Mohon tunggu...
Irwan Lamara
Irwan Lamara Mohon Tunggu... Konsultan - Hanya anak kampung yang mencoba belajar banyak hal

Hanya anak kampung yang mencoba belajar banyak hal

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kisah Inspirasi Pengungsi Ambon

13 September 2016   13:27 Diperbarui: 13 September 2016   13:36 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mata orang tua itu berkaca-kaca, saat ia mulai bercerita. Sebelum datang ke tanah Buton, keluarganya sudah bisa di bilang mapan di Ambon sana. “kedua orang tuaku,” katanya mulai bercerita, “sudah memiliki toko sendiri yang menjaul sembako. Meskipun hanya toko sembako, itu udah cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Bahkan, aku bisa megenyam pendidikan tinggi. saat itu, sebelum kerusuhan, saya adalah mahasiswa semester dua, Universitas Patimura.”

Kerusuhan Ambon telah membuat pak Zainudin, harus rela meninggalkan semua harta yang ada di Ambon. Kedua orang tuanya sendiri telah meninggal ketika kerusuhan. Begitu juga sadara-saudaranya. Buton, menjadi tempat yang aman baginya saat keurusuhan. Meskipun ia besar di Ambon, tapi ia tahu bahwa leluhrnya berasal dari tanah Buton, sehongga ia memilih untuk pulang ke Buton. Baginya, negeri Buton, telah  memberinya harapan, karena saat itu, ia tidak tahu kemana harus berlari ditengah kecamuk kerusuhan. Butonlah negeri terdekat dengan Ambon, yang hanya memerlukan waktu dua hari perjalan dengan kapal Pelni.

“Pada awalnya,” katanya. “Saya sangat dendam kepada  mereka yang telah membunuh orang tua saya dan menghancurkan rumah keluarga saya. Apakah kalian bisa bayangkan, bagaiamana perasaan kalian jika melihat dengan mata kepala sendiri kedua orang tua dan saudara kalian di bunuh? Kalian tentu tidak akan bisa merasakannya. Dan saya mengalami kejadian itu,” ia bercerita dengan berapi-api. 

“Namun”, katanya lagi, “dendam itu menghilang ketika saya membaca sebuah tulisan di Internet tentang Pluralisme. Dari tulisan itu saya menjadi tahu kalau konflik antar manusia terjadi karena masing-masing kelompok merasa paling benar sendiri dan tidak menghormati kelompok yang lain. Dendam hanya akan membuat konflik menjadi lebih lama, ujung-ujungnya, anak cucu kita juga yang akan merugi.”

***

Kisah pak Zainudin adalah kisah bagaimana seorang manusia belajar memahami perbedaan. Teknologi telah membantunya untuk belajar memahami perbedaan itu. bisa dibayangkan jika ia tidak pernah  mengenal teknologi Internet, tentu dia tidak akan tahu ide tentang pluralitas.

***

Konflik terjadi karena manusia gagal  memahami bahwa pluralitas atau kemajemukan merupakan sunatullah yang tidak bisa di bantah. Kegagalan ini membuat manusia melihat orang lain atau kelompok lain sebagai “mereka” dan melihat diri kita atau kelompok kita sebagai “kita”. Pemahaman seperti ini kemudian menimbulkan fanatik pada kelompok sendiri, dan tidak mengahargai kelompok lain.

Untuk menghindari konflik antar masyarakat, maka gagasan ide tentang pluralitas harus disampaikan dengan diamalkan dalam masyarakat. masyarakat harus paham, bahwa dunia ini tidak mungkin hanya didiamai oleh orang yang sama. Bahkan Pluralitas ini dalam Islam legitimasinya ada dalam Al-Qur’an. “Hai, Manusia,” kira-kira begitulah Allah, Tuhan Seluruh Alam berfirman dalam Surah Al-hujurat ayat 13, “Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.

Firman Allah, Tuhan Seluruh Alam di atas memberi infromasi ke kita manusia, bahwa kemajemukan, adalah hal yang pasti terjadi di dunia ini. tugas kita sebagai umat manusia kemudian adalah untuk saling kenal mengenal satu sama lain, bukan malah saling mencurigai, menebar kebencian. Dengan saling mengenal maka kemudian kita akan berupaya untuk menghargai dan menghormati orang lain dan bahu membahu mewujudkan masyarakat yang sejahtera.

Minimal di tengah kemajemukan yang ada kita berupaya untuk memberikan manfaat bagi manusia yang lain. sebagaimana Sabda baginda Nabi Muhammad SAW, “sabaik-baik manusia adalah manusia yang mampu memberi manfaat bagi orang lain.”

Alangkah indahnya negeri yang masyarakatnya berupaya untuk saling kenal mengenal dan berujung pada saling memahamai. Alangkah Indahnya negeri yang setiap individu masyarakatnya memiliki prinsip untuk  memberikan sesuatu yang bermafaat bagi manusia yang lain. negeri itu, Media sosialnya menyampaikan tentang kebaikan dan pikiran-pikiran positif untuk mewujudkan masyarakat yang damai dan sejahtera. Alangkah Indahnnya negeri itu, jika negeri itu adalah Indonesia.

Akhirnya, tidak perlu banyak kata. Cukuplah pengalaman pak Zainudin menjadi pelajaran, bahwa konflik tidak akan berujung pada kedamaian dan kesejahteraan. Tidak perlu banyak kata, kita hanya perlu belajar, sebagai warga negara yang cinta akan negeri, menjadi manusia yang mampu membawa manfaat bagi manusia yang lain. “sebaik-baik manusia adalah manusia yang mampu memberi manfaat bagi orang lain”

facebook : https://www.facebook.com/irwantherichman

twitter : https://twitter.com/ElUmara

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun