Pada tahun 1957, setelah PSM pertama kali meraih juara PSSI Perserikatan setelah mengalahkan PSMS Medan dalam pertandingan final di Padang, keluarga Ramang pindah ke Jl. Elang (kini Jl. Andi Mappanyukki). Di situlah Ramang tinggal di rumah setengah batu hingga akhir hayatnya 26 September 1987. Sebelumnya, Ramang tinggal di sekitar Pasar Kalimbu, di Jl. G.Bawakaraeng, tepatnya di belakang Kantor Bank Tabungan Pegawai Negeri (BTPN).
Perpindahan Ramang ke Jl. Elang, bertepatan dengan rampungnya pembangunan Stadion Mattoanging yang dipersiapkan sebagai lokasi pembukaan Pekan Olahraga Nasional (PON) IV tahun 1957.Â
Stadion ini dibangun ketika mendiang Mayjen TNI (Purn.) Andi Mattalatta menjabat Panglima Komando Daerah Militer Sulawesi Selatan dan Tenggara (KDMSST) yang pertama di Indonesia 1 Juni 1957 berdasarkan Keputusan KPTS 246/5/1957 tertanggal 26 Mei 1967. Saat Andi Mattalatta berpangkat letnan kolonel. Kodam XIV Hasanuddin kemudian berubah menjadi Kodam VII Wirabuana, lalu kembali lagi ke Kodam XIV Hasanuddin seperti sekarang.Â
"Bapak akan terus berlatih hingga capek. Yang dia latih adalah kakinya," kata Anwar.
Caranya, untuk memperkuat otot paha dan tendangannya, Ramang berlatih dengan alat bantu yang unik. Di halaman rumah, dia tancapkan satu potong bambu dan salah satu ujung karet ban dalam sepeda diikat di bambu itu. Â Pada ujung karet ban dalam yang lainnya diikat dan dililitkan pada betisnya. Setelah itu, dia mulai menarik-narik kakinya yang tentu saja lentur dan elastis karena terikat oleh karet ban dalam sepeda. Ini gunanya untuk memperkuat dan menambah daya tembaknya ketika menendang bola.
Ketika menarik-narik kakinya itu, Ramang berdiri tanpa berpegang sama sekali mengandalkan salah satu kakinya. Dia menarik karet itu mengandalkan kekuatan kakinya hingga ban dalam sepeda itu bertambah panjang hingga mencapai 30 cm.
Dia pun berganti kaki yang lain lagi. Gerakan dan porsinya sama. Anwar hanya mendengar bunyi :krek..krek..krek", jika ayahnya sedang berlatih yang tak lazim ini. Tidak heran kedua kaki Ramang, sama-sama kuat daya tembaknya. Namun menurut Yopie Lumoindong pemain PSM yang pernah dilatih Ramang, kaki kananlah yang sangat dominan dan "maut" bagi gawang lawan.Â
Anwar Ramang mengisahkan, begitulah cara ayahnya usai berlatih atau bermain di lapangan Karebosi, menambah porsi latihan kekuatan kakinya di rumah.  Anwar sendiri tidak pernah meniru cara latihan yang dipraktikkan ayahnya. Terkadang selagi tidur, ayahnya mengangkat kakinya tinggi-tinggi dan berlatih  menendang-nendang kaki kiri dan kanannya seolah ada bola. Itu dia lakukan hingga capek.
Cara berlatih Ramang inilah kemudian yang membuatnya tanpa ancang-ancang sama sekali saat mengesekusi bola mati di depan gawang, tendangan penalti. Ini yang membuat penjaga gawang bingung karena tidak dapat membaca ke arah mana Ramang akan mengirim si kulit bundar ke jala lawannya.Â
Bahkan yang paling membingungkan penjaga gawang adalah ketika menghadapi tendangan seperti ini, punggung Ramang justru  menghadap ke kiper. Aneh bin ajaib. Namun begitu dia mendengar pluit, dia memutar badannya dan langsung "menggebuk" si kulit bundar yang terbang bagaikan peluru ke jala lawan.Â
Kemampuan inilah yang kita tidak temukan pada pemain sekarang ini. Pemain yang bertindak sebagai algojo tendangan penalti, mengambil ancang-ancang beberapa meter sebelum melepaskan tendangan. Cara seperti ini memberi kesempatan penjaga gawang mengantisipasi dan 'membaca" ke arah mana kaki eksekutor akan mengirim bola ke jala lawannya.
Anwar pernah bercerita pada saya, pada tahun 1968, dia bersama ayahnya dan Rauf, termasuk Keng Wie (Budi Wijaya) dan Piet Tio (Rahmat Jaya) melawat ke Banjarmasin di bawah bendera klub Persatuan Sepakbola Angkatan Darat (PSAD) Makassar. Ayah dan dua anak ini tampil mareng. Rauf bermain pada posisi bek kiri. Ikut juga dalam rombongan dua bersaudara Karno dan Dullah Wahid.Â
Ketika bola digiring di dekat garis pinggir lapangan, Dullah Wahid mengangkatnya ke tengah. Ramang tenang-tenang saja. Dengan santai dia menggiring sedikit bola dan "buuuum...."
Bola sudah masuk, beberapa detik lebih cepat sementara  kiper baru siap mengantisipasi datangnya bola.  Orang Makassar mengatakan, Ramang seperti  '" na date ki" (dilepas seperti katapel) tanpa ancang-ancang sama sekali. Pelatih sepakbola mengistilahkannya sebagai tembakan "first time" (saat pertama). Kebanyakan kiper selalu terlambat selangkah mengantisipasi tendangan Ramang.
"Sebelum saya bermain Bapak di Banjarmasin, selalu orang lain yang menceritakan kehabatan almarhum. Tetapi, ketika turun bersama almarhum, saya baru saksikan sendiri kehebatannya," puji Anwar yang tentu saja sangat pantas.
Pada kesempatan lain, Anwar pernah menyaksikan ayahnya bermain di Stadion Mattoanging. Saat itu, Anwar masih berstatus anak gawang (anak-anak yang biasa memungut bola keluar lapangan ketika pertandingan) bersama Rony Pattinasarany (alm.), Ramang mengangkat bola dari salah satu sisi lapangan. Anehnya, dia sendiri berlari bagaikan kijang menyambut datangnya bola itu. Dia membalik badannya setelah menguasai bola, lalu melepaskan si kulit bundar ke gawang lawan. Masuk.
"Beliau bermain lain daripada yang lain. Kalau pemain-pemain sekarang, justru berteriak minta bola. Oher (ayah), justru merebut kembali bola yang sudah dilambungkan, kemudian dikirim menggetarkan jala lawan," kisah Anwar Ramang di warung kopi Jl. Veteran 14 Juni 2010 saat matahari mulai terik menyinari Kota Makassar. (Bersambung).Â
   Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H