Mohon tunggu...
indrastuti cheerio
indrastuti cheerio Mohon Tunggu... -

indraz ??? nothing special.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pentingnya Keterwakilan Perempuan Dalam Politik Menjelang Pemilu 2014

4 April 2014   15:22 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:05 3157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

ØMengizinkan perempuan menempati posisi kunci bila dibutuhkan.

ØMembenarkan kader perempuan menempati posisi di parlemen sebagai anggota DPR.

Kemunduran posisi perempuan merupakan kesalahan Orba.

Dalam kenyataannya PKS memisahkan perempuan dari pusat kekuasaan menjadi pinggiran.

Sumber: Diolah oleh Syafiq Hasyim, 2002

Dari hasil platform yang telah dipetakan di atas menunjukan bahwa isu perempuan dalam partai politik Islam sangat beragam. Platform ini menjadi aksesoris politik untuk membujuk pemilih perempuan untuk memilih partai tersebut dalam pemilu 2004 berdasarkan pemetaan kebutuhan di atas. Kita ketahui bersama bahwa jumlah perempuan di Indonesia cukup besar. Oleh karena itu beragam isu dipetakan untuk menarik simpatisan agar memilih partai mereka.

Analisa Kasus

Berangkat dari berbagai pemetaan kebutuhan tersebut yang terjadi menjelang pemilu 2004 akan lebih menarik jika kita lihat ke depan yaitu pada pemilu 2014. Dari platform di atas terlihat bahwa dalam kenyataanya masih banyak partai politik khususnya partai politik Islam yang menjauhkan perempuan dari pusat kekuasaan, hal ini didasarkan bahwa ideologi yang dianut adalah pemahaman fundamentalis yang memandang teguh pemahaman-pemahaman agama dan budaya. Pandangannya menjelaskan bahwa perempuan memiliki kedudukan yang berbeda dengan laki-laki seperti yang sebelumnya dijelaskan. Perempuan pada hakikatnya hanya bekerja sebagai ibu rumah tangga, hanya mengurusi keluarga baik suami dan juga anak. Perempuan sangat dilarang untuk berinteraksi di publik (umum) apalagi untuk menduduki jabatan dalam politik. Ada beberapa partai yang memandang bahwa perempuan tidak memiliki status yang berharga dalam perpolitikan di Indonesia, oleh karena itu beberapa partai tersebut tidak mengusung banyak kader perempuan, kalaupun ada hanya sebatas pekerjaan biasa yang termasuk kategori pekerjaan pinggiran.

Dengan berada di tengah sistem yang demokrasi, penuntutan akan kesamaan hak dan kewajiban pun bergulir. Perempuan menuntut hak dan kewajibannya untuk dipandang setara dengan laki-laki. Keterwakilan perempuan yang kurang dalam politik menjadi tapak tilas perbedaan genre tersebut. Dengan kebijakan yang ditelah diterapkan di Amerika Serikat mengenai penghapusan diskriminasi terhadap perempuan disana akhirnya menjadi bahan atau materi tersendiri yang dapat diterapkan di Indonesia yaitu melalui kebijakan affirmative dengan menggunakan penetapan perempuan dalam politik dengan kuota 30%. Dengan adanya kebijakan ini menjadi suatu keharusan partai politik untuk mengikutsertakan perempuan dalam politik. Kebijakan ini pun diterapkan pada pemilu 2004. Namun dengan diterapkannya kebijakan ini semata-mata tidak diselingi dengan kekuatan hukum akan kebijakan tersebut, sehingga implementasi yang terjadi adalah masih banyaknya penyimpangan-penyimpangan dalam kasus ini. Seperti dalam pemilu 2004 dan 2009, masih ada peserta pemilu yang tidak memenuhi syarat kuota 30% perempuan namun masih dapat berlenggang-lenggang untuk mengikuti pesta politik yang selalu terselenggara setiap lima tahun sekali.

Momentum pemilu yang akan datang yaitu Pemilu 2014 menjadi momentum berharga partai politik untuk menunjukkan kemampuannya dalam pentas lima tahunan tersebut. Partai politik yang identik dengan ideologi fundamentalis, memandang kebijakan affirmative yang telah ditetapkan pemerintah bukanlah menjadi penghalang bagi partai politik untuk kemudian gugur atau mundur dalam pesta politik ini. Sejak diterapkannya kebijakan affirmative tersebut, berbagai partai politik baik partai politik nasional maupun partai politik berbasis Islam berlomba-lomba menempatkan perempuan dalam daftar calegnya agar partai yang didirikannya dapat mengikuti kompetisi sampai babak terakhir. Hal ini menjadi menarik untuk partai politik yang menjauhkan perempuan dalam pusat kekuaasaan. Partai politik yang sebelumnya sangat strik dengan kehadiran perempuan dalam politik menjadikan partai ini berubah haluan agar dapat terus berlenggang di pesta politik. Kini partai politik tersebut menjadi partai plural yang menghadirkan keterlibatan perempuan dalam politik. Ini menunjukan bahwa partai politik telah membukakan diri untuk lebih pluralism di tengah kemajemukan bangsa.

Secara umum keterwakilan perempuan 30% dalam politik dapat dilihat melalui dua sisi. Pertama, kuota perempuan yang dipenuhi partai politik berdasarkan total jumlah caleg, kedua, kuota perempuan yang dipenuhi partai politik berdasarkan daerah pemilihan. Sehingga pemenuhan kuota perempuan yang telah dipenuhi oleh partai politik dapat kita lihat apakah pemenuhan kuota itu berdasarkan jumlah caleg atau daerah pemilihan. Hal tersebut dapat menjadi uraian apakah partai politik telah mendukung keterwakilan perempuan dalam politik atau hanya sebagai pemenuhan kelengkapan jumlah kuota perempuan yang hanya digunakan sebagai pembuka pintu gerbang partai tersebut untuk melangkah ke tahap selanjutnya? Hal ini dapat kita lihat dari dua sisi yang telah terurai di atas.

Dengan berdiri atas nama agama, dukungan partai politik terhadap keterwakilan perempuan kurang bergong manakala partai ini sangat bersandar pada pemahaman-pemahaman primordial seperti pemahaman agama dan budaya. Dalam Undang-undangan yang mengatur mengenai pemilu 2014 menjelaskan bahwa kebijakan kuota 30% yang telah diterapkan pada pemilu-pemilu sebelumnya mendapat kekuatan dan peraturan tambahan dimana para peserta pemilu 2014 yang tidak dapat melengkapi persyaratan pemilu salah satunya pemenuhan kuota 30% perempuan maka partai tersebut dinyatakan gugur atau tidak lolos verifikasi dan tidak dapat mengikuti pemilu 2014. Ini menjadi halangan partai politik yang dalam catatan-catatan sebelumnya sulit untuk memenuhi kuota perempuan tersebut. Partisipasi perempuan dalam parlemen pun kian meningkat. Hal ini diungkapkan oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Linda Amalia Sari Gumelar yang menyatakan bahwa pada pemilu 2004 keterwakilan perempuan di legislative hanya mencapai 11,09% dan mengalami peningkatan pada pemilu 2009 yang mencapai 18%. Linda menyatakan harapannya agar kuota perempuan pada pemilu kali ini dapat tercapai. Tentu ini harapaan yang diinginkan matoritas masyarakat Indonesia khususnya masyarakat yang memiliki kaitan atau hubungan dengan isu-isu beresponsif perempuan dan anak. Isu-isu yang berhembus mengenai perempuan dan anak mengisyaratkan betapa pentingnya keterwakilan perempuan di Parlemen.

Pentingnya Keterwakilan Perempuan di Parlemen

Pada dasarnya keterwakilan perempuan dalam politik memiliki arti dan peranan yang sangat penting, bukan hanya untuk kepentingan pencapaian target 2015 yang terdapat dalam MDGs saja tetapi juga untuk menciptakan keadilan dan kesetaraan gender yang sering banyak dipermasalahkan dan menjadi perdebatan sengit. Kehadiran perempuan di Parlemen diharapkan mampu menjadi alat kontrol jalannya roda pemerintahan, sebagai penerus aspirasi daerah pemilihannya yang mampu menciptakan berbagai kebijakan yang pro pembangunan memperjuangkan gender dan juga anak. Perempuan dan anak menjadi satu paket yang kerap kali menjadi permasalahan seperti masalah kesetaraan gender, dimana masih sering kita temui bahwa perempuan banyak dimarginalkan dan diabaikan baik karena berlatar belakang budaya, struktur sosial, maupun agama dan tak luput pula masalah perlindungan anak. Salah satu kasus yang dapat kita angkat seperti kasus para TKW asal Indonesia yang kerap mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan dari para majikan. Sering menjadi tanda tanya besar dalam benak penulis, mengapa tenaga kerja luar negeri kebanyakan perempuan/ wanita yang biasa dikenal TKW, jarang sekali bahkan hampir tidak ada kita dengar dan temukan laki-laki menjadi tenaga kerja ke luar negeri seperti TKW. Ini menjadi polemik bahwa perjuangan perempuan Indonesia masih banyak terlihat salah satunya melalui cerminan atau gambaran para perempuan yang menjadi tenaga kerja di luar negeri untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya serta anak-anaknya. Oleh karena itu dibutuhkan keterwakilan perempuan di dalam Parlemen agar kepentingan perempuan dapat ditampung dan dipecahkan serta diselesaikan permasalahan-permasalahan yang terkait dengan perempuan serta anak.

Namun yang perlu diingat disini adalah bahwa keterwakilan perempuan di Parlemen juga semata-mata bukanlah keterwakilan yang melalui proses instan (asal jadi), melainkan harus melalui proses dan mekanisme perekrutan serta kaderisasi yang sesuai. Karena melalui proses rekrutmen dan mekanisme kaderisasi yang sesuai dan bertahap akan menghasilkan kader-kader perempuan yang berpotensi, berkualitas, dan berkapabilitas dalam memperjuangkan suara perempuan dihadapan nasional bahkan internasional.

Simpulan

Keterwakilan perempuan dalam Parlemen saat ini memiliki peranan yang penting. Kini paradigm yang menghambat keterwakilan perempuan baik dari sisi budaya, agama, bahkan struktur bukanlah menjadi penghambat yang berarti bagi perempuan untuk terus memperjuangkan kedudukan perempuan melalui keterwakilannya di Parlemen. Keterwakilan perempuan di Parlemen diharapkan mampu menjadi alat kontrol jalannya roda pemerintahan, sebagai penerus aspirasi daerah pemilihannya yang mampu menciptakan beberapa kebijakan yang pro pembangunan memperjuangkan gender dan juga anak dihadapan nasional maupun internasional.

DAFTAR PUSTAKA

Jurnal

Artikel Khofifah Indar Parawansa yang berjudul “Hambatan terhadap Partisipasi Politik Perempuan di Indonesia”.

Humaida, Lisa Noov. (2012) Affirmatif Action dan Dampak Keterlibatan Perempuan: Sebuah Refleksi. Jurnal Perempuan untuk Pencerahan dan Kesetaraan. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. 17 (4).

Kusumaningtias, AD. (2004) Pemilu 2004: Menagih Komitmen Parpol Islam untuk Demokrasi yang Berkeadilan Gender. Jurnal Perempuan untuk Pencerahan dan Kesetaraan 34: Politik dan Keterwakilan Perempuan. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.

Subiyantoro, Eko Bambang (2004) Keterwakilan Perempuan dalam Politik: Masih menjadi Kabar Burung. Jurnal Perempuan untuk Pencerahan dan Kesetaraan: Politik dan Keterwakilan Perempuan. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.

Wardani,Sri Budi Eko. (2009) Perjuangan Menggagas Kebijakan Affirmatif bagi Perempuan dalam UU Pemilu Tahun 2008. Jurnal Perempuan untu Pencerahan dan Kesetaraan: Catatan Perjuangan Politik Perempuan. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.

Linda: Diharapkan Kuota Tercapai (Caleg Perempuan)” Artikel Kompas Selasa, 1 April 2014.

AD. Kusumaningtias, Pemilu 2004: Menagih Komitmen Parpol Islam untuk Demokrasi yang Berkeadilan Gender, Jurnal Perempuan untuk Pencerahan dan Kesetaraan 34: Politik dan Keterwakilan Perempuan, Jakarta, Yayasan Jurnal Perempuan, 2004, h. 37-38.

Khofifah Indar Parawansa, Hambatan terhadap Partisipasi Politik Perempuan di Indonesia, h. 42.

Lisa Noov Humaida, Affirmatif Action dan Dampak Keterlibatan Perempuan: Sebuah Refleksi, Jurnal Perempuan untuk Pencerahan dan Kesetaraan, Jakarta, Yayasan Jurnal Perempuan, Vol. 17 No. 4, 2012, h. 75.

Sri Budi Eko Wardani, Perjuangan Menggagas Kebijakan Affirmatif bagi Perempuan dalam UU Pemilu Tahun 2008, Jurnal Perempuan untu Pencerahan dan Kesetaraan: Catatan Perjuangan Politik Perempuan, Jakarta, Yayasan Jurnal Perempuan, 2009, h. 45-46.

AD. Kusumaningtias, Op. cit, h. 35.

Ibid,

Ibid, h. 36

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun