Latihan yang dilakukan Ramang ketika masih di Makassar boleh disebut aneh-aneh. Kalau tidak, dapat dikatakan  langka dan ajaib. Biasa dia datang ke pantai sembari membawa bola.
Ramang menunggu datangnya gelombang yang dijadikan sebagai ajang berlatih memperkuat tendangannya. Bagaimana bisa? Bola yang sudah basah melayang jauh dari pantai setelah disepak, ditunggui datangnya bertepatan dengan datangnya gelombang dan ditendang. Begitulah seterusnya hingga dia merasa capek dan puas.
Latihan seperti itu, sekarang mungkin dianggap gila. Tetapi itulah gaya berlatih Ramang. Jika pergi berlatih yang dijadwalkan pukul 16.00 di Lapangan Karebosi, pukul 14.30-15.00 dia sudah mulai berlari mengitari lapangan itu.
Anwar Ramang, anaknya, mengatakan, biasanya sebelum berlatih, ayahnya terlebih dahulu menciarahi "Makam Tujua" (kini sudah dipagari dan tampak lebih indah). Tak jelas apa tujuannya, namun mungkin bisa saja ada kaitan dengan kepercayaan atau kekuatan supranatural yang dimilikinya.
Makan "tujua" sebenarnya tujuh tanda berupa makam. Dulu, sebelum lapangan Karebosi "dipoles", petanda makam itu hanyalah sepotong kayu yang tertancap di tengah lapangan. Syahruddin Yasen, dalam bukunya berjudul "KAREBOSI, Dulu,
Kini, dan Esok" (Pustaka Refleksi, 2008) menyebutkan, pada awal abad XIII Tanah Gowa dilanda konflik. Setiap orang beradu kekuatan ingin membuktikan dirinya yang paling hebat. Akibatnya, berlaku hukum rimba. Yang kuat, "memakan" yang lemah.
Sekali waktu Gowa diterjang badai. Petir menyambar dengan hebatnya selama tujuh hari tujuh malam. Pada hari ke-8, muncul tanda-tanda alam akan bersahabat. Karebosi yang semula kering kerontang, sekejap berubah menjadi "segar bugar". Tiba-tiba suara retak tanah terdengar.
Suara ini menimbulkan rasa cemas rakyat yang sedang berkumpul di lapangan. Sekonyong-konyong muncul tujuh gundukan tanah di tengah hamparan tanah kosong tersebut.
Dari dalam gundukan tanah itu, muncul tujuh orang bergaung kuning keemasan. Lalu sekejap hilang di tengah gerimis. Yang tersisa hanya tujuh gundukan tanah berbau harum. Ratusan pasang mata takjub menyaksikan keanehan ini. Tidak ada yang tahu muasal ketujuh sosok bergaung kuning keemasan tersebut. Rakyat Gowa ketika itu percaya, tujuh orang tersebut adalah "Tomanurung" yang dikirim Tuhan untuk negeri mereka.
Rupanya kemunculan tujuh orang aneh tersebut disebut :Karaeng Angngerang Bosi" (tuan pembawa hujan). Nenek moyang orang Gowa ketika itu menyebut "Kanro Bosi". "Kanro" bermakna "anugerah","bosi" artinya hujan.
Dalam proses perkembangan artikulasi bahasa berkembang dari "Kanro Bosi" menjadi "Karebosi", yakni tempat turunnya rahmat Tuhan berupa hujan.