Mukadimah
Sistem kapitalisme dengan ide dasar sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan umum) yang diadopsi oleh masyarakat dan diterapkan oleh pemerintah membuka lembar munculya berbagai pemikiran yang bertentangan dengan Islam. Sebagai akibatnya memunculkan berbagai fenomena dalam masyarakat yang tidak sesuai dengan Islam. Fenomena yang menjadi isu pada saat ini adalah fenomena LGBT (lesbian, gay, biseks dan transgender). Adanya fenomena ini kemudian mendorong beberapa tokoh Islam untuk menysusun fiqh yang baru, salah satunya adalah fiqh tentang waria (transgender)
Gagasan tentang penyususuan fiqh waria ini ditawarkan sebagai solusi atas waria yang memiliki keinginan untuk mendekatkan diri kepada Allah, yang selama ini kebingungan karena identitasnya. Selain itu, dengan adanya fiqh waria ini masyarakat diharapkan dapat menerima keberadaan waria yang dianggap sebagai kodrat Illahi yang harus di hormati, sehingga Islam yang rahmatan lil ‘alamin bisa diwujudkan.
Namun kajian yang mendalam dan objektif menujukan bahwa gagasan ini adalah sebuah gagasan yang dilandasi atas hak asasi manusia dengan menggunakan paham humanisme. Pendapat ulama terdahulu ditundukan dengan realita yang ada dengan berdasarkan pada nilai-nilai humanisme. Bahkan Hadis nabi pun dipaksa tunduk dengan nilai-nilai Humanisme. Padahal kita telah mengetahui bersama bahwa permasalahan waria ini telah ada dasar hukmnya dalam Islam. Oleh karena itu, melalui tulisan ini penulis berupaya untuk melihat kesalahan logika berpikir tentang gagasan penyusunan fiqh waria
Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan yang diuraikan penulis, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut
- pencermatan literatur fiqh atas fenomena waria berdasar pada tinjauan fisik luarnya saja dan berdasar pada pemaknaan literal-praktis (bayani); bahwa waria itu adalah khuntsa, sementara laki-laki yang menyerupai lawan jenisnya disebut mutasyabbih yang menyalahi kodrat dan karenanya dilaknat/berdosa.Fiqh juga berpandangan tidak konsisten terhadap identitas waria; terkadang waria diidentifikasi sebagai perempuan, terkadang sebagai laki-laki, dan terkadang pula sebagai setengah laki-laki dan perempuan. Meskipun demikian, terdapat penemuan fiqh yang menyatakan bahwa waria “asli” (mukhannats min ashl al-khilqah), di mana kelainannya telah terjadi sejak dalam janin dan di luar kemampuannya untuk menghindar, dapat diterima serta tidak dilaknat oleh Islam
- Pemikiran keagamaan waria menegaskan bahwa menjadi waria merupakan takdir Allah yang harus dijalani, bukan didustai. Selagi manusia berada pada keimanan yang benar, menjalankan ibadah dan tidak merugikan orang lain, maka menurut mereka itulah kebenaran Islam yang harus dihargai.
- Humanisme memandang hukum Islam sejatinya didasarkan pada standar dan tabiat kemanusiaan. Itu sebabnya, sisi kemanusiaan waria dalam beragama semestinya dapat diterapkan sebagai pertimbangan hukum Islam, yang di antaranya dapat diwujudkan melalui perumusan fiqh waria (fiqh al-mukhannats), yakni seperangkat pemikiran hukum Islam (fiqh) khusus waria dalam menjalani agamanya atas dasar kekhususan kondisi kehidupannya.
Telaah Kritis Tesis
Membaca dan memahami tesis yang di tulis oleh Nurkholis ditemukan beberapa kerancuan untuk tentang waria.
Pertama, penulis tesis tidak sependapat dengan konsep khuntsa yang telah dijelaskan oleh ulama sebelumnya. Padahal penjelasan tentang khuntsa sudah sangat jelas. Sebagaiamana dijelaskan oleh KH.Hafidz Abdurahman, beliau mengutip pendapat Prof. Dr. Rawwas Qal’ahji dalam Mu’jam Lughat al-Fuqaha,yang dimaksud dengan khuntsa adalah orang yang mempnyai alat kelamin laki-laki dan dan alat kelamin perempuan, atau orang yang kencing melalui satu saluran, sementara ia tidak memiliki alat kelamin laki-laki dan alat kelamin perempuan. Sementara istilah Mukhantas digunakan untuk menyebut orang yang menyerupai wanita dalam hal kelemahlembutan, ucapan, gerak-gerik dan sebagainya, yang terlahir sebagai laki-laki, namun berpenampilan seperti perempuan, mereka inilah yang disebut Nabi SAW sebagai Mukhannats min ar rijal (laki-laki yang bergaya perempuan) (Abdurrahman, 2016).
لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم المُخَنَّثِيْنِ مِنَ الرِّجَالِ، وَالمُتَرَجِّلاَتِ مِنَ النِّسَاءِ، قَالَ: فَقُلْتُ: مَا المُتَرَجِّلاَتِ مِنَالنِّسَاءِ؟ قَالَ: المُتَشَبِهَاتُ مِنَ النِّساَءِ بِالرِّجَالِ
“Rasulullah SAW telah melaknat laki-laki yang menjadi perempuan dan perempuan yang menjadi laki-laki.” Berkata perawi hadis,“Apa yang dimaksud dengan perempuan yang menjadi laki-laki?”Baginda menjawab,“Perempuan yang menyerupai laki-laki.” (HR Ahmad dalam Musnad)