Siapa yang tidak kenal dan meragukan Dony Pattinasarani sebagai pemain bola? Â Ayahnya, Nus Pattinasarani (alm.) adalah asisten pelatih ketika PSM ditukangi E.A.Mangindaan selagi Ramang masih memperkuat PSM. Â Anak kelima dari tujuh bersaudara ini, dua kali masuk PSM junior. Pertama, ketika usianya masih sangat belia. Kedua setelah berumur 19 tahun.
Sebagai anak pemain bola, Dony, kerap menyaksikan Ramang berlaga, sebelum dia sendiri memperoleh kesempatan dilatih sang legenda tersebut. Perihal "si macan bola" itu, Dony menilai, Â memiliki kecepatan yang luar biasa. Dalam hitungan sepersekian detik dia bisa melepaskan tendangan gledek. Itu pun dalam segala posisi, meski kaki kirinya tidak 'segalak' kaki kanannya. Kaki kanannya super hebat.
''Apa yang dilakukan David Beckham beberapa tahun silam, puluhan tahun silam sudah dilakukan Ramang,'' Dony mengisahkan kepada saya di Warung Kopi Phoenam Jl.K.H.Wahid Hasyim, Jakarta, 15 Oktober 2010 petang.
Dony ingat, ketika Jusuf Cup, Ramang melakukan tendangan pojok. Pada posisi kiri atau kanan kiper, dia tetap mampu menembak langsung si kulit bundar masuk ke gawang lawan memanfaatkan bagian tertentu kakinya. Dony sendiri pernah 'diajari' khusus mengeksekusi tendangan pojok ini tatkala PSM dilatih Ramang tahun 1974.
    ''Saya mempraktikkannya dengan kesulitan yang paling tinggi. Ternyata berhasil,'' kenang pria yang berusia 54 tahun (2010) ini.
Menjadi eksekutor bola-bola mati, ketika menjadi pelatih PSM, Ramang selalu membagi tugas. Petendang bebas kerap beberapa orang. Jika orang pertama tidak memungkinkan, ada petendang kedua. Begitu halnya dengan eksekutor tendangan penalti. Ramang memiliki pemain terpilih, sebab beban psikologis menjadi petendang bola-bola mati itu sangat berat.
Berkisah mengenai teknik melatih Ramang, ayah dua anak ini mengatakan, dia melatih berdasarkan instink. Tidak berdasarkan teori atau ilmu bola yang dikenal sekarang. Dia menurunkan pengalaman masa lalunya kepada para anak asuhnya. Tetapi Dony kemudian merasakan, apa yang diajarkan dan dilatihkan Ramang tanpa teori tersebut, sebenarnya itu juga yang diajarkan pelatih-pelatih zaman reformasi ini yang konon bersumber dari berbagai kepustakaan sepakbola.
Inti pelatihan yang dilakukan adalah dengan instinknya itu bagaimana dia membuat pemain memiliki fisik yang bagus. Juga, mau mati di lapangan.
''Bayangkan, kita latihan mulai pukul 14.00 hingga 18.00. Dia menekankan kepada fisik pemain secara individu. Dan, itu dia lakukan secara autodidak dari pengalaman empiriknya,'' Â ujar Dony.
Dony mengakui, ada satu yang hebat dari Ramang, dia tokoh yang fenomenal. Belum tergantikan hingga kini. Sampai kapan pun kita tidak akan pernah dapat membayangkan ada pemain seperti Ramang. Sebagai pelatih, para pemain yang dia latih tidak pernah lelah dalam menyelesaikan pertandingan nonstop.