Mohon tunggu...
M.Dahlan Abubakar
M.Dahlan Abubakar Mohon Tunggu... Administrasi - Purnabakti Dosen Universitas Hasanuddin
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Dosen Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin

Selanjutnya

Tutup

Bola

Harry Tjong, Tangan Sobek Tahan Tendangan Ramang (63)

2 Juni 2021   23:46 Diperbarui: 2 Juni 2021   23:48 1077
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Harry Tjong, dokpri

       Postur tubuhnya masih kekar. Jika berjalan, menirukan cara melatih binaannya, masih tampak benar 'jejak-jejak' keperkasaan masa lalunya. Gerakan tangannya, seolah mengenang dan mengesankan kepiawaiannya membekuk si kulit bundar agar tidak menggetarkan jaringnya. Gambaran kehebatan masa lalunya masih tersisa di tengah saksi sejarah kejayaan nama besar PSM pada masa lalu  kian berkurang. Dia termasuk saksi hidup keperkasaan PSM. Juga kehebatan Ramang.

Itulah sosok Harry Tjong, warga keturunan yang dalam hidupnya selalu ingin berbuat lebih untuk Makassar, kota yang pernah membesarkannya bersama kesebelasan Juku Eja.  Harry Tjong termasuk salah seorang penjaga gawang andalan ketika masa jayanya PSM. Tentu saja, dia berdiri di bawah mistar, ketika di posisi jangkar penyerang ada trio yang terkenal itu. Tjong pulalah yang berhasil mempertahankan gawang PSM di babak pertama unggul 1-0, sebelum kesebelasan tamu, juara Bulgaria, 'membekuk' tuan rumah di Stadion Mattoanging, 24 Desember 1957, dengan angka 1-3 di akhir laga setelah kiper diganti.

Tjong gagal terus mempertahankan gawang PSM hingga pertandingan tuntas, karena sebelum pluit panjang setengah main, 'dimakan' oleh salah seorang pemain Bulgaria yang membuat tangannya nyaris patah.

''Pada babak pertama PSM unggul, tetapi saya 'diambil' salah seorang pemain Bulgaria. Saya kira tangan saya patah,'' kenang Tjong ditemui di kediamannya, Perumahan Duta Indah Jl.Cendana II Blok L 1 No.21 Pondok Gede, Bekasi, Jawa Barat, 27 November 2010.

        Gol semata wayang PSM itu lahir dari kaki Ramang. Sang legenda  melepaskan tendangan gledek dari jarak sekitar 30 m, membuat stadion yang masih terbilang perawan itu bagaikan pecah oleh hiruk pikuk membahana penonton.

Unggul 1-0 di babak pertama itu benar-benar keberuntungan. Di babak kedua, Bulgaria menggempur habis pertahanan PSM. Merasa ketinggalan atas tuan rumah dan mungkin juga malu sebagai juara negara dikalahkan tuan rumah, mereka bermain kesetanan. Hendrik menggantikan Tjong berdiri di bawah mistar. Masuknya Hendrik ternyata tidak menolong PSM terhindar dari kekalahan. Atau, minimal mampu menahan seri tim tamu. Hendrik malah tiga kali memungut si kulit bundar di sarangnya.

Menurut Tjong, kalau melihat kekompakan dan daya gempur trio seperti itu terus dipertahankan, diperkirakan dalam 10 tahun terus menerus PSM sulit tertandingi sebagai kampiun Indonesia. Kalau mereka bermain sulit dibandingkan apa semangat dan motivasinya. Mungkin yang tepat, sebut Tjong, di dalam diri mereka hanya ada 'teken mati siri'.

Khusus mengenai Ramang, Tjong menyamakannya dengan Maradona, meskipun ada narasumber yang mengatakan, kecil jika membandingkan Ramang dengan pemain Argentina yang terkenal dengan gol 'tangan Tuhan' itu.

''Andaikan dia hidup masa sekarang, dia bisa kaya raya. Kepiawaiannya bermain bola adalah pemberian Tuhan,'' kata mantan penjaga gawang PSM yang kini jelang 74 tahun (2010) itu.

Reaksi Ramang sangat cepat. Ke depan, membalik, ke samping, kekuatan tandangannya sama. Kaki kanan merupakan 'maut' bagi pemain lawan. Tangan Tjong pernah sobek ketika mencoba menahan tendangan si macan bola tersebut saat klubnya, MOS berhadapan dengan Persis di final kejuaraan antarklub PSM.  Di Persis, klubnya, bibit-bibit lahirnya trio (PSM)-nya mulai tumbuh. Ramang, Suwardi Arland, dan Noorsalam, berasal dari klub yang selalu menjadi musuh bebuyutan MOS dalam setiap kompetisi antarklub PSM. Antara tahun 1954-1967, MOS selalu menjadi lawan Persis di final kejuaraan antarklun PSM.

Kekuatan tendangan Ramang terletak pada otot pahanya yang keras. Bagaimana ototnya tidak keras, ketika masa mudanya dia sering bersepeda membawa ikan basah dari Sumpang Binangae ke Segeri yang jaraknya 27 km (pergi-pulang). Saban hari dia bersepeda  dari Sumpang Binangae, tempat dia dibesarkan orang tuanya.

Ramang tidak bisa terlalu mengandalkan bola atas (heading). Namun dia menyiasatinya dengan melakukan tendangan salto yang sangat prima.

''Kepalanya jelek, tetapi untuk kepiawaian yang lain, tidak ada orang macam dia,'' sebut Tjong, yang ketika usia 20 tahun sudah berdiri di bawah mistar PSM,

        Ramang juga kurang kuat lari jauh. Tetapi, kalau ada adu lari, dalam kesempatan pertama, dia selalu di depan. Tjong mengibaratkan, kalau seluruh pemain disuruh lari 100 m, pada jarak 50-70 m, Ramang akan terlampaui pemain lain. Oleh sebab itu, dia sulit sekali diimbangi jika pertama merebut dan membawa bola. Gerakannya begitu cepat dan eksplosif.

''Kalau dia menerima bola, si kulit bundar dia hentikan dengan kaki kanan dan dalam kesempatan pertama sudah merobek jala lawan,'' papar Tjong.  

Dalam mengeksekusi bola penalti, Ramang tidak suka ancang-ancang. Dia selalu membelakangi bola. Tetapi begitu semprit wasit berbunyi, dalam sekejap dia membalik badannya dan boommm... Bola masuk ketika penjaga gawang baru bereaksi.

Canon ball-nya bagus. Begitu pun akurasinya, jarang meleset. Salah satu kelemahan Ramang menurut Tjong di antara sesama tim, dia tidak bisa dikritik. Kalau ditegur, dia bisa marah. Tjong sebagai penjaga gawang sering berteriak dari bawah mistar gawang memberi komando. Rasyid Dahlan, yang termasuk pemain bebal, termasuk andalan PSM. Dia termasuk pemain keras, meski posturnya kecil.

''Oee.. jagai siri'nu!!!!,''. Kalau sudah begitu, para pemain tampil gila-gilaan. Ujung-ujungnya, tim kesehatan harus menyediakan tandu untuk mengusung pemain lawan ke luar lapangan. Mereka kecewa dan malu kalau kalah. Makanya, mereka main mati-matian.

        Soal tendangan pojok, menurut Tjong, itu sudah 'mainan' Ramang. Jika dia menendang dari pojok, bola seperti berputar-putar di udara sebelum masuk ke pojok gawang lawan. Kaki kanannya memang sangat dahsyat.

Tjong mengisahkan, menjelang PSM masuk lapangan, biasa salah seorang pemain lawan nyeletuk.

''Kak Ramang, jangan terlalu banyak,'' kata Tjong menirukan pemain itu. Maksudnya, PSM kalau bermain jangan menang  terlalu mencolok. Biasa Ramang memberi reaksi kalem kepada teman-temannya.

''Coba lihat, mereka sudah terlihat takut sebelum bertanding,'' kata Ramang seperti ditirukan Harry Tjong, yang meninggalkan PSM tahun 1967.

   Melompati Kepala 

 Perjalanan panjang dan berliku dilalui pria ini untuk menjadi seorang pemain bola. Apalagi untuk menjadi pemain sebuah tim seraksasa PSM. Lebih-lebih lagi sebagai pemain tim nasional, PSSI. Perjalanan karier bola pria kelahiran Makassar 24 September 1939 ini benar-benar berliku.

Di jejeran penjaga gawang, Harry Tjong berada di peringkat ke-4 setelah Maulwi Saelan, Achmad, Pandero, kemudian Hendrik dan Sugito. Dia bendiri di bawah mistar gawang pada usia 20 tahun.

Pada masa itu, ada seleksi sekitar 40 orang pemain dengan 10 penjaga gawang. Tjong masih menempati posisi sebagai kiper tamu. Tanpa fasilitas apa-apa. Tidak ada sepatu dan kostum. Tidak dapat apa-apa pula.

Suatu hari, tiba-tiba dia mendapat panggilan ikut berlatih. Pelatih ketika itu adalah E.A.Mangindaan. Pada hari pertama, Tjong terlambat dating, hingga   diusir pulang. Tidak boleh mengikuti sesi latihan hari pertama itu. Padahal, panggilan yang dia terima terlambat tiba. Akhirnya, pemain lain lebih dahulu mengikuti pelatihan.

Pada hari kedua, Tjong muncul. Mangindaan memang selalu on time kalau melatih, Pelatihan itu adalah bagian dari seleksi untuk mencari pemain yang akan memperkuat kesebelasan nasional. Pemusatan latihan dilakukan di Gedung Olahraga Mattoanging.

Harry Tjong mulai main bola sejak sekolah dasar. Pertama dia memasuki MOS di Makassar. Lalu pindah ke Mars dan ke PSAD saat dia hijrah ke Surabaya. Setelah hijrah ke Jakarta, Tjong yang menamatkan pendidikan di Sekolah Guru Olahraga Makassar ini langsung bergabung dengan klub Indonesia Muda Jakarta.

Namun ketika ditemui di kediamannya di Perumahan Duta Indah Jl.Cendana II Blok L 1 No.21 Pondok Gede, Bekasi, Jawa Barat, 27 November 2010, Tjong mengakui, ketika berumur 10 tahun sering membantu tentara yang asramanya berdekatan dengan kediamannya di Jl.Singa (di dekat SD sekarang ini). Bahkan dia sering naik truk ke Malino bersama tentara yang melaksanakan operasi. Tidur di jalanan pun sudah pernah dia rasakan. Apalagi, kalau hanya di atas truk tentara. Makanya, tidak heran, Tjong dianggap sebagai jago berantem. Jiwa patriotisme prajurit ikut mengalir di dalam dirinya. Dia senang jika mendengar suara tembakan.

Tatkala awal aktif bermain bola, Tjong tidak mendapat restu dari ibunya. Kalau bermain bola dia selundupkan dulu bajunya ke tempat lain, rumah tetangga. Biasa, dia masih berpakaian sekolah menuju lapangan. Di lapangan baru dia ganti pakaian.

Ibunya kemudian merestui, karena banyak tetangga yang memberikan pujian setelah melihat penampilan Tjong di bawah mistar. Ibunya merestui setelah Tjong bermain baik.

''Hebat, penampilan anakmu,'' begitu orang-orang memuji permainan Harry Tjong yang sampai ke telinga ibunya. 

Perjuangannya untuk masuk ke squad PSM penuh berliku. Ini diakui sendiri oleh Tjong.

''Saya susah sekali mendapat tempat di tim utama PSM waktu itu, Karena di atas saya masih ada senior-senior yang masih aktif seperti Maulwi Saelan, lantas ada Hendrick, Sugito, dan satu lagi lainnya saya sudah lupa namanya (Achmad Pandero, pen.),'' kenang Tjong seperti dikutip buku ''Mengarungi Milenium Baru, 70 tahun PSSI'' terbitan PSSI tahun 2000.

Tetapi, lain dengan sulitnya masuk ke tim PSM, malah Tjong lebih mudah masuk tim nasional. Dia memperoleh keberuntungan yang langka didapat pemain lainnya.

''Tony Pogacnik telah mengubah nasib saya. Saya ingat tanggalnya, yakni 24 Desember 1957, PSM berhadapan dengan kesebelasan nasional Bulgaria di Stadion Mattoanging Makassar. Untuk pertama kalinya, saya terpilih mengawal gawang PSM. Tetapi kesempatan ini tidak terjadi kalau Tony tidak datang ke Makassar sebulan sebelumnya. Barangkali saya masih duduk di bangku cadangan terus,'' kenang Tjong sambil tersenyum sebagaimana dikutip buku ''Mengarungi Milenium Baru, 70 tahun PSSI''.

Waktu itu, Tony datang ke Makassar untuk melatih para pemain yang masuk dalam Pelatnas PSSI wilayah Timur. Tjong sebenarnya tidak termasuk pemain yang terpilih. Tetapi karena Pelatnas-nya diadakan di Makassar, ia diberi kesempatan ikut berlatih.

Kesempatan langka ini tidak disia-siakan, meskipun dia tidak tinggal di asrama seperti pemain-pemain lainnya. Ia tidak kecewa. Yang penting bisa mendapatkan kesempatan berlatih di bawah pimpinan Tony. Dia berlatih dengan sangat disiplin.

Satu kali, Tony berdiri sambil menundukkan kepala. Calon-calon penjaga gawang sedang dites. Tony disuruh melompati tubuhnya. Tidak seorang pun calon penjaga gawang yang berani. Semua takut. Tetapi, Tjong tiba-tiba memperoleh keberanian. Ia melompat dan berhasil. Tony lantas menyuruh dia menangkap bola di kakinya. Ia terbang -- bagaikan harimau menerkam mangsanya -- menangkap bola.

Setelah menjadi pemain PSM, Tjong berlatih keras. Dia sering mengonsumsi obat China untuk memperkuat staminanya. Tidak heran, lapangan Karebosi biasa dia putari antara 20 hingga 30 kali tidak terasa apa-apa.

''Kalau pemain sekarang, baru dua kali saja sudah menyerah,'' kata Tjong yang pernah membawa kesebelasan Primavera tahun 1996/1997 ditemui di kediamannya di Bekasi, Jawa Barat.

Selama membela PSM, Tjong bukannya tidak punya pengalaman buruk. Karakter keras yang ditimpa lantaran bergaul dengan tentara pada usia remaja, juga berimbas ketika bermain bola. Pernah dia dibawa Kostard gara-gara memukul salah seorang pemain Persib Bandung. Untung ada Ketua PSM Hasanuddin Nawing yang juga Komandan Kodim 104 BS menyelamatkannya.

 Setelah mundur dari PSM tahun 1967, setahun kemudian Tjong masih ditawari kembali memperkuat kesebelasan ikan merah itu.

''Saya kecewa. Kita dimarahi, padahal sudah berjuang mati-matian,'' keluh Tjong 43 tahun kemudian.

Inilah agaknya yang membuat Tony terkesan hingga kemudian memanggil Tjong masuk Pelatnas di Jakarta tahun 1958. Inilah masa awal yang membawa Tjong menggairahkan kariernya. Tidak saja akhirnya terpilih sebagai penjaga gawang  PSSI, tetapi setelah lengser dia menjadi sosok seorang pelatih yang sukses. (Bersambung)  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun