Mohon tunggu...
Inayah Natsir
Inayah Natsir Mohon Tunggu... -

Menulislah, dunia akan senang saat kau melakukannya. | Teacher | Volunteer | Writer | Reader |

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Bukan Soal Ada, tapi Soal Rasa

13 Agustus 2016   09:24 Diperbarui: 13 Agustus 2016   09:51 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Siapa yang tidak pernah menerima kebaikan dari orang lain? Buku, permen, atau barang lainnya, rasa hormat, kepercayaan bahkan cinta. Atau kebaikan-kebaikan yang diperoleh berkat dari perjuangan, kerja keras, keringat hingga cucuran air mata dan doa-doa yang begitu dilangitkan. I think it's what we call "enjoyment".

Lalu kenikmatan itu seringkali kita timpali dengan membanyakkan syukur dan terimakasih. Bukan hanya kepada si pemberi, tetapi melafadznya lebih kepada yang Maha Memberi.

Kita tahu kalau rizqi masing manusia takkan diambil orang. Dia memiliki waktu, juga tempatnya masing-masing. Tidak pernah terlambat, tidak pernah aniaya terkecuali cara berolehnya yang menyebabkan.

Namun, ada hal yang kita sama-sama rasakan. Tentang berkah, tentang kenikmatan. Sebab rizqi adalah soal rasa.

Saat di bangku perkuliahan, perdebatan sesama mahasiswa menjadi hal biasa. Waktu itu, pembahasan berputar soal rizqi. Hingga ada yang bertanya, "Bagaimana dengan orang-orang yang tidak beribadah kepada Allah, mereka justru sedang berlimpah harta, bersusun-susun berkas tanah di lemarinya sedangkan kita melihat kondisi umat islam yang semakin beribadah, justru Allah memberinya berbagai macam cobaan dengan lapar dan dahaga?" Dia lantas memberi contoh tentang "orang-orang pribumi" yang tidak "beribadah" tetapi memiliki banyak perusahaan besar dan membandingkan dengan orang berkecukupan yang rajin beribadah dan pekerja keras tetapi hidupnya masih begitu-begitu saja.

Waktu itu, ada yang menjawab dengan menyertakan landasan Q.S Al-Baqarah:155-156. Ada juga yang bilang kalau justru mereka hanya akan menerima harta di dunia, tetapi di akhirat kelak mereka tidak akan memiliki apa-apa selain siksa yang panjang. Yang lain juga tidak mau kalah dan bilang kalau harta tidak akan dibawa mati, biarlah mereka memilikinya di dunia, lagipula, kita ditugaskan untuk memperbanyak ibadah bukan memperbanyak harta.

Tidak ada yang salah dari semua jawaban.

Tapi tahukah?
Rizqi sama sekali bukan yang tertulis sebagai angka ganjil. Mereka yang berlimpah nominal, ada yang justru lebih nyaman tidur di atas nipan bambu tanpa bantal.

Rizqi sama sekali bukan soal apa yang sanggup dibeli. Mereka yang berlimpah kekayaan, ada yang lebih suka mewakafkannya kepada anak yatim dan dia sendiri menetap di desa, jauh dari hiruk pikuk kota, sekadar mencari ketenangan di dadanya.

Rizqi sama sekali bukan soal apa yang dikuasai. Ada banyak yang berkuasa, tetapi ada saja yang merasa bahwa itu hanyalah sebuah beban lantas dia melakukan tindakan bunuh diri.

Rizqi sama sekali bukan soal apa yang dimiliki. Mereka yang memiliki banyak kekayaan, ada saja yang menghalanginya untuk menikmatinya. Dia memiliki segala makanan yang ada, namun karena penyakit, dia dilarang dokter untuk mengkonsumsinya. Atau dengan penyakit, dia justru ketakutan untuk naik pesawat terbang padahal perusahaan penerbangan adalah miliknya.

Maka, seorang ulama sekaligus cendekiawan muslim yang ada pada masa awal kekhalifahan Bani Ummayyah, Hasan Al-Bashri pernah didatangi oleh seseorang yang mengaku penuh dosa dan berkata rizqinya lancar bahkan bertambah banyak. Mendengar hal itu, Hasan Al-Bashri bertanya, "Apakah engkau qiyamul lail semalam?" Seseorang itu berkata tidak. Lalu berujarlah Hasan Al-Bashri, "Sesungguhnya jika Allah langsung menghukum semua makhluk yamg berdosa dengan memutus risqinya, niscaya semua manusia di bumi ini sudah habis binasa. Sungguh dunia ini tak berharga di sisi Allah walau sehelai nyamuk pun, maka Allah tetap memberikan rizqi, bahkan pada orang-orang yang kufur kepadaNya."

Sesungguhnya, yang dihalangi dari seorang pendosa adalah rasa nikmat yang dikaruniakan Allah dari berbagai bentuk rizqi tersebut. Rizqi tetap hadir, tapi rasa nikmatnya dicabut. Rizqi tetap turun, tapi rasa lezatnya dihilangkan. Begitulah Ust. Salim A.Fillah pernah bertutur.

Maka, menurut Imam An-Nawawi, "karena dosa yang menodai hatinya, hamba tersebut kehilangan kepekaan untuk menikmati rizqiNya dan mensyukuri nikmatNya. Dan ini adalah musibah yang sangat besar."

"Rizqi adalah soal rasa. Jika telah ada "rasa", maka terjagalah kita dari dosa-dosa." Lanjut ust. Salim.

"Maka aku katakan kepada mereka, "Mohonlah ampunan kepada Rabb kalian. Sesungguhnya Dia Maha Pengampun. Niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepada kalian dengam lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anak kalian, dan mengadakan untuk kalian kebun-kebun dan mengadakan di dalamnya sungai-sungai." (Q.S Nuh:10-12).

Wallahu 'alam bisshawaf..

Makassar, 07/08/16
-Inayah Natsir-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun