Penyerang tengah itu tenang-tenang saja mengawasi, meskipun bola sudah hampir mendekati gawang kesebelasannya. Seorang pemain belakang lawan bahkan siap membayanginya, kurang dari 1 meter di belakangnya. Ia memang dianggap 'berbahaya'. Sesaat kemudian, dari jarak 20 meter, mendadak bola kembali. Sengaja diumpankan kepadanya, keras menerobos ke tengah barisan lawan -- nyaris rata dengan rumput. Secara refleks ia berputar 45 derajat ke kiri sambil menggulir bola dengan sontekan manis. Lalu secepat kilat menembakkannya -- ground shot. Back yang membayanginya kaget ia kecolongan. Dalam dua-tiga detik itu bola langsung menembus gawang lawan sebelah kiri. Kiper lawan tak berkutik.
Di lain pertandingan, tiba-tiba ia mendapat operan bola terlalu tinggi dan agak ke belakang. Lebih lihai menendang, ia memang agak kurang dalam menyundul bola. Lebih-lebih mendapat operan bola seperti itu. Maka satu-satunya jalan ialah, cepat berbalik membuat loncatan salto ke belakang sambil menendang dengan keras. Gol! Sekali lagi kiper lawan kaget, tak tahu bola mau mengarah ke mana....Tendangan salto yang indah dan mengejutkan seperti itu terjadi ketika PSSI mengalahkan RRC dengan 2-0 di Jakarta. Keduanya lahir dari kaki Ramang, satu di antaranya tembakan salto.
Itu pertandingan menjelang Kejuaraan Dunia di Swedia, 1958. Pertandingan kedua dilanjutkan di Peking, Indonesia kalah dengan 3-4, sedangkan yang ketiga di Rangoon (juga melawan RRC) berakhir 0-0. Karena lawan selanjutnya ialah Israel (yang tak punya hubungan diplomatik dengan Indonesia) maka PSSI terpaksa tidak berangkat. Sayang.
Ramang memang penembak-gawang tepat, dari sasaran mana pun, dalam keadaan sesulit bagaimana pun, menendang dari segala posisi sambil berlari kencang. Satu keunggulan yang masih diidamkan oleh setiap pemain bola kita hingga saat ini. Terutama tembakan salto. Ia benar-benar pemain alam. Keahlian itu tampaknya karunia alam untuk pribadi Ramang seorang sebagai bekas pemain sepakraga yang ulung. Sepakraga adalah sejenis permainan sepakbola khas Sulawesi Selatan dengan bola dari rotan anyaman. Dulu, selama beberapa tahun ia muncul sebagai bintang lapangan, favorit penonton, Bahkan maskot bagi PSSI. Pemain-pemain bola luar negeri pun mengaguminya.
Dalam perlawatan tahun 1954 ke berbagai negeri Asia (Filipina, Hongkong, Muangthai, Malaysia) PSSI hampir menyapu seluruh kesebelasan yang dijumpai dengan gol mencolok. Dari 25 gol dan PSSI hanya kemasukan 6 gol) 19 di antaranya lahir dari kaki Ramang, prestasi yang menyebabkan ia memperoleh medali emas. Tak heran kalau pada masa jayanya dulu banyak bayi lahir yang oleh orang tuanya dinamai Ramang (tentu saja bayi yang berjenis lelaki). Beberapa tahun kemudian, ia menjadi pelatih Persipal (Palu) dan mukim di sana. Bahkan dalam kesebelasan dari ibu kota Sulawesi Tengah ini pun ia ketemu dengan Ramang-Ramang yang lain. Di antaranya Ramang Said yang lahir ketika ia melawat ke Palu tahun 1954. Seorang lagi Ramang Poduwai, juga pemain Persipal, yang pernah digodok di Diklat Salatiga.
Di zaman Ramang dulu memang belum ada Diklat, tapi setiap pukul 15.00 Ramang sudah jalan kaki dari rumahnya ke lapangan Karebosi Ujung Pandang, menggelinding bola sendirian sebanyak 15 kali putaran. Staminanya memang stabil ketika itu. Sekarang, dalam usia hampir setengah abad, rambutnya sudah mulai agak mengelabu. Tubuhnya tidak lagi sekekar dulu, banyak merokok, pernapasannya sudah tidak lagi bagaikan kuda pacuan. Dan, Ramang sendiri merasa tak lebih berharga dari sang kuda.
 "Di zaman saya dulu kuda pacuan lebih dihargai ketimbang pemain bola," keluhnya di penginapannya, sebuah kamar pojok di belakang rumah Bupati Donggala. Maksudnya, kuda pacuan dipelihara sebelum dan sesudah bertanding -- menang atau kalah. Tapi pemain bola hanya dipelihara kalau ada panggilan TC.
"Dan sesudah itu tak ada apa-apa lagi," tambahnya dengan kecewa. Tapi gambaran Ramang sebenarnya tak sepahit itu. Dua tahun lalu, bersama Sarengat (pelari), Danny Gumulya (perenang) dan Olih Solihin (bulutangkis) ia menjadi Tamu Kehormatan panitia PON VIII sebagai olahragawan berprestasi. Fasilitasnya: menginap di HI dan nonton pertandingan gratis, dijemput dan diantar dengan mobil. Sekarang ia sudah berketetapan hati menutup kisah masa lampaunya.
 "Buat apa mengenang masa-masa seperti itu sementara orang lebih menghargai kuda pacuan?" katanya.
Kekecewaan itu tampaknya begitu berat merundungnya, hingga belum lama ini ia sengaja sembunyi ke luar kota Palu hanya untuk mengelak wawancara dengan seorang wartawan. Meski banyak dorongan dan tawaran buat menulis biografinya, ia selalu menggelengkan kepala. Dulu katanya, memang pernah ada seseorang yang menerbitkan riwayat hidupnya. Tapi ia sendiri sudah lupa judul buku dan nama penulisnya. Mengaku tak begitu banyak mendapat pendidikan sekolah, Ramang memang tak berhubungan dengan buku. Di kamarnya yang tampak acak-acakan hanya ada satu ranjang besi untuk seorang dan satu pasang kursi tamu dari plastik. Tak ada satu buku pun, misalnya tentang teori sepakbola. Di meja hanya ada termos dan mangkuk kopi kental. Sama sekali tak terbayang sebagai kamar kerja seorang pelatih yang biasanya penuh buku atau sobekan-sobekan kertas bercorat-coret dengan skema teori permainan.
 "Saya hanya mengajarkan pengalaman saya saja," ujarnya.
Pengalaman itu lalu ia kawinkan dengan teori yang pernah ia dapat dari Tony Pogacnik, bekas pelatih PSSI yang dulu mengolah Ramang dari pemain belakang menjadi penyerang tengah. Cocokkah pola zaman Ramang itu untuk masa sekarang? Ia hanya menjawab dengan menunjukkan prestasi Persipal selama ini yang malah sempat mendapat pujian Coever, ketika pelatih PSSI ini mencoba anak-anak asuhannya melawan Persipal dalam lawatan tim Pre-Olimpik akhir tahun kemarin di Palu.
Menurut Ramang, dulu polanya 5-3-2, sekarang total football. Total football adalah pola mutakhir di mana pemain bisa main di segala posisi. Meski pola dulu itu kini sudah dianggap kuno, toh Tony Pogacnik pernah menerapkan variasi 4-3-3 di Olympiade Melbourne tahun 1956 -- seperti yang kemudian diperbuat pula oleh kesebelasan Inggris tahun 1966 dalam Jules Rimet di London. Namun pemain-pemain di zaman dia dulu memang agak lain.
 "Terus-terang saja, dulu itu kami hanya memiliki bakat yang luar biasa saja. Peranan pelatih tidak terlalu dominan. Sekarang pengetahuan tentang bola sudah begitu tinggi, sedang pembinaan pemain pun sudah dimulai sejak masih tingkat junior. Lebih-lebih sekarang ada Diklat semacam yang di Salatiga," ia menjelaskan.
"Tapi dulu rata-rata kami kekar dan tinggi (kecuali Tan Liong Houw) hingga kami selalu menang dalam duel di udara. Sekarang rata-rata pendek dan kecil. Lihat saja Iswadi, Sofyan Hadi, Rivai, Andi Lala (termasuk Abdul Kadir). Akibatnya mereka kurang dalam heading (sundulan bola). Dan, rata-rata pemain zaman saya dulu ada spesialisasi. Misalnya kanan luar seperti Witarsa tak bisa bermain sebagai kiri luar. Tendangan kaki kirinya kurang dibandingkan kaki kanan. Sekarang rata-rata all-round, dapat bermain sama baiknya dengan posisi yang berlainan. Iswadi misalnya, sama baiknya bermain di kiri atau kanan luar. Tapi dulu toh ada juga rekan-rekan kami yang mampu main di segala posisi seperti Ramelan. Tan Liong Houw, Ramlan, Him Tjiang dan Chaeruddin," seperti dikutip . Majalah TEMPO, 21 Februari 1976, diunduh via google.com 9 Juni 2010, pkl 22.30 Wita.
Analisis Ramang terutama tentang tinggi pemain PSSI sekarang -- tidak seluruhnya benar. Andi Lala, Sofyan Hadi dan Iswadi misalnya, cukup tinggi. Masing-masing 168,166 dan 161 sentimeter. (Bersambung).Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H