Di depan 120.000 pasang mata Indonesia telah menampilkan permainan terbaiknya di Grup II Asia. Indonesia sebelumnya merebut 1 angka tanpa gol atas Singapura. Lalau memetik kemenangan 8-2  atas Papua Nugini. Dalam pertemuan pertama dengan Korea Utara, Indonesia takluk 1-2. Namun dengan kemenangan 2-1 atas Malaysia Indonesia mampu menempatkan diri  di urutan kedua turnamen yang menggunakan sistem setengah kompetisi ditambah partai final, kembali menjajal Korea Utara.Â
Untuk menentukan pemenang setelah bermain kacamata 0-0, maka ditempuh jalan adu penalti. Korea Utara merebut kedudukan 1-0 melalui petembak pertamanya, An Se Uk. Hasil ini disamakan Iswadi Idris 1-1. Tendangan Park Jo Hun berhasil ditepis Ronny Paslah yang berdiri di bawah mistar Indonesia. Tembakan Junaidi Abdillah berhasil mengunggulkan Indonesia menjadi 2-1. Hasil ini disamakan Ma Jung U, 2-2. Waskito mengantar Indonesia unggul 3-2. Namun disamakan lagi oleh Korea Utara melalui Yang Song Guk. Tendangan Oyong Liza berhasil ditepis kiper Korea Utara, kedudukan tidak berubah 3-3.
Korea Utara melalui petendang Kim Jong Min gagal menciptakan gol ketika tendangannya berhasil ditepis Ronny Paslah, kedudukan 3-3. Giliran Anjas Asmara maju menghadapi bola. Tembakannya berhasil ditangkap kiper Korea Utara, kedudukan tetap 3-3.
Giliran Korea Utara melalui petendang ke-6 mengubah kedudukan menjadi 4-3. Risdianto yang maju sebagai petendang ke-6, berhasil menyamakan kedudukan menjadi 4-4. Korea Utara kemudian mengirim petendang ke-7 Hong Song Nam yang ternyata berhasil menggetarkan jala Ronny Paslah.
Suhu perebutan gol kian meninggi. Ada beban psikologis dihadapi Suaeb Rizal yang menjadi petendang paling menentukan guna meraih tiket Olimpiade Kanada ini. Ternyata, tendangan Suaeb Rizal melenceng dari sasaran, bersamaan dengan Korea Utara unggul 5-4 atas Indonesia sekaligus meraih tiket ke Olimpiade Kanada 1976. Para pemain Indonesia, seperti diakui Suaeb Rizal kepada saya (penulis buku Ramang Macan Bola),tunduk tak berdaya dan menangis karena nyaris mengantarkan Indonesia mengulang sejarah Melbourne 1956.Â
 Pada tahun 1986 Indonesia di bawah Sinyo Aliandoe mampu membawa Indonesia selangkah lagi ke Piala Dunia  Meksiko, namun harus mengakui keunggulan Korea Selatan dalam memperebutkan tiket terakhir jatah Asia. .
Prestasi Indonesia mulai menukik. Usai Ferril Hattu mengapteni tim memenangi medali emas SEA Games 1991, tidak ada lagi prestasi tinggi yang diraih Merah-Putih.
Terutama ketika mulai 1999, SEA Games diikuti tim U-23. Untuk tim senior Asia Tenggara, Piala AFF -- atau dulu dikenal Piala Tigers -- menjadi ajang prestise tertinggi. Prestasi Indonesia mentok di posisi runner-up. Catatan tersebut diraih tiga kali penyelenggaraan beruntun -- 2000, 2002, dan 2004. Tidak hanya posisi nomor dua, Indonesia menuai hujatan setelah pada Piala Tigers 1998 sengaja mengalah 3-2 ketika melawan Thailand. Pertandingan itu ditandai dengan gol yang disengaja Mursyid Effendi ke gawang sendiri.
Indonesia hanya mampu mencetak kejutan-kejutan yang hanya dapat dianggap sebagai prestasi minor belaka. Empat kali berturut-turut berlaga di Piala Asia, Indonesia hampir selalu menghadirkan kejutan.
Di Uni Emirat Arab 1996, Widodo Cahyono Putro mencetak gol spektakuler yang kemudian dinobatkan sebagai gol terbaik Asia tahun yang sama. Setelah melempem di Libanon 2000, Indonesia sukses membukukan kemenangan pertama di kancah pesta sepakbola tertinggi Benua Kuning itu. Qatar ditekuk 2-1, sekaligus membuat pelatih Philippe Troussier dipecat. Pada edisi terakhir di kandang sendiri, 2007, Indonesia sempat menang 2-1 atas Bahrain. Kalah di dua pertandingan selanjutnya atas Arab Saudi dan Korea Selatan, tapi seperti dimaafkan berkat penampilan yang penuh semangat.
Animo masyarakat pun melonjak tinggi. Prestasi boleh minim, timnas tetap dicintai. Apapun, catatan tersebut tak lantas menghilangkan seretnya prestasi sepakbola Indonesia. Sudah 17 tahun lebih Indonesia tak lagi meraih gelar bergengsi. Terakhir di Piala AFF 2008, Indonesia kalah tangguh dari Thailand di babak semi-final.