[caption id="attachment_338386" align="aligncenter" width="640" caption="Sampan motor di dermaga perahu Pulau Miangas"][/caption]
Pulau Miangas nun jauh di sana. Namanya hanya sering terdengar ketika ramai ‘’djual’’ pada kampanye pemilihan presiden tahun 2009. Juga dalam tag voice RRI Pro 3 Jakarta,’’ Kami menghubungkan Indonesia dari Sabang hingga Merauke. Dari Miangas hingga Pulau Rote…..’’.
Letaknya memang lebih dekat ke Filipina, 34 mil. Tetapi, jauh dari Manado, 344 mil. Menggunakan kapal laut bertonase 500 ton, jarak Pelabuhan Bitung – Pulau Miangas dapat ditempuh 2 hari tiga malam. Mungkin saja kalau dari Bitung langsung ke Miangas hanya dilayari sekitar dua hari saja. Kapal yang menghubungkan Bitung dengan Miangas harus menyinggahi sedikitnya delapan pelabuhan. Selain Tahuna dan Siau yang termasuk kota ramai, pelabuhan-pelabuhan lain seperti Makalehi, Kawio, Kawaluso, Marore, terbilang kecil dan hanya memiliki pelabuhan laut yang relative bisa disandari kapal dengan tonase.
Menjelang 17 Agustus seperti ini, saat bendera Merah Putih dikibarkan, saya teringat pulau dengan tiga predikat Ini (sebagai pulau, desa, dan kecamatan). Betapa Merah Putih berkibar dengan gagah jauh dari perhatian banyak orang, kecuali sekitar 700-an penghuni pulau itu. Bendera berkibar tidak saja di kantor-kantor pemerintah, tetapi juga di ujung perahu kecil milik nelayan pulau.
[caption id="attachment_338387" align="aligncenter" width="640" caption="Merah Putih di instansi pemerintah Miangas"]
Miangas memang dekat dengan Filipina, tetapi kekhawatiran kita tidak seberat terhadap pulau-pulau terluar lainnya di Kalimantan Timur. Memang di Miangas ada Kantor Perbatasan Filipina, namun secara operasional telah beralih ke Pulau Marore yang dianggap lebih disukai warga Filipina untuk ditandangi. Di Miangas sendiri, warga Filipina yang berkunjung kebanyakan mereka yang menangkap ikan menggunakan perahu-perahu kecil, semacam katinting, menurut orang Makassar.
Ketika ke Miangas minggu ketiga Juni hingga awal Juli 2013, saya sempat bertemu dengan warga Filipina yang mendarat di Dermaga Miangas. Saya mengetahui mereka orang Filipina, karena ketika diajak berbicara bahasa Indonesia, mereka tidak paham. Mereka merapat ke dermaga pada saat hari sudah gelap. Mungkin dia menghindari diketahui oleh petugas keamanan Indonesia, sebab Pos Angkatan Darat Miangas, hanya 100 meter dari Dermaga Miangas.
Tidak lama kemudian, seorang wargaMiangas menjemput salah seorang di antara mereka. Beberapa saat kemudian, warga datang menjemput lagi hingga tiga orang tamu itu kosong dari pamboat, perahu motor, mereka.
Keesokan pagi, ternyata salah seorang warga Filipina itu justru bertamu di kediaman pendeta, yang jadi orangtua angkat saya selema hamper 10 hari di Miangas. Ini terbukti, Merah Putih berkibar di beranda negeri.
Aktivitas warga memang lebih dominan Indonesia. Berbeda dengan di Sebatik yang secara berkelakar atau mungkin juga tidak berkelakar, NKRI Harga Mati, Garuda di dadaku, ringgit di kantongku. Di Miangas semuanya NKRI.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H