Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menyoroti tagline Presiden Joko Widodo 'Kerja kerja kerja'. Dirinya mengingatkan agar kalimat tersebut jangan hanya menjadi jargon semata.
"Jadi kelanjutan kalimat Pak Jokowi itu 'Kerja Kerja Kerja, Selesai'. Jangan kerja kerja kerja, tapi masalah tambah banyak. Jadi kerja, kerja, kerja, dengan biaya negara sekecil-kecilnya masalah selesai gitu lho," kata Fahri kepada wartawan di Gedung DPR, Senayan, Jumat (7/11/2014).
Dua kalimat ini menarik perhatian saya untuk dikomentari. Tampaknya itulah yang baru dapat dilakukan oleh pimpinan DPR kita setelah satu bulan berjalan. Kerja orang lain dikomentari, persoalan yang melilit DPR sendiri tidak jelas kapan berujung. Dualisme parlemen masih belum jelas. Meskipun banyak pihak menginginkan agar dualisme parlemen diakhiri, seperti survei yang dirilis Lembaga Survei Indonesia (LSI), tetapi tetap saja membutuhkan langkah cerdas yang dilakukan para petinggi parlemen dan partai di parlemen.
Fahri Hamzah yang selalu berkomentar sumbang (ingat ketika pemilihan presiden dia membuat marah seluruh penghuni pesantren) agaknya tidak mau ketinggalan dengan langkah sahabatnya dari Partai Gerindra, Fadli Zon yang juga Wakil Ketua DPR. Fadli Zon berusaha mencetak citra dengan menggandeng ibu dari tersangka Muhammad Arsyad yang didakwa mengunduh foto tidak etis Presiden Joko Widodo menghadap ke Mabel Polri. Langkah Fadli Zon ini kemudiansegera menuai reaksi, meski sah-sah saja dilakukan. Namun publik melihat di tengah kemelut yang merundung DPR, Fadli Zon ternyata masih berusaha mencari ‘’gawe’ lain untuk menabung citra.
Apa yang dilakukan kedua wakil ketua parlemen itu menurut saya, lebih kepada kapasitas pribadi. Keduanya lupa bahwa pada sosoknya melekat unsur pimpinan parlemen yang tidak boleh sembarang mengomentari dan melakukan sesuatu. Sebab, anggota parlemen ditakdirkan untuk berbicara, sehingga harus selektif dan mengumbar cakap akhirnya terjadi ‘inflasi bicara’.
Jika kita menyimak, wacana yang disampaikan Fahri Hamzah mencerminkan bahwa rasa kecewa setelah pilpres belum benar-benar hilang. Saya kira mustahil hilang. Omong kosong saja kalau ada yang mengatakan bahwa ‘dendam politik’ itu sirna seiring dengan pelantikan presiden. Politik tidak mengenal kawan yang abadi. Yang abadi hanyalah kepentingan. Kita masih perlu lebih dewasa berdemokrasi. Tengoklah gaya Amerika Serikat berdemokrasi. Habis jadi lawan kembali berkawan. ***
Dirinya mengatakan, blusukan kabinet kerja positifnya adalah membaca peta lapangan.
Dari hasil blusukan, mereka kemudian harus menyusun program untuk menyelesaikan masalah itu lewat kebijakan sistemik. Karena, menurut dia, pemerintah memiliki kekuatan di aturan kebijakan.
"Jadi jangan Anda melihat muncul satu masalah hanya persoalan moral asas di lapangan saja. Tapi ada regulasi yang harus diselesaikan supaya masalah itu tidak berulang. Kalau regulasi ada, berarti ada tataran implementasi dari regulasi. Begitu cara kita memperbaiki keadaan," katanya.
Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu hanya berharap banyaknya masalah di lapangan dijadikan alasan pemerintah sibuk bekerja.
Namun, lupa menyelesaikan masalah itu. Hanya sekedar mendeteksi masalah. "Misalnya korupsi, jangan nanti setelah 5 tahun memberantas korupsi, ternyata korupsinya tambah banyak. Terus kita bangga, kita semakin sibuk berantas korupsi. Apapun namanya kerja harus selesai gitu," tegasnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H