Ketika seorang sahabat datang dari Amerika Serikat, saya menemani dia beberapa  hari .  Kami senang untuk sekedar bernostalgia dan reuni bersama-sama teman lama.  Tentunya reuni, tak mengundang banyak teman karena dia sendiri sudah tak ingat teman-teman lama, hanya teman dekat saja yang diundang.
Singkat kata, kami makan bersama di suatu restoran Indonesia. Menu makanan Indonesia yang sangat dirindukan oleh teman, terbayar sudah. Â Setelah makan, ternyata masih ingin ngobrol lebih panjang lagi, kami pindah tempat di suatu kafe yang terbuka.
Sambil ngobrol, teman saya ini bermaksud beli kue untuk sekedar teman ngobrol. Â Kue seperti muffin yang dianggap sebagai pencuci mulut. Â Selesai memilih, teman saya mau membayar ke kasir, lalu dia menyerahkan uang tunai (rupiah) kepada kasir. Â Kasir menolak karena sekarang tidak lagi menerima uang tunai harus non tunai dengan QRIS. Â Teman saya katakan, saya tak punya QRIS, yang saya punya hanya tunai atau kartu kredit. Â Kasir tetap bersitegang bahwa pembayaran harus dengan QRIS sambil membawa sebuah informasi dalam bentuk karton yang bertuliskan "Pembayaran hanya dapat dilakukan dengan QRIS".
Teman saya kaget dan langsung mengatakan kepada Kasir, "Saya tidak jadi beli jika tidak bisa bayar tunai". Â Tentunya, saya yang dengar hal itu merasa aneh, saya bayarkan dengan QRIS saya, lalu teman bayar tunai kepada saya.
Selesai itu, teman saya mengatakan bahwa hal itu sangat aneh yach, ini masih di Indonesia, Â mata uangnya masih Rupiah, hanya cara pembayarannya saja yang berbeda, ada yang digital seperti QRIS, tapi mestinya uang tunai masih laku dong.
Saya pun terpaksa cari peraturan dari bank Indonesia untuk mata uang Indonesia . Ternyata bunyi peraturan dalam Undang -Undang Pasal 23 Â Pasal 7 tentang Mata Uang berbunyi: Setiap orang dilarang menolak untuk menerima rupiah sebagai alat pembayaran di wilayah NKRI".Â
Jadi dengan ketetapan itu, sebenarnya pedagang nggak boleh menolak, dia harus memberikan opsi bagi pelanggannya, diutamakan QRIS tapi tunai juga harus diterima.
Menurut Bank Indonesia, meskipun mendukung perkembangan transaksi digital, penting bagi pedagang untuk tetap menerima pembayaran tunai sebagai opsi dan warga diberikan kebebasan memilih metode pembayaran yang sesuai dengan kebutuhan dan preferensi mereka. Â Menolak pembayaran tunai bukan solusi yang bijak
Jika pedang mengedepankan fleksibilitas dalam menerima berbagai metode pembayaran, baik tunai maupun digital, maka pedagang dapat memperluas pangsa pasar, menjangkau konsumen lebih luas, serta menjaga kepuasan pelanggan. Â Selain itu kebijakan ini juga mendukung inklusi keuangan yang lebih merata, dimana setiap lapisan masyarakat, baik yang terbiasa dengan mata uang tunai maupun yang sudah terbiasa dengan transaksi digital dapat bertransaksi dengan lancar.
Bayar Non-Tunai Cenderung Boros
Selain itu ada anggapan yang berkembang di kalangan sebagian orang bahwa pembayaran non tunai sulit dimonitor dan cenderung lebih boros. Masyarakat sering merasa bahwa menggunakan uang digital membuat mereka tergoda untuk berbelanja tana control. Mereka beranggapan pembayaran melalui QRIS tidak terlihat secara langsung, dan akibatnya lebih sulit untuk mengatur pengeluaran harian. Â Namun, pada kenyataannya, baik pembayaran tunai maupun non-tunai memerlukan kedisiplinan dalam mengelola keuangan. Â Baik dengan uang tunai maupun digital, pengeluaran tetap harus dipantau dan dikendalikan dengan kedisiplinan dalam mengatur anggaran dan menahan diri untuk tidak berbelanja impulsif adalah kunci utama, terlepas dari metode pembayaran yang digunakan.
.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H