"Tadi saya dipanggil sama tim Gugus Covid...Abba positif, terus harus segera masuk ICU. Tapi ICU di sini penuh. Jadi bagaimana mi Ba?," ujar ibu  dengan suara yang bergetar.
Saya tahu sekali, ibu  pasti mati-matian menahan air matanya agar tidak menetes. Tidak ada jawaban dari ayah, hanya gumaman tidak jelas yang muncul.
Setelah mengucapkan itu, ibu langsung menarik saya dan adik  yang umurnya setahun lebih muda dari saya ke teras kamar itu.
"Tadi tim Gugus Covid bilang, kalau kemungkinan terburuk terjadi," ada jeda sebentar karena ibu saya mulai meneteskan air matanya kembali.
"Di mana mau dikubur abba?," lanjutnya.
Saya yang mendengar itu langsung bergetar hebat, telinga  tiba-tiba mendenging, dan penglihatan pun tiba-tiba kabur. Saya tidak tahu harus berekasi seperti apa, Saya langsung terduduk dan melamun. Saya tidak menyangka liburan semester yang sudah direncanakan sedemikian rupa harus sesedih ini.
Saya pun mengambil tangan ibu  dan menggenggamnya,
"Itu kalau kemungkinan terburuk terjadi. Kenapa langsung mikir begitu? Dirawat saja dulu Abba kan bisa," ujar saya  dengan suara yang bergetar dan ibu hanya membalas dengan anggukan.Â
Seperti keajaiban, kami mendapat kabar  ada satu ventilator yang kosong di ICU. Orang yang menempatinya baru saja meninggal. Saya tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Itu merupakan kabar gembira bagi keluarga saya. Tetapi saya juga sedih karena baru saja ada lagi korban dari wabah Covid-19 ini. Dan... ventilator itu ternyata menyelamatkan Ayah... (*). Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H