Senin (19/4/2021) malam ini kembali grup whatsapp (WA) keluarga mewartakan berita duka. Innalillahi wainna ilaihi rajiuun, telah berpulang ke rakhmatullah orang tua dan guru kami H.Abdurrahman Siada, penjaga gawang legendaris Persatuan Sepakbola Bima (Persebi) 1960-an. di Desa Sekuru Kecamatan Monta Kabupaten Bima. Â Almarhum adalah guru dan kepala sekolah saya di SDN Kanca pada tahun 1963-an,
Pada tahun 2014 memperingati Hari Guru saya pernah menulis di Harian Fajar dengan berjudul "Guruku Perkasa". Tulisan tersebut mengingatkan saya ketika Dr.dr.Jumraini Tammasse, Sp.S.(K), dokter ahli saraf dan stroke, bertemu guru fisikanya  ketika di SMA Negeri 600 Cangadi Soppeng -- Muhiddin Manne. Pertemuan itu mengingatkan saya  terhadap guru yang juga kepala sekolah dasar di kampung dulu,. Abdurrahman Siada.
Pada tahun 2014 itu, keadaannya, sama dengan Muhiddin Manne. Terkena stroke. Perbedaannya, Muhiddin Manne masih mampu berjalan, sementara guru saya lebih banyak di tempat tidur rumah.
Desember 2011, dalam perjalanan ke Bandara Sultan Muhammad Salahuddin Bima untuk kembali ke Makassar, saya mampir di rumah istri pertamanya, Aisyah, yang ketika saya menulis artikel tersebut November 2014 Â meninggal dunia beberapa bulan sebelumnya. Â Â
Abdurrahman Siada yang menjabat kepala di sekolah dasar tempat saya belajar, merupakan orang kedua sebagai kepala di SDN yang berdiri 1 Agustus 1960 tersebut. Kepala sekolah yang pertama dan bersamaan dengan berdirinya SDN Kanca adalah H.M.Saleh, lelaki jangkung berkulit sawo matang yang jika ke sekolah selalu mengenakan surban putih dan kadang-kadang lurik. Keistimewaan kepala sekolah saya yang ini adalah mengenakan gigi emas, yang tentu saja saya tidak pernah tahu berapa gram beratnya.
H.M.Saleh sebelum ke Kanca, terlebih dahulu mengajar SD di Desa Ncera Kecamatan Belo, tetapi beberapa tahun sebelumnya. Pada September 1951, beliau ditarik ke SDN Talabiu sebelum ditarik ke SDN Kanca, kampung saya. Sebab, sepeninggal beliau, digantikan oleh ayah saya pada 1 Oktober 1951 (hingga 30 Juli 1956). Ayah ditarik kembali ke SDN Parado 1 Agustus 1956 hingga 1978, tempat ayah mulai mengajar per 1 Oktober 1946 hingga 31 September 1951 sebelumnya. Ayah pindah ke SDN Kanca 1978-hingga 1988, Â bertepatan saat pensiun. Â Â Â
Saya termasuk murid angkatan pertama sekolah itu dengan nomor induk 25. Nomor induk 1 'diambil' Â paman saya, Abdul Gani H.Abidin (alm.), anak Gelarang (kini kepala desa) Kanca yang tidak lain adalah paman se-permainan saya.
Kehadiran Abdurrahman Siada memberikan suasana baru bagi desa saya yang terpencil. Desa ini merupakan permukiman penduduk paling ujung di Kabupaten Bima bagian selatan. Truk harus berbalik arah di desa ini jika sempat datang menjemput hasil desa seperti kedelai, kemiri, dan kayu jati. Tiga jenis komoditas yang dapat dihasilkan kampung paling ujung ini. Â
Kesemarakan kehidupan desa yang menonjol dengan kehadiran guru saya itu, anak laki-laki jadi ''demam sepakbola''. Bagaimana tidak, guru kami ini adalah salah seorang penjaga gawang  andal kabupaten, Persatuan Sepakbola Bima (Persebi)  pada masa itu. Kisah keandalannya mengawal jaring kabupaten kondang di mana-mana.
Apalagi kalau kesebelasan yang dibelanya berhadapan dengan tim  Persatuan Sepakbola Sumbawa (Persisum) yang diperkuat pemain nasional Wadung dengan nomor punggung 9. Wadung pernah memperkuat PSSI ke Kings Cup di Bangkok 1960-an. Hasil pelacakan dan dimuat di dalam buku saya "Ramang Macan Bola", (2011) Wadung juga pernah dilatih oleh Ramang ketika ikut bergabung di PSB Blitar.
Jika kesebelasan  Persebi  vs Persisum bertanding, tidak hanya suporter dikerahkan, tetapi dukun-dukun pun ikut ambil bagian di belakang gawang. Gila. Saya menyaksikan pertandingan antara  Persebi,  yang digawangi guru saya Abdurrahman Siada, melawan Persisum yang diperkuat Wadung di lapangan Merdeka, Sera Suba, Bima ketika belajar di SMA Negeri Bima tahun 1969.
Guru saya memang mempelajari teknik menjadi penjaga gawang dengan segala jurus. Mulai dari bagaimana menjebak dan mengunci kaki pemain lawan yang ber-solo run membawa bola dan mendekati gawangnya. Bagaimana menghalau bola dengan 'menendang' menggunakan  lengan/tangan atau 'memukulnya' dengan kepalan. Yang sangat spektakuler adalah menangkap bola klinker dari kulit dengan satu tangan (kanan). Belum lagi kalau beliau melakukan lompatan harimau menangkap si kulit bundar yang melayang dari samping kiri atau kanan rusuknya. Luar biasa.
Pada tahun 1969, ketika paman saya, Abubakar H.Abidin menikah dengan Siti Kalsom di Desa Ranggo Kabupaten Dompu, yang ketika itu baru duduk di kelas 1 SMA Negeri Bima ikut menghadiri acara resepsi yang meriah pada suatu malam. Ternyata, dari kampung, ada rombongan kesebelasan SMES Kanca yang akan memeriahkan acara pernikahan itu dengan menghelat pertandingan persahabatan dengan kesebelasan tuan rumah, Desa Ranggo.
Pada sore hari, saat pertandingan berlangsung, guru saya tampil di bawah mistar. Para penonton menyesakkan secara tidak seimbang areal di luar garis lapangan. Mereka berjubel di belakang gawang, tempat sang guru saya siap-siap menghalau setiap serangan pemain lawan. Andaikata lapangan yang dijubeli secara tidak seimbang oleh penonton itu bagaikan sebuah perahu, mungkin sudah tidak tertolong lagi, tenggelam karena karena muatannya yang berat sebelah.
Sang guru saya mendemonstrasikan bagaimana menyergap  bola dari kaki pemain lawan yang mencoba mendekati gawangnya. Atraksi ini membuat penonton sore itu berdecak kagum dan bersorak sorai. Betul-betul pertandingan persahabatan itu merupakan tontonan langka yang menarik. Seorang penjaga gawang legendaris kabupaten beraksi mempertontonkan sisa-sisa kepiawaiannya menjinakkan si kulit bundar.Â
Pada pertemuan tahun 2011 di Desa Sekuru Kecamatan Monta Kabupaten Bima tersebut, saya menyalaminya selagi di tempat tidur. Dia berusaha bangun untuk menyambut kedatangan muridnya yang pernah memperoleh dua hal sekaligus. Ilmu pengetahuan dan ilmu menjadi penjaga gawang yang baik. Saya dan rekan Ibrahim A.Rahman (pensiunan karyawan Perguruan Al Azhar Jakarta) yang biasa "menyontek" cara beliau menjadi kiper, meskipun menggunakan bola yang terbuat dari dulungan kain atau pelepah batang pisang kering yang dibentuk menjadi bola lalu diikat keliling dengan tali biar tidak berhamburan saat digasak kaki. Â Saya dan Ibrahim juga mencoba melompat harimau yang membuat kaki dan tangan kami penuh "mur" karena luka-luka.
''Biarlah di tempat tidur saja,'' kata saya pendek dengan suara yang sangat berat ketika mengunjunginya menjelang saya terbang kembali ke Makassar.
''Tidak apa-apa, Pak Lan,'' sahutnya pelan dan mulai berusaha menggerakkan tubuhnya. Dia seolah tidak membiarkan saya duduk di kursi sementara dia terbaring di tempat tidur.
Saya langsung mencoba 'menangkap' lengannya, bersamaan dengan istrinya ketika melihat dia hendak bangun duduk. Lengan yang pernah sangat kekar dan digunakan untuk menghalau setiap bola yang datang ke arah gawang yang dikawalnya puluhan tahun silam itu, kini tidak lagi mampu membantu menopang tubuhnya untuk sekadar bangun dari tempat tidur. Saya bergumam, 'guruku yang pernah perkasa, kini tidak berdaya''.
''Yah, beginilah Bapak. Tidak dapat lagi ke mana-mana. Terbaring di tempat tidur saja,'' Aisyah, istrinya, menjelaskan.
Saya hanya memandang sayu pada sosok yang dulu berbadan kekar dan jangkung itu. Tingginya mungkin berkisar 187 cm. Saya memutar ulang memori hampir setengah abad silam, ketika pertama muncul di desa menjadi kepala sekolah. Kini, dia berupaya melawan  stroke yang dialaminya. Â
Beliau mengajarkan kami kesantunan, Hormat pada guru. Setiap guru dan tamu yang masuk ke sekolah kami, seluruh murid yang bermain di halaman depan sekolah akan langsung berdiri tegap begitu ada seorang yang berteriak ''hormat!!!!'. Kami akan serempak mengucapkan ''selamat pagi!!!!''. Ini tidak hanya berlaku pada para guru kami saja, tetapi juga terhadap seluruh tamu sekolah. Tentu tingkah seperti ini tidak pernah lagi kita lihat di sekolah-sekolah dasar kita sekarang ini. Mungkin juga di sekolah dasar saya dulu. Itu hilang berbarengan dengan lenyapnya Budi pekerti, pelajaran yang mengajarkan disiplin dan kesantunan yang jarang ditemukan di rumah.Â
Di dalam Kurikulum 2013 SD memang tercantum kompetensi inti dan kompetensi dasar mata pelajaran Agama dan Budi Pekerti, namun pengaruh teknologi informasi belum mampu mengubah perilaku para murid. Tepatlah kalau Presiden Joko Widodo merasa sangat perlu melakukan 'revolusi mental' dan itu sangat tepat harus diawali dari murid sekolah dasar. Terasa berat menerapkan budi pekerti dalam realitas perikehidupan anak didik sehari-hari, di tengah tiadanya keseganan pada guru.
Guru memberi sanksi pada murid, walau sekadar tepukan kecil menggunakan mistar pada telapak kaki atau tangan, di kota bisa berujung ke kantor polisi. Â Padahal, itu merupakan bagian dari proses pembelajaran agar anak didik tidak lagi mengulangi kesalahannya dan segan pada guru. Maka, jangan heran, begitu anak-anak mulai masuk SMP, apalagi SMA, tawuran antarsekolah semakin marak. Â
Dari sang guru yang perkasa itu saya memperoleh  ilmu dan karakter kesantunan. Termasuk ilmu menjadi penjaga gawang yang baik, meskipun saya sendiri tidak pernah benar menjadi penjaga gawang seperti yang  dia ajarkan.
Senin (19/4/2014), ketika azan salat Isya belum lama berlalu, guruku, H.Abdurrahman Siada berpulang ke rakhmatullah dalam usia  89 tahun. Almarhum meninggalkan istri, Siti Ramlah, perempuan yang pernah mengasuh saya ketika masih balita di Desa Kanca, saat dia masih gadis. (*).
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H