Â
Saya mengikuti perbincangan di grup hari ini yang mengesankan betapa memprihatikankan Parado, desa yang kini berubah menjadi sebuah wilayah kecamatan dengan lima desa pendukung, Parado Rato, Parado Wane, Kanca, Kuta, dan Lere. Â
Sejatinya, dengan pemekaran sebagai satu kecamatan, Parado menjadi semarak dan semakin molek. Tetapi apa yang terjadi justru sebaliknya. Lihat saja komentar salah seorang warganet berikut ini:
"Kondisi Parado dari segala segi serba tidak menentu dan serba tidak nyaman menjadi tempat tinggal sesuai dengan ajaran agama  karena di kampung Parado manusianya sudah sangat sulit mengarah kepada yang lebih baik. Politik makin membikin terpecah belah,,bahkan ketika kejadian musibah seperti ini tidak sedikit hati kita dirasuki senang bahagia dari penderitaan sesama. Lebih miris lagi sudah jadi korban malah dicari-cari lagi kesalahannya.
"Itulah kondisi yang sesungguhnya Parado yang katanya kampung kebanggaan," tulis warganet yang saya tidak saya temukan namanya di postingannya..
Komentar ini pun mengusik adik saya Kaharuddin mengomentarinya.
"Parado yang kita banggakan sedikit demi sedikit ciri khas waktu zaman Abu pensiun dulu akan sirna diterpa angin. Ciri khas dingin waktu musim dingin akan sedikit demi sedikit terkikis dan berubah dengan panas. Apalagi lingkungan sekitarnya tidak lagi menyimpan suasana dan iklim yang sejuk dan dingin.
Keadaan masyarakat yang begitu drastis berubah karakter yang sangat jauh dari sifat aslinya. Mungkin ini disebabkan oleh zaman dan teknologi yang semakin canggih. Tak heran pesta dan pengedar sabu- sabu ada di Parado terbukti ditangkapnya orang Parado selaku penjual dan pengedar obat haram itu beberapa bulan yg lalu. Kami selaku tokoh yang kebetulan pernah duduk sebagai Ama Rasa 11 tahun lamanya merasa prihatin dengan keadaan Parado. Kami juga merasa heran kenapa karakter dan perubahan masyarakat yang begitu cepat dan drastis jauh seperti biasanya.
Memang kita maklumi dengan pengaruh teknologi yang begitu canggih. Yang merasa heran sekali anak-anak pelajar kawin di usia sekolah SMA kelas 3, 2 dan kelas, 1. Bahkan kelas 3 SMP sudah ada yang mengakhiri masa lajangnya yang sebenarnya belum matang untuk berumah tangga. Mungkin pengaruh globalisasi dan arus informasi yang begitu deras di era informasi dan dunia maya sekarang. Siapakah yang disalahkan dan bagaimana langkah kita orang orang yang konon dilahirkan di desa yang dijuluki Paradais (Paradise, surga). Itulah kita semua untuk mengembalikan keadaan Parado ini.
Saran saya, tulis Kaharuddin, untuk mengembalikan Parado ke sifat aslinya walaupun tidak bisa kita 100% adalah membuat piagam Parado dari semua sisi dan kita semua selaku elemen masyarakat harus bertanggung jawab untuk mengamankan piagam itu atau pun hukum adat dan kebiasaan masa lalu beltul-betul dibudayakan dan diberdayakan kembali sehingga sifat aslinya tampak. Mungkin masih ada dari tokoh-tokoh Parado yang ada di pelosok nusantara ini yang bisa nyumbang saran supaya kita duduk satu meja utk masalah ini".
Warganet bernama Marsadi pun menimpali.  Dia berkata dalam catatannya, untuk mengembalikan ciri khas keaslian Parado satu kemampuan atau kemauan kedua orang tuanya mengarahkn ilmu agama yang sedalam-dalamnya kepada pribadi anaknya masing-masing. Sekarang ini dapat nilai sewaktu kecil kita dulu-dulu kita bermalam di rumah guru ngaji. Kalau dibandingkan sekarang anak-anak  sudah tidak mengerti mengaji. Contoh masuk sekolah madrasah saja ada yang nggak hafal surat Al Fatihah. Itu menandakan orang tuanya tidak perduli sama anak-anaknya"