Mohon tunggu...
Dominggus Koro
Dominggus Koro Mohon Tunggu... -

Wiraswast di bidang pariwisata.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Belajar dari Pakistan

9 Juni 2014   19:32 Diperbarui: 20 Juni 2015   04:32 385
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebuah ormas agama menyerukan, mengeluarkan fatwa agar tidak memilih Jokowi – JK. Pasalnya, cawapres – cawapres nomor urut dua ini dipandang tidak menundukung Syariat Islam di Indonesia. Jelas, pemilih Musilim amat diharapakan mendukung Prabowo – Hatta Rajasa (PRAHARA). Selain karena tidak mempersoalkan Syariat Islam, PRAHARA yang dimotori Gerindra memiliki manifesto politik pemurnian agama.

Negara Kesatuan Republik Indonesia berasaskan Pancasila dan UUD’45. Inilah fondasi negara bangsa yang didirikan para founding fathers. Penerapan Syariat Islam akan memporakporandakan NKRI. Kita mesti belajar dari Pakistan, negeri mayoritas Muslim tetapi warganya hidup dalam kesengsaraan. Radikalisme, talibanisme akan menciptakan neraka di Tanah Nusantara.  Apakah kita tetap berdiam diri, menganggap "radikalisasi agama" bukan urusan kita?

Sidang Pembaca yang terhormat, artikel berikut bukan pemikiran saya. Ini adalah salah satu esei Anand Krishna, seorang tokoh pluralis dan penulis paling produktif di Indonesia. Esei ini terangkum dalam bukunya berjudul “Think On These Things—Hal-hal Yang Mesti Dipikirkan Anak Bangsa".

Selamat Meniyimak

BELAJAR DARI PAKISTAN

Masih ingat tahun ketika Candi Borobudur dibom? Masih ingat siapa yang disangka sebagai pelaku? Siapa yang ditangkap dan dihukum, dan siapa pula yang melarikan diri?

Banyak di antara kita yang barangkali sudah lupa. Tahun 1985 tidak terekam dalam ingatan kita sebagai tahun ketika sebuah saksi peradaban dunia itu dibom. Dulu enggan, sekarang cuek--kita bahkan tidak mau lagi membicarakan perkara itu, "Ah, sudahlah, bukankah itu cuma cerita lalu? Untuk apa dikenang?"

Kemudian, pada tahun 2000 rezim Taliban di Afghanistan membom monumen serupa di negeri mereka sendiri, di kota Bamiyan. Kita tidak peduli, "Itu bukan urusan kita".

Memang ada beberapa suara yang "menghimbau" dan "menganjurkan" supaya monumen tersebut tidak dihancurkan. Tetapi, ya, sebatas itu saja.

Kita tidak menekan Pakistan, satu-satunya negara di seluruh dunia, yang memiliki hubungan dengan rezim terkutuk itu, untuk menekan Taliban dengan ancaman pemutusan hubungan diplomatik. Padahal, kita dapat melakukannya. Ingat, walau Indonesia bukanlah negara Islam, namun jumlah penduduknya yang beragama Islam melebihi seluruh umat Islam di Timur-Tengah! Saat itu, jika kita dapat menekan Pakistan dan Pakistan menekan Taliban, barangkali kepala suku mereka, Omar Abullah, tidak menjadi ge-er dan melakukan hal-hal lain yang lebih destruktif.

Sekarang rezim Taliban sudah tumbang. Warga Afghanistan sudah bebas, merdeka. Kaum hawa sudah boleh meraih pendidikan, belajar apa saja dan bekerja. Kelembutan dalam diri manusia pun tengah diupayakan untuk muncul kembali lewat musik dan seni.

Kembali pada Borobudur dan negeri kita dan Bamiyan di Afhganistan. Dapatkah kita melihat kesamaan pola di balik kedua kejadian tersebut? Para pelaku dan aktor intelektual di balik kedua kejadian tersebut adalah orang-orang lokal. Mereka membom monumen milik mereka sendiri. Mereka berusaha untuk menghancurkan simbol-simbol peradaban mereka sendiri. Tanya kenapa?

Karena, mereka terpisahkan dari aka budaya mereka sendiri. Mereka lebih menghargai budaya asing, dalam hal ini budaya Arab--sebagaimana diintepretasikan oleh kelompok-kelompok radikal yang sudah ada sejak zaman Baginda Rasul. Sejak masa itu pula sesungguhnya mereka sudah ditolak dengan sebutan Khawarij--"tak berguna". Namun, penolakan itu tidak mematikan mereka. Tidak lama kemudian mereka muncul kembali sebagai mazhab atau aliran Hambali. Itu pun ditolak ramai-ramai, dan mereka kemudian bekerja di bawah tanah. Mereka mulai mempengaruhi jamaah haji dari Asia yang datang ke Tanah Suci. Beberap dari Indonesia, beberapa dari India--dan mereka berhasil membuat jaringan di seluruh Asia.

Mereka juga banyak belajar dari sejarah mereka di masa lalu. Maka, mereka sudah tidak menggunakan satu identitas lagi. Kelompok Wahabi di Saudi pun menolak dirinya disebut Wahabi. Mereka, menurut pengakuan mereka sendiri, adalah "pewaris ajaran nabi" yang paling murni. Dengan dalih itu, ternyata mereka dapat melakukan penetrasi dan infiltrasi dalam kelompok-kelompok lain.

Inilah yang selama ini yang terjadi di negeri kita. Alhasil, banyak mesjid yang di atas kertas masih berada di bawah naungan dua kekuatan besar di Tanah Air, yaitu NU dan Muhammadiyah, sesungguhnya sudah berpindah tangan dan menjadi lahan kelompok-kelompok radikal--yang tentunya tidak mau disebut radikal.

Pemboman Bali dua kali, juga di tempat-tempat lain, dan ancaman yang masih tetap ada tidak dapat dipisahkan dari radikalisasi yang dilakukan kelompok-kelompok tersebut. Mereka telah berhasil menciptakan manusia-manusia robot seperti Imam Samudera, Amrozi, Mukhlas dan lain-lain, yang sudah tidak dapat menggunakan akal sehat--apalagi berperasaan dan berempati terhadap sesama manusia.

Apa yang kita alami saat ini pernah dialami Pakistan. Presiden Pakistan, Pervez Musharraf pernah mengakuinya sendiri secara blak-blakan. Cara kerja kelompok-kelompok ini memang sudah lebih canggih. Mereka melakukan infiltrasi ke dalam pola hidup masyarakat kita "piece by piece", pelan-pelan, sebagaimana diakui sendiri oleh seorang simpatisan yang saat ini berada dalam kabinet. Lagi-lagi, tanya kenapa?

Kelompok-kelompok radikal ini, sebagaimana telah menjadi rahasia umum, dibesarkan, bahkan didukung oleh elemen-elemen dalam tubuh kita yang lebih mementingkan kedudukan dari pada rakyat. Mereka selalu membutuhkan bantuan dari kelompok-kelompok tersebut saat pemilihan umum. Untuk menggerakan massa, untuk kampanye, untuk mengintimidasi lawan politiknya, untuk seribu satu macam kepentingan lainnya.

Sebagaimana diakui oleh Pervez Musharraf dalam otobiografinya: "...kita lupa bahwa ketika kita membesarkan dan menggunakan orang dengan membakar semangat keagamaanya secara berlebihan dengan tujuan tertentu, maka orang itu pun sesungguhnya berada di pihak kita untuk sementara waktu demi kepentingannya sendiri. Kita---Amerika Serikat, Pakistan, Arab Saudi, dan mereka semua yang berpihak dengan kita dalam kegiatan jihad di Afghanistan--telah menciptakan monster bagi diri kita sendiri"

Demikian kira-kira terjemahan bebas dari otobiografi beliau yang baru terbit tahun lalu. Bantuan AS bagi kelompok-kelompok Mujahideen di Afghanistan diteruskan lewat Pakistan dan Saudi. Kepentingan Amerika hanya satu--mengusir Sovyet dan memproklamirkan supremasinya. Demi kepentingan itu Paman Sam menggunakan pundak Pakistan dan Saudi Arabia untuk menaruh senapannya dan membidik siapa saja yang dianggapnya sebagai musuh peradaban. Peradaban sebagaimana Paman Sam mengartikannya, mendefiniskannya.

Salah satu kelompok Mujahideen inilah yang kemudian menjelma menjadi Taliban. Pakistan, sebagaimana diakui Pervez, berharap bahwa Taliban dapat mensejahterakan rakyat Afghanistan dan membawa kemakmuran ke negeri itu. Ternyata tidak. Taliban hidup di awang-awang, dalam sebuah dunia mimpi, alam khayalan yang jauh dari kenyataan.  Bagi Pervez, sekarang, para ulama Taliban itu "setengah matang". Semangat mereka bertolak belakang dari "Jiwa Islam yang moderat, toleran dan progresif".

Secara gamblang Pervez menjelaskan bagaimana kelompok-kelompok radikal di negerinya memperoleh angin dari pihak "penguasa", sehingga kian hari kelompok-kelompok ini kian membesar.

Pertama, di zaman Bhutto. Ia menuduh Bhutto orang yang paling bertanggung jawab atas keterpurukan kondisi negerinya. "Antara lain", tulis Musharraf dalam otobiografinya, "dia adalah orang pertama yang memenuhi tuntutan-tuntutan agama (yang dimaksud adalah kelompok-kelompok agama yang radikal--AK). Ia melarang minuman keras, judi dan menyatakan hari Jumat sebagai Hari Libur Nasional--bukan lagi hari Minggu. Itu adalah kemunafikan pada puncaknya karena setiap orang juga tahu bila dia sendiri tidak yakin pada apa yang dilakukannya".

Jelas, ia melakukannya demi kepentingan politik. Ia membutuhkan support dari kelompok-kelompok tersebut.

Kemudian Zia, "penguasa" yang menjatuhkan hukuman mati kepada Bhutto. Ia memberlakukan hukum cambuk yang menurut Musharraf adalah "sangat tidak manusiawi dan memalukan".

Selanjutnya, "Presiden Zia, di tahun 1980, menyelesaikan apa yang dimulai oleh Bhutto menjelang masa-masa terakhir rezimnya---yaitu sepenuhnya memuaskan kelompok agama (lagi-lagi yang dimaksud adalah kelompok-kelompok radikal dalam agama--AK). Zia tidak memiliki landasan politik....(maka--AK) ia mulai menghadiri acara-acara keagamaan secara berlebihan untuk menunjukan kemitraannya dengan kelompok tersebut. Secara resmi ia melarang musik dan hiburan, kendati sebagaimana saya diberitahu, dia sendiri tetap menikmati musik semi klasik secara sembunyi-sembunyi".

Tubuh Pakistan masih berdarah-darah. Keadaan kita pun tidak jauh lebih baik. Apakah kita masih tidak mau belajar dari pengalaman Pakistan? Betapa bodohya kita.

Sebagaimana penguasa di Pakistan membesarkan kelompok-kelompok radikal di sana, kita pun telah melakukan hal yang sama. Di Pakistan kelompok-kelompok tersebut telah menjelma menjadi monster dan siap melahap tubuh Pakistan sendiri. Di sini pun sama.

Saatnya, rakyat yang sadar tidak berdiam diri. Saatnya rakyat Indonesia bersuara dan mengatakan dengan tegas, "Wahai pemimpin-pemimpin bangsa, hentikanlah permainan maut kalian!"

Setiap warga Indonesia bertanggung jawab atas keterpurukan nasib negara dan bangsanya. Terlebih lagi kita yang tidak bersuara--kita yang tidak peduli terhadap apa yang terjadi di negeri kita.

Barangkali catatan sejarah yang singkat, tetapi tertulis dengan darah ini dapat menyadarkan kita:

Tanggal 29 September  tahun 1994; Pemerintah India menangkap Omar Sheikh karena karena terlibat dalam pertikaian dan aksi teror di Kashmir. Ia diadili sesuai dengan hukum yang berlaku dan dijatuhi hukuman penjara selama 7 tahun.

Tahun 1995: India terpaksa membebaskan Omar Sheikh bersama rekannya, Maulana Masood Azhar. Terpaksa, karena pesawat komersial Indian Airlines bersama awak dan 200-an penumpangnya disandera para teroris yang kemudian mendarat di Afghanistan---jelas atas persetujuan Taliban. Setelah "tukar-menukar", Taliban membiarkan para penjahat, baik yang baru dibebaskan India maupun yang menyandera penumpang Indian Airlines meninggalkan Afghanistan dengan aman.

Omar Sheikh dan Maulana Masood kemudian pergi ke Pakistan dan menetap di kota Lahore. Pemerintah Pakistan  menutup mata sebelah.

Lebih-lebih seluruh dunia yang beradab, termasuk Paman Sam, tidak pernah menekan Pakistan dan menegurnya: "He apa-apaan kamu, memberi suaka kepada para penjahat dan teroris!"

Seolah tidak terjadi apa-apa. Padahal, penyandera telah membunuh seorang penumpang selama aksi sandera itu berjalan. Luar biasa!

Tahun 2002: Omar Sheikh yang sama ini menyandera jurnalis Pearl asal Amerika Serikat, yang kemudian dibunuhnya.  Paman Sam baru berteriak. Nyawa seorang warga India tidak berarti apa-apa. Nyawa seorang Amerika tentunya lebih berarti.

Pelajaran apa, hikmah apa yang dapat kita petik dari pengalaman Pakistan? Keadaan kita, sebagaimana telah saya jelaskan, hampir mirip dengan kondisi Pakistan.

Hukuman cambuk yang oleh Pervez disebut "tidak manusiawi dan memalukan" dan telah ditinggalkannya, malah diadopsi di negeri ini dengan menggunakan dalih agama.

Untuk memastikan bahwa kelompok Wahabi tidak mengacaukan Saudi Arabia, maka dicarilah lahan bagi mereka untuk bereksperimen. Dan, lahan itu adalah Indonesia.  Di negeri kita ini kelompok tersebut, dengan menggunakan berbagai atribut dan identitas yang berbeda dan membingungkan, telah beroperasi sejak lama.

Saat ini, partai-partai politik  kita boleh diam dan secara diam-diam menggunakan jasa mereka. Kelak suatu ketika mereka sendiri akan menjadi korban. Tinggal tunggu waktu saja.

Bersama aliran investasi dari berbagai negara Arab, bisa jadi radikalisme pun mendapatkan suntikan dana. Orang-orang kita sendiri, dari tokoh agama ternama hingga pejabat tinggi negara--semuanya digunakan, dimanfaatkan untuk membesarkan kelompok-kelompok tertentu di Tanah Air. Atau, setidaknya untuk memastikan  bahwa kelompok-kelompok tertentu, orang-orang tertentu,  tidak diseret ke pengadilan walau terbukti bersalah. Jika diseret pun hanya untuk formalitas --dijatuhi hukuman, diberi remisi, dan dibebaskan.

Ini adalah "bom waktu". Para radikal yang sedang berkeliaran bebas itu adalah monster-monster yang tidak berperikemanusiaan. Mereka bukanlah orang-orang Islam. Mereka tidak mengerti arti Islam. Mereka bukanlah pembawa berkah bagi alam, mereka adalah pembawa bencana.

Adalah "pertahanan kebudayaan" yang dibutuhkan oleh bangsa ini. Hanyalah pertahanan itu yang dapat menyelamatkan bangsa ini. "Ajeg Bali", saya berharap, akan menjelma menjadi "Ajeg Nusantara"--kembalilah pada akar budaya Nusantara.

Kuatkan akar itu. Bersihkan pohon kesatuan dan persatuan ini dari ilalalng yang merongrongi pertumbuhannya. Dan, Insya Allah, Indonesia Pasti Jaya! Aum Avighnam Astu--Sadhu, Amin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun