasanya sih karena belum mengerti substansinya, jadi meskipun Kyai Moqsith berkali-kali menjelaskan substansi persoalan, ada saja peserta yang "ngotot" menolak Draft istinbâth ini.

Hingga kemudian, di tengah kekisruhan itu datanglah Kyai Ma'ruf Amin yang kemudian dipersilahkan oleh Kyai Moqsith untuk menjelaskan kronologi hasil Munas Lampung. Dan beginilah Pidato singkat Kyai Ma'ruf Amin yang merupakan penegasan kembali dari apa yang sudah berkali-kali dijelaskan oleh Kyai Moqsith dan Kyai Afifuddin Muhajir, "Hasil Munas Lampung itu memang memberi mandat untuk melakukan Istinbath Jama'i, karena kita ini masih kategori Muqallid, kita ini nda seberani Imam Nawawi Banten yang meskipun bukan Mujtahid lalu berkata pada penetapan hukum mengenai zakat, seandainya imam syafi'i hidup beliau akan berfatwa seperti aku, karena memang tidak ada 'ibarat hukum yang didapati di kitab-kitab mu'tabar. Karena itu, metodologi penetapan hukum ini menjadi penting, itu yang harus dirumuskan segera. Karena kita ini "pengecut" maka ya mari kita lakukan ramai-ramai ini namanya istinbath jama'i."

Di jejeran bangku belakang, aku yang duduk bersama para ulama NU lain dari Kalimantan dan Jawa Barat berbisik ringan, "fauqa kulli dzî ilmin 'alîm_di atas langit masih ada langit. Kekisruhan berakhir oleh wibawa ilmiyah." Seorang Kyai dari Kalimantan membalas bisikan saya, "Mereka yang tidak faham substansi, akhirnya toh bisa menerima, jadi perdebatan yang menampilkan maraji' tadi, seperti musabaqoh qirâatil kutub saja." Kami tersenyum lalu Kyai Moqsith menutup sidang dengan ketuk palu dan membaca surat al-fâtihah.

Begitulah di tubuh Nahdhatul 'Ulamâ ada dua kharisma agung; kharisma rûhiyah dan 'ilmiyah yang masing-masing dibalut oleh ketawadhu'an sikap rendah hati yang membumi. Pada karakter mereka tidak arogan memburu jabatan, bahkan akhirnya Gus Mus menolak dan mengundurkan diri dari penetanpannya sebagai Rais 'Aam, sementara pada bidang keilmuan, Kyai Ma'ruf Amin sebagaimana juga Kyai Abdul Moqsith Ghazali dan Kyai Afifuddin berulang kali menegaskan keterbatasan ilmu untuk menetapkan suatu hukum, namun situasi menghendaki para ulama berani melakukan istinbath baru berdasar keilmuan yang mumpuni.

Maka, mari kita ambil dua pelajaran hebat ini, kharisma itu tidak bisa direkayasa, ia muncul dari keluasan ilmu dan hati yang telah menyamudera, para ulama NU meskipun telah cukup syarat sebagai mujtahid namun tak berani langsung menetapkan hukum tanpa mekanisme istinbâth yang jelas, bandingkan dengan sebagian ustadz belakangan ini yang sembrono dalam berfatwa, saya rasa Muktamar Nahdhatul Ulama merupakan pukulan telak bagi kalangan Wahabiyyin yang arogansi intelektual mereka membuat begitu berani menetapkan hukum tanpa istinbâth, semua dianggap selesai dengan jargon "ar-rujû' ilal quran was sunnah_kembali kepada al-quran dan Sunnah."

Para Ulama Nahdhatul 'Ulama telah menampilkan teladan tinggi sekelas Imam Madzhab yang tidak saling menjatuhkan apalagi mencaci maki, mereka bermujahadah untuk menyusun mekanisme penetapan sebuah hukum. Anda bisa bayangkan bila untuk sebuah hukum syari'at saja perlu istinbâth yang panjang dan berjenjang maka bagaimana pula dengan peristilahan sederhana seperti "Islam Nusantara", tanpa kemauan menerima penjelasan, kalangan wahabiyyin -yang belakangan mendapat dukungan dari sebagian ustadz NU yang dangkal pengetahuan atau enggan menerima penjelasan- langsung menuding bahwa ini peristilahan baru yang akan memecah belah Islam sebab hanya ada Satu Islam.

Para ulama seperti Kyai Afifuddin Muhajir yang diakui sebagai jawara ushul fiqh ataupun Kyai Mustofa Bisri yang diakui Kharisma Ruhiyahnya, tak lelah dan tak merasa malu menjelaskan mengapa mereka mendukung istilah Islam Nusantara, bahkan keduanya sampai merasa harus menjelaskannya dari perspektif semantik dan kebahasaan, padahal ini langkah paling dasar dalam proses Istinbâth. Jadi, semoga Anda bisa mengerti sekarang, apa dasar keilmuan mereka yang mencaci maki ulama Islam Nusantara? Selain kesombongan dan kebencian kepada Nahdhatul 'Ulama, yang tersisa hanya kosong yang melompong.

Selamat kepada Nahdhatul 'Ulama yang telah menyelesaikan Muktamar ke-33, dinamika muktamar yang elegant telah menampilkan kekhasan NU dalam menyelesaikan masalah. Selamat berjuang Gurunda KH. Ma'ruf Amin dan Syaikhi KH. Said Aqil Siradj juga untuk seluruh jajaran pengurus PBNU yang akan segera terbentuk, nama saya nda perlu dimasukkan yaa, biar saja saya menjadi penggembira yang mencintai Nahdhatul 'Ulama. 😀

Terakhir, yakinlah Mbah Yayi Mustafa Bisri tidak pernah mengundurkan diri, karena seperti kata Cak Nun, "Jadi, saya Ketua-NU-kan dia, kalau perlu seumur hidup. SEUMUR HIDUP."

Salam Ukhuwwah Nahdhiyyah

Enha

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun