Setidaknya ada dua isu menarik mewarnai program Tol Laut yang merupakan konsep pengangkutan murah logistik kelautan untuk mewujudkan salah satu Nawacita. Pertama keinginan pemerintah membuka tujuh rute baru dan menambah 100 kapal rakyat 30 Gross Tonage(GT) seharga Rp 200 miliar.
Kedua, rencana mengalihkan angkutan barang dari darat meggunakan moda transportasi laut di pantura Jawa dengan trayek Jakarta-Semarang-Surabaya. Upaya menerapkan moda transportasi laut di Pantura itu dianggap urgen antara lain untuk mengurai kemacetan, mengurangi biaya memperbaiki kerusakan jalan yang semakin meningkat serta menekan angka kecelakaan lalu lintas.
Berbagai upaya membangun Tol Laut sudah dilakukan pemerintah. Antara lain mengembangkan 100 Pelabuhan Non Komersial, membuat 103 Kapal Perintis yang melayani 193 lintas angkutan laut perintis, serta menyelenggarakan rute angkutan laut secara rutin pada 13 rute pelayaran.
Pesanan 100 kapal perintis dilakukan pertama kali pada 11 Agustus 2015 disusul 23 Oktober 2015 kemudian menambah sebanyak 32 kapal. Selanjutnya memesan lagi 39 kapal pada 2 November 2015, senilai Rp1,4 triliun di 17 galangan kapal nasional.
Akan tetapi pembangunan kapal tersebut konon bermasalah. Pengusaha Galangan Kapal pemenang tender mengeluh, pasalnya pembayarannya tidak on schedule dan kapal yang sudah selesai dikerjakan dijanjikan pembayarannya pada tahun 2018.
Jika dicermati tidak semua pemangku kepentingan moda transportasi laut mampu mengikuti irama gelombang Tol Laut. Pelayaran Rakyat (Perla) dan yang tergabung dalam asosiasi pengusaha perkapalan (INSA) justru merasa tidak menikmati imbas dari program  itu.
Contohnya, data dari Persatuan Pengusaha Pelayaran Rakyat Jatim menyebutkan, dari 17 ribu kapal dilaporkan sebagian besar tidak berlayar karena sepi order. Padahal kapal rakyat itu memiliki 200 lintasan trayek yang tidak terjangkau pemerintah.
Untuk tetap bertahan, tarip angkutan barang dipungut sangat murah. Jurusan Surabaya-Banjarmasin misalnya, taripnya Rp 110 per metrik ton, selisih Rp 115 dengan kapal niaga nasional, padahal idealnya untuk pelayaran yang sehat taripnya Rp 190 per metrik ton. Banting harga terpaksa dilakukan agar survive.
Frekuensi berlayar juga terpaksa dikurangi. Trayek Tanjung Perak- Makassar-NTB-Balikpapan yang semula berlayar 8 kali dalam satu bulan, tiga tahun terakhir ini hanya mampu dua hingga empat kali dalam satu bulan umumnya dengan muatan kembali kosong.
Kementerian Perhubungan seharusnya tanggap mensikapi kepentingin industri pelayaran yang sedang terpuruk itu. Dana pembuatan 100 kapal rakyat seyogianya dialihkan untuk mensubsidi operasional kapal yang sudah eksis. Sebab sebelum program Tol Laut dicanangkan, pelayaran rakyat yang  pernah berjaya serta mendapat julukan armada semut itu sudah menghubungkan daerah terpencil di ratusan pulau kecil termasuk pulau terdepan.
Oversupply kapal juga terjadi di hampir seluruh lintasan ferry penyeberangan di Indonesia. Sebagai referensi penyeberangan Merak – Bakauheni misalnya, dilengkapi lima pasang dermaga dan dua dermaga baru lainnya sedang dibangun.
Satu pasang dermaga cukup untuk menampung lima kapal, lima pasang dermaga idealnya untuk menampung  25 kapal, plus lima kapal cadangan, berarti maksimum 30 kapal. Faktanya, sekarang dipadati 58 kapal. Artinya setiap hari ada 20 kapal menganggur .
Selain itu Biaya sandar di pelabuhan juga dirasakan membebani kapal ferry yang nilainya cukup besar. Contoh KMP Legundi yang melayari rute Tanjung Perak - Lembar, setiap satu kali sandar di Pelabuhan Tanjung Perak dikenakan tarif sekitar Rp 20 juta. Biaya ini layak dihapus karena bagian dari Tol Laut, otomatis akan meringankan biaya penyelenggara angkutan maupun tarif angkutan dan penumpang.
Menanggung Kerugian
Belajar dari pengalaman yang pernah ada seharusnya pemerintah cerdas mengalihkan angkutan barang dari darat ke laut. Kapal ferry Ro-Ro dulu pernah melayani rute Jakarta ke Surabaya. Akan tetapi pengusahanya terpaksa harus menanggung rugi besar. Saat itu pemerintah menjanjikan truk besar tidak boleh melewati jalan raya. Tetapi nyatanya pemerintah tidak mampu menyetop truk supaya naik kapal.
Ada dua hal yang perlu dibenahi jika angkutan barang via laut itu diterapkan yaitu harus ada regulasi yang melarang semua angkutan barang  melewati jalur pantura. Kedua, harus ada subsidi dari pemerintah (PSO). Biaya pemeliharaan jalan yang konon setahun bisa mencapai triliunan rupiah itu dialihkan untuk mensubsidi kapal Ferry.
Menurut data yang dihimpun dari Indonesian National Shipowners’Association (INSA), total kapal yang tercatat sebanyak 15.030 unit. Antara lain general cargo 2317 unit, peti kemas 234 unit, penumpang 473 unit, Ro-Ro 62 unit dan LCT 479 unit. Kondisinya dilaporkan juga over supply. Sementara menurut Badan Klasifikasi Indonesia (BKI) jumlah kapal yang  tercatat sebanyak 14.800 kapal yang aktif  beroperasi11.500 kapal.
Selain banyaknya jumlah kapal, kebijakan perdagangan antarpulau menggunakan kapal yang dibuat pemerintah atau sewa, menyebabkan pelayaran kecil tutup. Penyebab lain adalah beroperasinya kapal besar yang mampu menekan biaya operasional mengakibatkan pemilik kapal kecil terpaksa menjual kapalnya dengan harga murah.
Tiga tahun berjalan Poros Maritim sejujurnya masih belum menunjukkan hasil yang signifikan, apakah betambah maju atau mundur. Cetak Biru program Tol Laut dinilai bias, ditandai tidak sehatnya bisnis pelayaran yang menyebabkan permintaan kapal bekurang. Di sisi lain banyak kapal harus diperbaiki tetapi tidak mampu membiayai. Situasi itu berdampak pula pada usaha 117 industri galangan kapal nasional yang saat ini beroperasi dalam lingkungan bisnis tidak kondusif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H