Mohon tunggu...
Ina Tanaya
Ina Tanaya Mohon Tunggu... Penulis - Ex Banker

Blogger, Lifestyle Blogger https://www.inatanaya.com/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mitoni, Serangkaian Upacara Tradisi Jawa Penuh Makna Simbolis

9 Juli 2024   21:07 Diperbarui: 10 Juli 2024   08:16 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Upacara Siraman | Dokumentasi Pribadi

Sebuah undangan "mitoni" muncul di whatsgroupapplication. Undangan itu datangnya dari teman saya khusus untuk mengadakan upacara mitoni menantunya,

Ada perasaan ingin bertanya-tanya mengapa masih melakukan upacara "mitoni" di tengah hingar bingar hilangnya tradisi budaya karena pergeseran budaya barat. 

Sebagai orang tua yang ternyata sulitnya kehamilan itu menjadi salah satu alasan mengapa mereka menginginkan adanya upacara mitoni.

Saya berasal dari Jawa Tengah tapi sayang tak pernah mengikuti dan menemukan upacara-upacara tradisi Jawa yang penuh dengan makna dan simbolis. Apalagi setelah pindah ke Jakarta, saya juga  tidak pernah mendengar budaya upacara "mitoni".

Dari seorang teman yang asalnya dari Solo, mengatakan kepada saya bahwa tradisi "mitoni itu di kota-kota besar seperti Jakarta sudah tergerus oleh perkembangan zaman. Di era modern, budaya luhur, warisan leluhur ini perlu dilestarikan.

 

Apa itu Mitoni?

Mitoni adalah rangkaian upacara siklus hidup yang masih dilakukan oleh sebagian masyarakat Jawa, khususnya Yogyakarta.

Mitoni berasal dari kata "am",  dan "pitu".  "Am" artinya  melaksanakan sedangkan "pitu" artinya tujuh, jadi artinya kegiatan yang dilakukan dengan hitungan ketujuh. Semua kegiatan harus mengacu tujuh bulan dari kehamilan pertama seorang perempuan.

Tujuan dari mitoni agar janin dalam kandungan dan calon ibunya mendapatkan keselamatan jelang proses kelahiran.

 

Penuh dengan Simbol dan Makna

Tradisi mitoni lahir karena adanya pemahaman bahwa dalam hidup yang ada siklus kelahiran dan kematian selalu ada krisis dalam kehidupannya.

Tahapan siklus yatu kelahiran, anak menjadi dewasa, pernikahan dan kematian. Untuk peralihan dari masing-masing siklus pasti mengalami krisis, entah itu sakit, bencana atau ancaman ekonomi.

Agar manusia terhindar dari krisis-krisis itu seperti sakit, maut, maka upacara mitoni jadi salah satu cara untuk menghindari krisis dengan cara memperteguh keimanan.

Mitoni jadi sarana untuk menghindarkan ibu dan anak dalam kandungan dari malapetaka dari bermacam-macam mahluk.

Ada syarat untuk melakukan upacara mitoni misalnya harus harus memilih hari yang dianggap baik. 

Hari baik menurut Serat Tatacara, adalah hari Rabu (Selasa siang sampai malam), atau Sabtu (jumat siang sampai malam).

Tempatnya juga harus diadakan tempat yang disebut pasren, senthong tengah. Tempat sakral untuk memuja Dew Sri. 

 

Tahapan Mitoni

Ketika kami para tamu sudah duduk di ruang duduk sebuah caf, terdapat sebuah panggung kecil, tempat khusus untuk upacara "mitoni".

Dekorasi di belakang panggung, terdapat untaian Melati yang menjulur dan bagaikan tirai.

Suara gamelan dengan tembang Jawa mengalun, mengantarkan calon ibu dan suaminya, diikuti oleh orang tua masing-masing calon ibu dan calon ayah.

Baju yang dikenakan calon ibu adalah kebaya dengan bagian atas ditutup oleh untaian Melati. Juga baju ibu dan ayah serta mertua mengenakan pakaian adat Jawa.

Mereka duduk di kursi khusus. Lalu, MC mulai berbicara dalam bahasa Jawa yang sangat halus yaitu "kromo inggil", acara akan dimulai dengan sungkeman.

Calon ibu bersujud atau sungkem kepada suami, ayah dan ibu serta kedua mertuanya. Makna sungkeman itu meminta doa restu "kesadaran tugas besar" yaitu melahirkan, mendidik, membesarkan anak, dan terakhir doa harapan agar persalinan berjalan lancar.

 

Siraman | Dokumentasi Pribadi
Siraman | Dokumentasi Pribadi

Setelah itu, acara siraman sebagai symbol dari pernyataan, pembersihan diri baik fisik maupun jiwa.

Dalam bahasa Jawa "nyirami" artinya membasahi seluruh tubuh, dan berdaya menumbuhkan. Jadi bukan sekadar mengguyurkan air saja tapi juga mengandung makna mencuci, membersihkan diri dan menyegarkan.

Airnya juga berasal dari tujuh sumber mata air, semuanya diramu menjadi satu dan diberi "kembang setaman".

Dengan siraman ini diharapkan calon ibu dapat melahirkan anak yang bersih, sehat dan jauh dari pengaruh-pengaruh jahat. Arti simbolis itu juga untuk pembersihan ibunya juga.

Satu persatu mulai dari suami, kedua orang tua calon ibu, dan kedua mertuanya menyiram sedikit air dengan gayung terbuat dari kelapa ke tubuh sang calon ibu.

Selesai siraman, calon ibu dan suaminya ke luar dari ruangan untuk berganti baju karena sudah basah. Ganti baju berbalutkan kain berwarna putih.   

Acara selanjutnya "brojolan", terdiri dari beberapa tahap. Pertama sang suami meluncurkan telur ayam kampung ke dalam kain sarung sang calon ibu. Telur dilepas dari atas perut sehingga pecah. Simbolnya adalah harapan bayi lahir tanpa rintangan.

Tahap berikutnya adalah membuka atau memutus lawe, benang atau janur.  Calon ibu memeprsiapkan seutas lawe dan dililitkan ke perut calon ibu. Lilitan diputus oleh calon ayah menggunakan sebatng keris, dibuang jauh-jauh agar kelahiran bayi berlangsung lancar. Maknanya agar calon ibu dihindarkan dari marabahaya dan rintangan yang dihadapi pada saat persalinan.

Tahapan berikutnya, memasang kelapa gading muda (cengkir) yang telah digambari Kamajaya dan Dewi Ratih ke dalam sarung dari atas perut calon ibu ke bawah. Makna simbolis agar bayi lahir tanpa kesulitan. 

Jika bayi lahir laki-laki diharapkan parasnya akan tampan, bijaksana, pintar dan sifat luhur. Jika bayi lahir perempuan, diharapkan cantik parasnya, cerdas dan memiliki sifat-sifat luhur seperti Dewi Kamaratih.

Upacara ganti baju tujuh busana, ini upacara yang paling seru sekaligus sangat membosankan bagi tamu-tamu yang tidak memahami makna (karena semua dilakukan dalam bahasa Jawa).   

Jadi ketika calon ibu memakai kemben dan bajunya diganti yang pertama, dia akan bertanya kepada tamu, "apakah saya sudah cocok dengan baju ini?"  Tamu akan jawab enam kali, "Belum". Ketuju kali ganti baju, barulah tamu bilang "sudah".

Makna dari ganti baju 7 kali adalah Kain pertama "sidomukti" melambangkan kebahagiaan; kain kedua  "Wahyu Temurun" melambangkan kehidupan; kain ketiga "Truntun" melambangkan nilai-nilai kebaikan yang dipegang teguh; kain keempat "Parangkusuma" melambangkan perjuangan untuk tetap hidup; kain kelima "Semen Rama" melambangkan cinta kedua orangtua;  kain keenam "Udan Riris " melambangkan harapan kehadiran anak; kain ketujuh "Cakar Ayam" melambangkan anak yang dapat mandiri.

Acara mitoni ini diakhiri dengan berjualan rujak dan makan bersama. Kami para tamu-tamu diberikan kreweng atau dhuwit terbuat dari tanah liat untuk ditukar dengan rujak yang seolah dijual oleh calon ibu.

Makan bersama tumpeng  "Sapta Nugraha" menjadi penutup acara. Artinya symbol usia kandungan sudah mendekati persalinan, semoga Tuhan senantiasa mencurakan anugerah kepada bayi yang akan lahir.

Tumpeng dipotong oleh calon ayah dan dan disuapkan kepada calon ibu. Simbol ayah akan melaksanakan kewajibannya sebagai ayah yang penuh tanggung jawab.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun