Mohon tunggu...
Inayah Natsir
Inayah Natsir Mohon Tunggu... -

Menulislah, dunia akan senang saat kau melakukannya. | Teacher | Volunteer | Writer | Reader |

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Perihal Merayakan Kemerdekaan

17 Agustus 2016   18:39 Diperbarui: 17 Agustus 2016   20:38 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Bangsa yang besar, seharusnya tak hanya menghargai jasa pahlawannya, tapi bangsa besar juga tidak boleh berhenti menghasilkan dan melahirkan pahlawan-pahlawan barunya. Sebab jika tidak, maka tak ada bangsa yang besar.”

Sebuah kutipan dari buku The Secret for Muslim, karya Herry Nurdi mengindikaskan bahwa  pahlawan tidak hanya sebatas mereka yang telah meninggalkan nama lantas dikenang dengan segala keringat dan darah yang mereka dedikasikan kepada negara. Pun juga bukan hanya tentang bekal ilmu yang ia tinggalkan di pikiran dan laku orang-orang setelahnya dan hal itu menjadi pengubah sepersekian kisah sebuah negara. Namun, secara kompleks pahlawan adalah mereka yang menyerahkan jiwa, raga, nalar, serta tabiat-tabiat baik yang ditinggalkan demi sebuah kata kemerdekaan yang ‘mutlak’.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pahlawan adalah orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran; pejuang yang gagah berani. Namun, pahlawan yang benar-benar pahlawanlah yang akan dikenang dan menjadi buah bibir para calon-calon pahlawan di masa mendatang.

Lalu bagaimana dengan “calon pahlawan” di era yang serba wah ini? Musim yang banyak menumbuhkan bibit-bibit manusia dengan pemahaman-pemahaman yang luar biasa. Musim yang ‘katanya’ menggugurkan kebodohan-kebodohan dengan mengandalkan bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam kurun waktu kurang dari satu dekade, banyak yang mata kita bisa lihat, yang telinga kita bisa dengar, dan tubuh yang bisa dirasakannya. Anak sekolahan yang secara terminologi diartikan sebagai anak didik yang butuh asupan pengetahuan-pengetahuan kini lebih banyak dicekoki dengan tontonan-tontonan yang tidak bermanfaat, playstation, games online berbayar, dan gadget-gadget yang tampaknya telah menjadi raja bagi mereka. Terlebih dengan tradisi  yang sama sekali jauh dari nilai-nilai seorang generasi; “ngelem”.

Di daerah tempat tinggal saya, berjamur tempat-tempat penyewaan games online. Padahal, ada sekitar tujuh sekolah yang tengah bermukim. Tak bisa terpungkiri, setiap pagi hingga gelap datang berkunjung, saya mendapati banyak anak sekolahan yang memilih membelok daripada jalan lurus ke sekolah, masih dengan seragam sekolahnya. Tak sedikit juga dengan tanpa rasa berdosa dan bersalah, asyik dengan sepuntung rokok di tangannya. Saat naik angkot (pete-pete, red) di sekitar Jl. Urip Sumohardjo, saya juga pernah mendapati beberapa anak usia sekolah “Ngelem” dengan santai di pinggir jalan yang notabenenya adalah tempat umum. Mereka jelas tidak merasa malu atau takut menunjukkan aktifitas yang membuat bulu kuduk yang melihatnya merinding ngeri. –Ngelem; menghirup dengan hidung lem yang mengandung alkohol hingga terasa melayang. Efeknya seperti menggunakan narkotika-. Banyak warga yang mengaku terisris melihat modifikasi bangsa yang terbaru ini. Pendidik di sekolah? Jangan ditanyakan lagi.

Pada ujungnya, saat ilmu pengetahuan dianggap menjadi sebuah hal yang remeh temeh, padahal sejatinya menjadi sebuah hal yang dalam berbagai hal sangat dijunjung tinggi, ilmu yang ditatap sebelah mata akan menjadi boomerang bagi mereka yang tidak memperlakukannya secara benar. Padahal ilmu juga bisa membentuk karakter seseorang menjadi insan yang penuh Rahmaan dan Rahiim.Kurangnya kesadaran akan pentingnya berilmu pengetahuan itulah yang kemudian menyurutkan iman-iman dan merubahnya menjadi koruptor-koruptor yang tak tahu di untung.

Jostein Gaarder, dalam buku karangannya Dunia Sophie menyatakan gagasannya bahwa; dunia itu sendiri dengan serta merta menjadi suatu kebiasaan. Tampaknya seakan-akan dalam proses pertumbuhan, kita kehilangan kemampuan untuk bertanya-tanya tentang dunia. Dan dengan berlaku demikian, kita kehilangan sesuatu yang sangat penting -sesuatu yang boleh para filosof diusahakan untuk dipulihkan. Maka, dengan adanya kebiasaan para laku didik yang demikian mengherankan, bahkan tanpa adanya mobilisasi untuk meringkuk ke tempat yang lebih aman, permasalahn-permasalahan itu akan semakin suruk ke depan.

Untuk menjadi besar, sebuah bangsa harus disibukkan dengan pertanyaan-pertanyaan yang selalu dicari jalan keluarnya. Sehingga negara akan sibuk memikirkan bahwa seharusnya seperti inilah yang sebaiknya dilakukan untuk mencapai sebuah peradaban bangsa. Menetaskan calon-calon pahlawan yang siap tempur. Calon pahlawan yang tak lagi menggelengkan kepala ketika diperhadapkan dengan masalah, tetapi mereka langsung turut serta membangun, menumbangkan kebodohan.

Maka dimanakah letak bangsa indonesia kini? Jelas bukan di tangan orang-orang yang hanya menaruh perhatian pada cawan keruntuhan. Tetapi bangsa Indonesia terletak pada orang-orang yang mempertahakan pendirian untuk membangun reruntuhan yang tengah melanda bangsa. Karenanya, kita harus mengembalikan dominasi cita-cita agar bangsa ini kembali bangkit dan menetaskan pahlawan-pahlawan yang besar.

Tanggal tujuh belas Agustus kembali kita tatap di kalender yang banyak kita tatap di meja-meja kantor, di dinding-dinding rumah, bahkan tanpa melihat tanggalpun, rasa-rasanya kita harus menyadari bahwa dengan menatap jejeran kain berwarna merah putih di sepanjang jalan, berarti bahwa kita akan dan sedang merayakan sebuah kemerdekaan. Berdasarkan atas sejarah sejak tahun 1945 yang diproklamirkan oleh Ir Soekarno ini akan menjadi momentum yang baik untuk kita –juga- menyadari “Apakah kita benar-benar telah merdeka?”

Secara paradigma, kondisi-kondisi yang terjadi pada saat ini menjawab nasib bangsa di tahun-tahun berikutnya. Apakah benar akan melahirkan calon pahlawan yang akan membesarkan bangsa atau bahkan sebaliknya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun