Mat Holil nakhoda kapal Araya 2 jenis purse-seine asal Pulau Gili Ketapang, Probolinggo bersama dua nakhoda kapal lainnya Mustofa dan Usib saat perjalanan pulang melaut menuju Pelabuhan Mayangan Probolinggo pertengahan bulan maret lalu, tidak bisa langsung membongkar hasil tangkapannya. Ia dan rekannya dicegat dan diangkut kapal sekoci ke sebuah kapal keamanan laut yang sedang lego jangkar di perairan Probolinggo.
Kelengkapan dokumen kapal sebagaimana yang disyaratkan diteliti dan diperiksa. Walaupun dokumen itu lengkap, petugas tetap melarang ketiganya dan kapal ikan yang ikut merapat ke kapal keamanan laut itu melanjutkan perjalanan. Pasalnya, mereka tidak bisa menunjukkan surat Keterangan Kesehatan dan Sijil yang tidak lazim dimiliki kapal nelayan tradisonal. Selama lima jam ketiganya diinterogasi dan akhirnya dilepas setelah membayar tebusan.
Peristiwa seperti diatas kerap dihadapi nelayan saat melaut dan menghantui hampir semua kapal nelayan pasca pengetatan dokumen kapal ikan yang digulirkan pemerintah tiga tahun terakhir ini. Dokumen kapal ikan dari dulu hingga sekarang tetap menjadi momok bagi nelayan. Di laut bukan hanya dimainkan gelombang dan badai, tetapi nelayan harus pula kucing-kucingan dengan petugas. Sementara di darat mereka dikejar-kejar tengkulak atau rente.
Tidak hanya kapal ikan 7 Gross tonnage (GT) keatas yang kerap menjadi korban pemeriksaan dokumen kapal, hal serupa dialami pula kapal ukuran 6 GT Â ke bawah yang perijinannya (Pas kecil) dikeluarkan oleh Dinas Perhubungan Kabupaten atau Kota.
Akan tetapi sejak diberlakukannya Undang-Undang 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, urusan tersebut terbengkalai karena tidak satupun instansi yang bersedia memproses surat Pas Kecil dengan alasan bukan kewenangannya lagi . Dengan kata lain ribuan kapal ikan tradisional melaut tanpa dokumen. Sedangkan di Jatim saja saat ini tercatat 5.300 kapal penangkap ikan berukuran di bawah 7 GT.
Sementara itu 5000 kapal lainnya berukuran di atas 7 GT di 22 Kabupaten/Kota di Jatim enggan regristrasi ulang akibat proses birokrasi yang memakan waktu disebabkan terbatasnya personil. Kantor Kesyahbandaran atau Otoritas Pelabuhan mempunyai personil pengukur yang  jumlahnya sangat terbatas. Di Jatim konon hanya 11 orang yang juga harus melayani pengukuran kapal niaga dan umum lainnya.
Sementara Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi hanya berwenang menerbitkan SIUP dan SIPI/SIKPI setelah nelayan melengkapi Surat Ukur antara lain, Gross Akta, Pas Besar serta Kelaikan dan Pengawakan yang diterbitkan Kesayahbandaran atau Kementerian Perhubungan. Jika dokumennya lengkap ijin SIUP/SIKPI yang dikelurkan Kantor Unit Pelaksana Teknis Pelayanan Perizinan Terpadu (P2T) selesai dalam sehari.
Dampaknya, Surat Edaran Menteri Pehubungan terkait validasi dan registrasi kapal penangkap ikan dan usaha penangkapan ikan/pengangkut yang diterbitkan setahun lalu terancam tidak jalan. Sementara Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNP-SDA) sektor kelautan oleh KKP dengan membuka Gerai Perizinan berjalan belum maksimal.
Dualisme Perijinan
Kita mendukung upaya pemerintah menertibkan perijinan dokumen kapal untuk menunjang program legal fishing dan meningkatkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Akan tetapi hal itu seyogiyanya diimbangi dengan kelancaran urusan teknis di ranah implementasi. Gerai Perizinan Dokumen kapal yang sudah didesain untuk pelayanan dokumen kapal  dan perijinan SIUP yang cepat dan akurat, naif  jika tidak bisa melaju kencang terkendala petugas ukur.
Berdasarkan data PNBP yang diperoleh dari pelaksanaan Gerai Perizinan Kapal Ikan Hasil Pengukuran Ulang di 47 daerah selama April 2016-Maret 2017, negara menerima Rp122 Miliar atas penerbitan 3.008 ijin kapal ikan yang sebelumnya mark down. Jumlah kapal yang regristasi ulang akan jauh lebih banyak dan penerimaan Negara lebih besar jika nelayan merasa nyaman mengurus dokumen kapalnya.
Silang sengkarut pengurusan dokumen kapal ikan sebetulnya sudah puluhan tahun berlangsung dan sangat menyusahkan nelayan. Keterbatasan SDM pengukur kapal menjadi kendala sehingga nelayan harus pulang pergi membawa kapalnya untuk diukur. Lokasi pelabuhan perikanan yang ditetapkan sebagai tempat pengukuran kapal juga jauh dari tempat tinggal nelayan sehingga tidak efisien dan tidak efektif.
Walaupun secara resmi biaya pengurusannya murah, pada prakteknya biaya yang harus dikeluarkan nelayan hingga ratusan ribu rupiah, bahkan mencapai jutaan rupiah jika diurus melalui pihak ketiga. Penyederhanaan perizinan itu perlu dilakukan agar nelayan merasa nyaman dan tidak membuang banyak enerji. Selama terjadi dualisme pengurusan dokemen kapal ikan, sulit bagi nelayan mendapat akses kemudahan yang diimpikan itu.
Di Pondokdadap, Sendang biru Malang misalnya, biaya pengurusan dokumen kapal yang diurus melalui calo besarnya 2-5 juta rupiah untuk kapal di bawah 10 GT. Jika diminta mengurus SIKPI dan SIUP ke Surabaya dikenakan biaya tambahan dua juta rupiah.
Sampai kapankah derita nelayan mengurus dokumen kapal ini berakhir? Jika dicermati sudah banyak payung hukum dibuat untuk melindungi dan menyejahterakan nelayan. Undang-Undang Perikanan sudah direvisi, Undang-Undang Pesisir dan Pulau-Pulau kecil juga sudah mengalami perbaikan dengan tujuan nelayan lebih sejahtera. Dan yang terakhir Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan dan Petambak Garam sudah diundangkan pula.
Dalam Ketentuan umum Bab I Pasal 1 Undang-Undang  No 6 Tahun 2016 itu jelas disebutkan segala upaya dilakukan untuk membantu Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam dalam menghadapi permasalahan kesulitan melakukan Usaha Perikanan atau Usaha Pergaraman. Hari nelayan tahun ini yang jatuh pada tanggal 6 April seharusnya memberi kepastian hukum dan kepastian berusaha kepada nelayan termasuk kemudahan akses pengurusan dokumen kapal serta bebas dari kejaran aparat saat sedang melaut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H